BANI ABASIYAH PADA ABAD 10: Sebuah Pemikiran Di Sisi Intelektualitas Peradaban Islam

Bookmark and Share
Pendahuluan
Sebuah masyarakat (Bani Abbasiyah) yang punya kesadaran yang tinggi akan ilmu, hal ini ditunjukan masyarakat yang sangat antusias dalam mencari ilmu, penghargaan yang tinggi bagi para ulama, para pencari ilmu, tempat-tempat menuntut ilmu, banyaknya perpustakaan-perpustakaan pribadi yang dibuka untuk umum dan juga hadirnya perpustakaan Bayt al-Hikmah yang disponsori oleh khalifah pada waktu yang membantu dalam menciptakan iklim akademik yang kondusif. Tak heran jika kita menemukan tokoh-tokoh besar yang lahir pada masa ini. Tradisi intelektual inilah yang seharusnya kita contoh, sebagai usaha sadar keilmuan kita dalam mengejar ketertinggalan dan ini segera lepas dari keterpurukan.
Oleh sebab itulah, dalam makalah ini penulis mencoba mendeskripsikan tentang perkembangan intelektual dan juga munculnya beberapa ilmuwan yang ahli dalam bidangnya masing-masing. Penulis dalam hal ini tidak menyinggung tentang awal mula kebangkitan dari Abbasiyah, akan tetapi penulis mencoba untuk membedah satu sisi dari Abbasiyah.
Latar Belakang Terbentuknya atau Berdirinya Abbasiyah
Awal kekuasaan Dinasti Bani Abbas ditandai dengan pembangkangan yang dilakukan oleh Dinasti Umayah di Andalusia (Spanyol). Di satu sisi, Abd al-Rahman al-Dakhil bergelar amir (jabatan kepala wilayah ketika itu); sedangkan disisi yang lain, ia tidak tunduk kepada khalifah yang ada di Baghdad. Pembangkangan Abd al-Rahman al-Dakhil terhadap Bani Abbas mirip dengan pembangkangan yang dilakukan oleh muawiyah terhadap Ali Ibn Abi Thalib. Dari segi durasi, kekuasaan Dinasti Bani Abbas termasuk lama, yaitu sekitar lima abad.
Abu al-Abbas al-Safah (750-754 M) adalah pendiri dinasti Bani Abbas. Akan tetapi karena kekuasaannya sangat singkat, Abu ja’far al-Manshur (754-775 M) yang banyak berjasa dalam membangun pemerintahan dinasti Bani Abbas. Pada tahun 762 M, Abu ja’far al-Manshur memindahkan ibukota dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi ke Baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibukota Persia. Oleh karena itu, ibukota pemerintahan Dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.[1]
Abu ja’far al-Manshur sebagai pendiri muawiyah setelah Abu Abbas al-Saffah, digambarkan sebagai orang yang kuat dan tegas, ditangannyalah Abbasiyah mempunyai pengaruh yang kuat. Pada masa pemerintahannya Baghdad sangatlah disegani oleh kekuasaan Byzantium.
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah, melanjutkan kekuasaan dinasti Umayah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M).
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan dan pola politik itu para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
  1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
  2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
  3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
  4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani sejak dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
  5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Baghdad.
Perkembangan Intelektual Pada Masa Bani Abbasiyah
Nama Bani Abbasiyah diambil dari nama Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah. Pada awalnya, keturunan Abbas tidak menghendaki jabatan Khalifah, bahkan mereka selalu membantu keturunan Ali bin Abi Thalib dalam setiap upaya mengambil kekuasaan dari tangan bani Ummayah. Akan tetapi, sejak pertengahan abad kedua, mereka berusaha turut merebut kekuasaan dari tangan bani Ummayah.[2]
Sepeninggal Ibrahim bin Muhammad, dinobatkanlah Abu Abas (bergelar As Saffah yang artinya penumpah darah) menjadi khalifah pertama bani Abbasiyah dengan ibu kotanya yang pertama Kufah, namun kemudian dipindahkan ke Damaskus. Di masa daulat bani Abbasiyah, pemerintah tidak terlalu banyak melakukan perluasan wilayah kekuassan islam, bahkan hal yang terjadi adalah munculnya kerajaan-kerajaan kecil seperti bani Ummayyah II di Andalusia, bani Saljuk, bani Fatimiyah, dan lain-lain.
Sejarah mencatat, di masa bani Abbasiyah banyak terjadi kemajuan yang menakjubkan dalam perkembangan intelektual yaitu dalam haI ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kemajuan ini tidak terjadi di masa bani Umayyah. Bagdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada waktu itu, kemudian menjalar ke kota Kufah dan Basrah di Mesopotamia, Isfahan dan Nisyafur di Persia, Bukhara dan Samarkand di Transoxiana, Kairo di Mesir, Tunis, Toledo dan Cordova di Andalusia. Kota-kota tersebut menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia pada saat itu.[3]
Beberapa contoh perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang terjadi dimasa bani Abbasiyah[4] antara lain sebagai berikut:
  1. Menerjemahkan buku-buku dari bahasa asing (Yunani, Syiria, Ibrani, Persia, India, Mesir , dan lain-lain) ke dalam bahasa Arab. Buku-buku yang diterjemahkan meliputi ilmu kedokteran, mantiq (logika), filsafat, aljabar, pesawat, ilmu ukur, ilmu alam, ilmu kimia. ilmu hewan, dan ilmu falak.
  2. Pengetahuan keagamaan seperti fikih, usul fikih, hadis, mustalah hadis, tafsir, dan ilmu bahasa semakin berkembang karena di zaman Bani Umayyah usaha ini telah dirintis Pada masa ini muncul ulama-ulama terkenal seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Bukhari, Imam Muslim, Hasan Al Basri, Abu Bakar Ar Razy, dan lain-lain.
  3. Sejak upaya penerjemahan meluas kaum muslim dapat mempelajari ilmu-ilmu itu langsung dalam bahasa arab sehingga muncul sarjana-sarjana muslim yang turut memperluas peyelidikan ilmiah, memperbaiki atas kekeliruan pemahaman kesalahan pada masa lampau, dan menciptakan pendapat-pendapat atau ide-ide baru. Tokoh-tokohnya antara lain sebagai berikut :
    1. Al Kindi (Abu Yusu Ya’kub bin Ishak Al Kindi).
    2. Al Farabi (Abu Nashar Muhammad bin muhammad bin ‘Uzlaq bin twirkhan Al Farabi).
    3. Ibnu Sina (Abdullah bin Sina).
    4. Al Ghazali ( Abu Hamid Muhammad Al Gazali).
    5. Ibnu Bajah ( Abu Bakar Muhammad bln Yahya).
    6. Ibnu Rusyd ( Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd)
    7. Ibnu Khaldun, Ibnu Haltum, Al Hazen, Ibnu Zuhr.
  4. Sejak Akhir abd ke-10, muncul sejumlah tokoh wanita dibidang ketatanegaraan dan politik seperti Khaizura, Ulayyah, Zubaidah, dan Bahrun. Di bidang kesusastraan dikenal Zubaidah dan Fasi. Di bidang Sejarah, muncul Shalikhah Shuhda. Di bidang kehakiman, muncul Zainab Umm Al Muwayld. Di bldang seni Musik, Ullayyah dikenal dan sangat tersohor pada waktu itu.
  5. masa bani Abbasiyah, Juga terjadi kemajuaan di bidang perdagangan dan melalui ketiga kota ini dilakukan usaha ekspor impor, Hasil industri yang diekspor ialah permadani, sutra, hiasan, kain katun, satin, wool, sofa, perabot dapur atau rumah tangga, dan lain-lain.
  6. Dibidang pendidikan mendapat perhatian yang sangat besar. Sekitar 30.000 masjid di Bagdad berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran pada tingkat dasar. Perkembangan pendidikan pada masa bani abbasiyah dibagi 2 tahap, yaitu:
    1. Tahap pertama (awal abad ke-7 M sampai dengan ke-10 M) perkembangan secara alamiah disebut Juga sebagai system pendidikan khas Arabia.
    2. Tahap kedua (abad ke 11) kegiatan pendidikan dan pengajaran diatur oleh pemerintah dan pada masa ini sudah dipengaruhi unsur non-Arab.
Kemajuan Yang Dicapai Pada Masa Bani Abbasiyah
1. Dalam Bidang Kedokteran
Cuaca panas seperti di Irak, dan daerah Islam lainnya sehingga meyebabkan penyakit mata, maka fokus kedokteran paling awal diarahkan untuk menangani penyakit itu. Dari tulisan Ibnu Masawayh, kita mendapat sebuah risalah sistematik berbahasa Arab paling tua tentang optalmologi (gangguan pada mata). Minat orang Arab terhadap ilmu kedokteran di ilhami oleh hadis Nabi yang membagi pengetahuan ke dalam dua kelompok: teologi dan kedokteran. Dengan demikian, seorang dokter sekaligus merupakan seorang ahli metafisika, filosof, dan sufi.[5] Dengan seluruh kemampuannya itu ia juga memperoleh gelar hakim (orang bijak). Kisah tentang Jibril Ibnu Bajhtisyu, dokter khalifah al-Rasyid, al Ma’mun, juga keluarga Barmark, dan diriwayatkan telah mengumpulkan kekayaan sebanyak 88.000.000 dirham, memperlihatkan bahwa profesi dokter bisa menghasilkan banyak uang. Sebagai dokter pribadi al-Rasyid, Jibril menerima 100 ribu dirham dari khalifah yang mesti berbekam dua kali setahun, dan ia juga menerima Jumlah yang sama karena Jasanya memberikan obat penghancur makanan diusus. Keluarga Bakhtiarsyu melahirkan enam atau tujuh generasi dokter ternama hingga paruh pertama abad ke-11. Dalam hal penggunaan obat-obatan untuk penyembuhan, banyak kemajuan berarti yang dilakukan orang Arab pada masa itu.[6]
Merekalah yang membangun apotik pertama, mendirikan sekolah farmasi pertama, dan menghasilkan buku daftar obat-obatan. Mereka telah menulis beberapa risalah tentang obat-obatan, dimulai dengan risalah karya Jabir Ibn Hayyan, bapak kimia Arab, yang hidup sekitar 776 H. Pada masa awal pemerlintah al-Mamun dan al- Mutashlm, para ahli obat-obatan harus menjalani semacam ujian. Seperti halnya ahli obat-obatan, para dokter juga harus mengikuti tes.
Para penulis utama bidang kedokteran setelah babak penerjemahan besar itu adalah orang Persia yang menulis dalam bahasa Arab: Ali al-Thabari, Al-Razi, Ali Ibn al-Abbas al-Majusi, dan Ibn Sina. Gambar dua orang diantara mereka, Al-Razi dan Ibn Sina, menghiasi ruang besar Fakultas Kedokteran dl Universitas Paris.
Al-Razi merupakan dokter muslim terbesar dan penulis paling produktif. Ketika mencari tempat baru untuk membangun rumah sakit besar di Baghdad, tempat ia kemudian menjabat sebagai kepala dokter, diriwayatkan bahwa ia kemudian menjabat sebagai kepala dokter, diriwayatkan bahwa ia menggantung sekerat daging di termpat-tempat yang berbeda untuk melihat tempat mana yang paling sedikit menyebabkan pembusukan. ia juga dianggap sebagai penemu prinsip seton dalam operasi. Diantara monografinya, yang paling terkenal adalah risalah tentang bisul dan cacar air (ai-judari wa at-hashbah), dan menjadi karya pertama dalam bidang tersebut, serta dipandang sebagai mahkota dalam literature kedokteran Arab. Di dalamnya kita menemukan catatan Klinis pertama tentang penyakit bisul.[7]
Ibnu Sina yang biasa disebut sebagi al-syaikh al-ra’is. “pemimpin” (orang terpelajar) dan “pangeran” (para pejabat). Al Razi lebih menguasai kedokteran daripada ibn Sina, namun ibn Sina lebih menguasai filsafat daripada al-Razi. Dalam diri seorang dokter, filosof, dan penyair inilah ilmu pengetahuan arab mencapat titik puncaknya dan berinkarnasi.
2. Dalam Bidang Astronomi dan Matematika
Kajian ilmiah tentang perbintangan dalam islam mulai dilakukan seiring dengan masuknya pengaruh buku India, Siddharta. Al-ma’mun melakukan salah satu perhitungan paling rumit tentang luas permukaan bumi. Tujuan perhitungan itu adalah untuk menentukan ukuran bumi, dan kelilingnya dengan asumsi bahwa bumi berbentuk bulat . Panjang lingkar burni adalah 20.400 mil dan diameternya adalah 6500 mil.
Seorang ahli astronomi lainnya yang terkenal pada masa itu adalah Abu al-Abbas Ahmad al-Farghani dari Fargana Transoxiana. Karya utama al-Fafghani, al-Mudkhil ila Ha ‘ilm Haya’ah al-Aflak diterjemahkan ke bahasa latin oleh John dari Seville dan Gerard dari Cremona, dan ke bahasa Ibranl. Dalam versi bahasa Arab, buku itu ditemukan dengan Judul yang berbeda.[8]
Abu Abdullah Muhammad Ibn Jabir al-Battani, seorang penganut Sabiin dari Harran, dan seorang ahli astronomi bangsa Saba yang terbesar pada masanya, bahkan yang terbesar pada masa islam, telah melakukan berbagai observesi dan kajian di Raqqah. Al-Battani adalah seseorang peneliti kawakan. la mengoreksi beberapa kesimpulan Ptolemius dalam karya-karyanya.dan memperbaiki perhitungan orbit bulan. Juga beberapa planet, la membuktikan kemungkinan terjadinya gerhana matahari cincin, menentukan sudut ekliptik bumi dengan tingkat keakuratan yang lebih besar, dan mengemukakan berbagai teori orisinal tentang kemungkinan munculnya bulan baru.
Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi adalah tokoh utama dalam kajian matematika Arab. Sebagai seorang pemikir islam terbesar, ia telah memengaruhi pemikiran dalam bidang matematika yang hingga batas tertentu lebih besar daripada penulis Abad Pertengahan lainnya. Di samping menyusun table astronomi tertua al-Khwarizmi juga menulis karya tertua tentang aritmatika, yang hanya diketahui lewat terjemahannya, dan tentang al-Jabar. Salah satu karyannya adalah “Hisab al-Jahr wa alt-Muqabalah”.[9]
3. Dalam Bidang Sosiologi (Kajian Hukum dan Etika Islam)
Setelah orang Romawi, orang Arab adalah satu-satunya bangsa pada Abad Pertengahan yang melahirkan ilmu yurisprudensi, dan darinya berkembang sebuah sistem yang independen. Sistem tersebut yang mereka sebut Fikih, pada prinsipnya didasarkan atas Alquran dan hadis, yang disebut ushut. dan dipengaruhi oleh sistem Yunani-Romawi. Fikih adalah iImu perintah Allah sebagaimana tertuang dalam Alquran, dan diuraikan dalam hadis, yang diwariskan pada generasi berikutnya.[10]
Yurisprudensi islam, selain berprinsip pada Alquran dan Hadis, Juga berpedoman pada analogi dan konsensus. Adapun tentang ra’y, yaltu penalaran rasional, meskipun sering dijadikan sandaran, hal tersebut hampir tidak pernah dipandang sebagai sumber hukum kelima.
Karena perbedaan kondisi sosial dan latar belakang budaya dan pemikiran setiap wilayah, pemikiran hukum Islam, pada gilirannya, berkembang dalam sejumlah mazhab pemikiran yang berbeda. Mazhab pemikiran Irak, misalnya, lebih menekankan pada penggunaan pemikiran spekulatif dalam hukum ketimbang mazhab Madinah, yang bersandar pada hadis, Antara mazhab Irak yang liberal, dan mazhab lain yang konservatif, muncul mazhab lain yang mengklaim telah membangun jalan tengah: menerima pemikiran spekulatif dengan Catatan tertentu. Mazhab ini didirikan oleh Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i.
Mazhab keempat sekaligus yang terakhir adalah mazhab Hambali, yang dianut oleh komunitas Islam, selain Syiah, yang mengambil nama pendirinya, Ahmad ibn Hanbal, pengusung Ketaatan mutlak terhadap hadtis. Konservatisme Ibn Hanbal merupakan benteng ortodoks di Baghdad terhadap berbagai bentuk inovasi kalangan Muktazilah. Beliau tetap teguh tegar dalam menghadapi serangan cercaan, makian bahkan pelecehan dari kalangan yang menentang mazhabnya.
Sementara itu, aturan hukum yang didiskusikan diatas mengatur seorang muslim dalam berbagai aspek kehidupan keagamaan, politik, dan sosialnya. Semua perilaku manusia dikelompokkan ke dalam lima kategori hukum:
  1. Perbuatan yang dipandang sebagai kewajiban mutlak (fardh), yang jika dilaksanakan akan mendapat pahala, dan jika dilanggar akan mendapat hukuman;
  2. Perbuatan yang disarankan atau dipuji (mustahab), yang jika dilaksanakan akan mendapat pahala, namun jika dilanggar tidak dikenai sangsi;
  3. Perbuatan yang dibolehkan (mubah), yang secara hukum dibiarkan;
  4. Perbuatan tercela (makruh), yang tidak dibenci namun tidak meendatangkan hukuman;
  5. Perbuatan yang terlarang (haram), yang Jika dilaksanakan akan mendapat sanksi.
Karya-karya etika yang didasarkan atas Alquran dan hadis, tidak mendominasi semua literatur berbahasa Arab tentang moral (Akhlaq). Setidaknya terdapat tiga Jenis karya etika. Karya-karya semacam itu membahas tatanan moral yang paripurna, serta peningkatan kualitas semangat dan perilaku. Contohnya ialah, At-Durrah al-Yatimah karya ibn al-Muqaffa, sarat akan kata-kata bijak.
Karya lainnya, diawali dengan karya Aristoteles, Nichomachean Ethnics, yang sarat akan filosofi-filosofi Yunani.[11]
4. Dalam Bidang Filsafat
Bagi orang Arab, filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran dalam arti yang sebenarnya, sejauh hal itu bisa dipahami oleh pikiran manusia. Secara khusus, nuansa filsafat mereka berakar pada tradisi filsafat Yunani, yang dimodifikasi dengan pemikiran para penduduk di wilayah taklukan, serta pengaruh-pengaruh timur lainnya, yang disesuaikan dengan nilai-nilai islam, dan diungkapkan dalam bahasa Arab.
Filosof pertama, al-Kindi atau Abu Yusuf Ibn Ishaq, ia memperoleh gelar “filosof bangsa Arab”, dan ia memang merupakan representasi pertama dan terakhir dari seorang murid Aristoteles di dunia Timur yang murni keturunan Arab. Sistem pemikirannya beraliran ekletisisme, namun Al-Kindi menggunakan pola Neo-Platonis untuk menggabungkan pemikiran plato dan arlistoteles, serta menjadikan metematika neo-Pythagoren sebagai landasan ilmu.[12]
Proyek harmonisasi antara filsafat Yunani dengan islam, yang dimulai oleh al-Kindi, seorang keturunan Arab, dilanjutkan oleh al-Farabi, seorang keturunan Suriah. Di samping sejumlah komentar terhadap Aristoteles dan filosof Yunani lainnya, al-Farabi juga menulis berbagai karya tentang psikologi, politik, dan metafisika. Salah satu karya terbaiknya adalah Risalah Fushush al-Hakim (Risalah Mutiara Hikmah) dan Risalah fi Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Risalah tentang pendapat penduduk kota ideal).[13]
Adapun faktor-faktor penyebab hancurnya Daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut:
  1. Faktor-faktor intern:
  • Adanya persaingan tidak sehat diantara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah terutama Arab, Persia, dan Turki
  • Terjadinya perselisihan pendapat diantara kelompok pemikir agama yang ada berkembang menjadi pertumpahan darah
  • Munculnya Dinasti-Dinasti kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan
  • Terjadinya kemerosotan tingkat perekonomian sebagai akibat dari bentrokan politik
  1. Faktor-faktor eksternal
  • Berlangsungnya perang Salib yang berkepanjangan dalam beberapa gelombang.
  • Serangan pasukan Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Kahn berhasil menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun pusat ilmu pengetahuan yaitu perpustakaan di Bagdad.
Penutup
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dipahami bahwa kekuasaan Dinasti Abbasiyah merupakan masa gemilang kemajuan dunia Islam dalam aspek perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan tersebut pada dasarnya merupakan andil dari pengaruh peradaban Yunani yang sempat masuk ke dunia Islam. Sehingga selanjutnya, beberapa tokoh dalam literatur sejarah menghiasai perkembangan pemikiran hingga di era modern. Bahkan, pada masa kejayaan tersebut orang-orang Barat menjadikan wilayah timur sebagai pusat perabadan untuk menggali ilmu pengetahuan.
Pada masa inilah Islam meraih kejayaanya. Banyak kontribusi keilmuan yang disumbangkan. Karya dan tokoh-tokohnya telah menjadi inspirasi dalam pengembangan keilmuan, oleh karena itu masa ini dikatakan sebagai masa keemasan Islam walau akhirnya peradaban Islam mengalami kemunduran dan kehancuran di bidang keilmuan bersamaan dengan berakhirnya pemerintahan Abbasiyah.
Dari kajian ini, diharapkan mampu menyadarkan kita akan pentingnya lingkungan intelektual yang kondusif dan memotivasi untuk mencari ilmu. Belajar sejarah akan tidak ada gunanya jika kita tidak bisa mengambil pelajaran darinya. Amin. Wallauhu a’lam bisshowab.
Daftar pustaka
Ali Mufrodi. Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, PT Logos Bandung 1999
Abdul Karim. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, PT Pustaka Book Publusher Yogyakarta 2007
Ali, K. Study Of Islamic History, Idarah Al-Arabiah. New Delhi 1980
Brockelman, Carl. History Of Islamic People. London, Routledge & Kegan Paul, 1980
Departemen Agama RI. Sejarah Kebudayaan Islam Untuk Madrasah Aliyah Keagamaan, 2002
A. Hasjmy. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1995.
Abu Su’ud. Islamologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2003.
Budhy Munawar Rachman (edit.). Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina. 1996.
Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press. 1999.
Ibn Sina. Risâlah fî Aqsâm al-‘Ulûm al-‘Aqliyya. Mesir: Darl Hikmah. 1987.
Musrifah Sunanto. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Prenada Media. 2003.
Nur Ahmad Fadhil Lubis. Pengantar Filsafat Umum. Medan: IAIN Press. 2001.
Nurcholish Madjid (edit.). Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1994.
O. A. Hoesin.  Filsafat Islam.  Jakarta: Bulan Bintang. 1991.
Philip K. Hitti. History of The Arabs. (Peterj.: R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Selamet Riyadi). Jakarta: Serambi. 2002.
Prof. Dr. Jaih Mubarok, M.Ag. Sejarah peradaban Islam. Pustika Bani Quraisy. Bandung 2004.

[1] Sou’yb Joesoef. Sejarah Daulah Abasiyah I. Jakarta: Bulan Bintang. 1997. Hal: 58
[2] Amin Mansur. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Indonesia Spirit Foundation. 2004. Hal: 124. Lihat juga dalam Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2004. Hal: 135
[3] Musyrifah Sunanto. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Prenada Mulia. 2004. Hal:178
[4] Mehdi Nakosteen. Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam .Surabaya: Risalah Gusti. 1996. Hal: 78-97
[5] Ahmad Hanafi. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1990. Hal: 85
[6] M. Lapidus Ira. Sejarah Sosial Umat Islam. Terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1999. Hal: 196
[7] Ibid. Hal: 203
[8] Mehdi Nakosteen. Kontribusi Islam … Op. Cit. Hal: 98
[9] Musyrifah Sunanto. Sejarah Islam … Op. Cit. Hal: 179
[10] Azyumardi Azra. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1998. Hal: 43
[11] M. Lapidus Ira. Sejarah Sosial … Op. Cit. Hal: 49
[12] Ahmad Hanafi. Pengantar Filsafat … Op. Cit. Hal: 59
[13] Ibid. Hal: 80

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar