Sejak lama sebutan negara agraris sudah melekat pada tanah air kita. Selama berabad-abad, pertanian merupakan mata pencarian utama masyarakat, begitu pula dengan peternakan. Pertanian atau peternakan membutuhkan teknologi sederhana dibandingkan kemaritiman atau kelautan, misalnya. Di Indonesia diperkirakan kegiatan pertanian sudah muncul pada zaman neolitik, yaitu suatu babakan dalam periode prasejarah.
Pada zaman itu, masyarakat yang sebelumnya hidup secara nomaden, mulai hidup secara menetap, menanam berbagai macam tumbuhan dan menjinakkan hewan untuk dipelihara. Hutan belukar dibuka, lalu dijadikan ladang dalam tingkat yang paling sederhana. Bukti-bukti arkeologi berupa cangkul batu atau perunggu, mata bajak, banyak ditemukan di berbagai situs di seluruh Indonesia (Edhie Wurjantoro, 1977).
Selama hidup menetap inilah masyarakat mengolah tanah agar menjadi subur. Salah satu caranya adalah memberikan pengairan yang teratur. Mulai saat itulah, pertanian sawah dikenal orang.
Salah satu sumber sejarah kuno yang mengungkapkan data pertanian adalah prasasti, yang sebagian terbesar ditemukan di Jawa. Dari sumber-sumber itu diketahui bahwa penduduk Jawa mengenal dua jenis pertanian, yaitu gaga (ladang) dan sawah (sawah).
Sejauh ini bukti tertua tentang petunjuk adanya kegiatan pertanian diperlihatkan oleh Prasasti Tugu (abad ke-5 Masehi) yang ditemukan di wilayah Jakarta Utara sekarang. Isinya antara lain mengatakan bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Taruma memerintahkan penggalian saluran Gomati sepanjang 12 kilometer.
Kemungkinan saluran Gomati dibuat untuk mengendalikan banjir, pengairan, atau pelayaran. Tak hanya itu, ditemukan juga alat-alat pertanian dari batu dan logam di daerah-daerah yang diduga menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Taruma. Ini tentu lebih menunjukkan bahwa saluran itu ada hubungannya dengan pertanian.
Menurut penelitian para arkeolog, petunjuk yang lebih pasti tentang adanya sawah, baru dijumpai pada awal abad ke-9 Masehi di Jawa Tengah. Uniknya, kerajaan-kerajaan tertua justru terdapat di Kalimantan Timur, Sumatra Selatan, dan Jawa Barat. Mengapa pertanian lebih berkembang di Jawa Tengah, mungkin saja karena di daerah-daerah itu masih banyak terdapat tanah kosong.
Undang-Undang Majapahit
Meskipun prasasti lebih banyak memberitakan masalah politik, adanya sebutan pendek tentang cara bertani di ladang (gaga) dan pembangunan bendungan cukup memberi kesan bahwa pertanian sudah memperoleh perhatian besar dari kerajaan. Begitu pula adanya penetapan daerah bebas pajak berupa sawah dan kebun, sebagaimana tersimpul dari Prasasti Kamalagi (821 M) dan Prasasti Watukura I (912 M).
Suatu hal yang mengherankan adalah golongan atau kelompok yang mata pencariannya sebagai petani baru dikenal pada prasasti tembaga Airkali (927 M). Kelompok petani itu dinamakan anak thani. Sejak saat itu, kelompok petani sering disinggung dalam prasasti, yakni thani, thani bala, atau tanayan thani.
Selain secara samar-samar, sejumlah prasasti sering menyebut secara gamblang tentang perhatian raja kepada pertanian. Menurut Prasasti Harinjing (804 M), raja memberikan hak sima (tanah yang dilindungi) kepada para pendeta di daerah Culangi karena mereka telah berjasa membuat sebuah saluran sungai bernama Harinjing.
Lain lagi menurut Prasasti Bakalan atau Wulig (933 M). Dikatakan, pada masa pemerintahan Raja Kadiri Mpu Sindok, telah dibuat bendungan untuk pengairan daerah Kapulungan, Wuatan Wulas, dan Wuatan Tamya.
Pada zaman Raja Airlangga rupa-rupanya kegiatan pertanian semakin maju. Hal ini terlihat di dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masanya. Ketika itu, banyak prasasti sering menyebut-nyebut golongan masyarakat petani di dalamnya.
Bahkan di dalam Prasasti Kamalagyan (1115 M), Airlangga memerintahkan pengendalian Sungai Brantas yang selalu meluap setiap tahunnya. Agar tidak memusnahkan banyak tanah pertanian, dibangunlah bendungan Kamalagyan. Sejak itu, para petani berhasil meningkatkan produk pertanian mereka.
Kegiatan pertanian mencapai puncak perkembangannya pada masa Kerajaan Majapahit. Terbukti, saat itu perhatian dari pihak penguasa terhadap pertanian sangat besar. Agar petani dapat bekerja dengan tenang dan baik, raja memberikan perlindungan kepada mereka. Pemakaian tanah juga diatur oleh undang-undang.
Di dalam undang-undang Agama disebutkan “Barang siapa membakar padi di ladang, tidak pandang besar atau kecil, si pelaku harus mengembalikan lima kali lipat kepada pemiliknya. Ditambah lagi dengan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa (Perundang-undangan Majapahit, 1967).
Saluran Irigasi yang Sempurna
Pada masa itu, menurut Edhie Wurjantoro (Majalah Arkeologi, 1977), bendungan-bendungan (dawuhan) untuk keperluan pengairan dibangun atas perintah Bhatara Matahun demi kesejahteraan rakyatnya. Yang banyak disebut adalah bendungan batu Kusmala untuk mengairi daerah sebelah timur Kadiri sebagaimana disebutkan Prasasti Kandangan (1350 M).
Pengairan di Majapahit juga diorganisasi secara teratur. Menurut Prasasti Jiwu (1486 M), air dialirkan ke sawah-sawah melalui saluran-saluran bertanggul. Pengaturan perairan dilakukan oleh seorang panghulu banu atau hulair (pada masa sekarang ulu-ulu).
Di samping itu, sejumlah prasasti menyebutkan adanya sejumlah pejabat yang tugasnya berhubungan dengan sawah atau pertanian, seperti hulu wras (mungkin semacam Bulog), pangulung padi (mungkin semacam KUD), dan ambekel tuwuh (pejabat yang mengurusi hasil bumi).
Ketika melakukan ekskavasi di situs Trowulan, yakni bekas ibu kota Kerajaan Majapahit, H. Maclaine Point berhasil menemukan sejumlah bendungan yang ternyata mempunyai saluran-saluran irigasi yang sempurna. Tak pelak, sektor pertanian menjadi unggulan sehingga rakyat Majapahit menjadi makmur. Banjir atau pengendalian air pun benar-benar diperhatikan.
Sementara menurut para musafir Tiongkok yang dibukukan dalam Kitab Sejarah Para Dinasti, hasil pertanian merupakan barang dagangan yang penting dari Jawa. Beras, gula, minyak kelapa, kapas, pinang, bawang, buah-buahan, mengkudu, dan daun sirih sering diperdagangkan antarpulau dan diekspor.
Banyak kerajaan kuno di Indonesia menjadi besar karena memerhatikan produk pertanian. Salah satunya adalah Majapahit yang dianggap sebagai kerajaan bercorak agraris terbesar di Indonesia.
Kalau saja pembesar-pembesar pusat dan daerah sekarang bersungguh-sungguh menangani sektor pertanian, tidak mustahil kejayaan kita akan sejajar bahkan melebihi Majapahit. Kita, misalnya, tidak akan mengimpor lagi kacang kedelai dan beras. Bukankah tanah pertanian kita begitu luas?
Sayang, kita terlalu bermimpi untuk menjadi negara industrialis sehingga melupakan masalah agraris. Keterampilan bangsa kita masih sebatas pertanian, bukan teknologi. Lalu bisakah kita menjadi negara agraris sebesar Majapahit, mengapa tidak?
(Sinar Harapan, 19 Februari 2008)
Pada zaman itu, masyarakat yang sebelumnya hidup secara nomaden, mulai hidup secara menetap, menanam berbagai macam tumbuhan dan menjinakkan hewan untuk dipelihara. Hutan belukar dibuka, lalu dijadikan ladang dalam tingkat yang paling sederhana. Bukti-bukti arkeologi berupa cangkul batu atau perunggu, mata bajak, banyak ditemukan di berbagai situs di seluruh Indonesia (Edhie Wurjantoro, 1977).
Selama hidup menetap inilah masyarakat mengolah tanah agar menjadi subur. Salah satu caranya adalah memberikan pengairan yang teratur. Mulai saat itulah, pertanian sawah dikenal orang.
Salah satu sumber sejarah kuno yang mengungkapkan data pertanian adalah prasasti, yang sebagian terbesar ditemukan di Jawa. Dari sumber-sumber itu diketahui bahwa penduduk Jawa mengenal dua jenis pertanian, yaitu gaga (ladang) dan sawah (sawah).
Sejauh ini bukti tertua tentang petunjuk adanya kegiatan pertanian diperlihatkan oleh Prasasti Tugu (abad ke-5 Masehi) yang ditemukan di wilayah Jakarta Utara sekarang. Isinya antara lain mengatakan bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Taruma memerintahkan penggalian saluran Gomati sepanjang 12 kilometer.
Kemungkinan saluran Gomati dibuat untuk mengendalikan banjir, pengairan, atau pelayaran. Tak hanya itu, ditemukan juga alat-alat pertanian dari batu dan logam di daerah-daerah yang diduga menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Taruma. Ini tentu lebih menunjukkan bahwa saluran itu ada hubungannya dengan pertanian.
Menurut penelitian para arkeolog, petunjuk yang lebih pasti tentang adanya sawah, baru dijumpai pada awal abad ke-9 Masehi di Jawa Tengah. Uniknya, kerajaan-kerajaan tertua justru terdapat di Kalimantan Timur, Sumatra Selatan, dan Jawa Barat. Mengapa pertanian lebih berkembang di Jawa Tengah, mungkin saja karena di daerah-daerah itu masih banyak terdapat tanah kosong.
Undang-Undang Majapahit
Meskipun prasasti lebih banyak memberitakan masalah politik, adanya sebutan pendek tentang cara bertani di ladang (gaga) dan pembangunan bendungan cukup memberi kesan bahwa pertanian sudah memperoleh perhatian besar dari kerajaan. Begitu pula adanya penetapan daerah bebas pajak berupa sawah dan kebun, sebagaimana tersimpul dari Prasasti Kamalagi (821 M) dan Prasasti Watukura I (912 M).
Suatu hal yang mengherankan adalah golongan atau kelompok yang mata pencariannya sebagai petani baru dikenal pada prasasti tembaga Airkali (927 M). Kelompok petani itu dinamakan anak thani. Sejak saat itu, kelompok petani sering disinggung dalam prasasti, yakni thani, thani bala, atau tanayan thani.
Selain secara samar-samar, sejumlah prasasti sering menyebut secara gamblang tentang perhatian raja kepada pertanian. Menurut Prasasti Harinjing (804 M), raja memberikan hak sima (tanah yang dilindungi) kepada para pendeta di daerah Culangi karena mereka telah berjasa membuat sebuah saluran sungai bernama Harinjing.
Lain lagi menurut Prasasti Bakalan atau Wulig (933 M). Dikatakan, pada masa pemerintahan Raja Kadiri Mpu Sindok, telah dibuat bendungan untuk pengairan daerah Kapulungan, Wuatan Wulas, dan Wuatan Tamya.
Pada zaman Raja Airlangga rupa-rupanya kegiatan pertanian semakin maju. Hal ini terlihat di dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masanya. Ketika itu, banyak prasasti sering menyebut-nyebut golongan masyarakat petani di dalamnya.
Bahkan di dalam Prasasti Kamalagyan (1115 M), Airlangga memerintahkan pengendalian Sungai Brantas yang selalu meluap setiap tahunnya. Agar tidak memusnahkan banyak tanah pertanian, dibangunlah bendungan Kamalagyan. Sejak itu, para petani berhasil meningkatkan produk pertanian mereka.
Kegiatan pertanian mencapai puncak perkembangannya pada masa Kerajaan Majapahit. Terbukti, saat itu perhatian dari pihak penguasa terhadap pertanian sangat besar. Agar petani dapat bekerja dengan tenang dan baik, raja memberikan perlindungan kepada mereka. Pemakaian tanah juga diatur oleh undang-undang.
Di dalam undang-undang Agama disebutkan “Barang siapa membakar padi di ladang, tidak pandang besar atau kecil, si pelaku harus mengembalikan lima kali lipat kepada pemiliknya. Ditambah lagi dengan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa (Perundang-undangan Majapahit, 1967).
Saluran Irigasi yang Sempurna
Pada masa itu, menurut Edhie Wurjantoro (Majalah Arkeologi, 1977), bendungan-bendungan (dawuhan) untuk keperluan pengairan dibangun atas perintah Bhatara Matahun demi kesejahteraan rakyatnya. Yang banyak disebut adalah bendungan batu Kusmala untuk mengairi daerah sebelah timur Kadiri sebagaimana disebutkan Prasasti Kandangan (1350 M).
Pengairan di Majapahit juga diorganisasi secara teratur. Menurut Prasasti Jiwu (1486 M), air dialirkan ke sawah-sawah melalui saluran-saluran bertanggul. Pengaturan perairan dilakukan oleh seorang panghulu banu atau hulair (pada masa sekarang ulu-ulu).
Di samping itu, sejumlah prasasti menyebutkan adanya sejumlah pejabat yang tugasnya berhubungan dengan sawah atau pertanian, seperti hulu wras (mungkin semacam Bulog), pangulung padi (mungkin semacam KUD), dan ambekel tuwuh (pejabat yang mengurusi hasil bumi).
Ketika melakukan ekskavasi di situs Trowulan, yakni bekas ibu kota Kerajaan Majapahit, H. Maclaine Point berhasil menemukan sejumlah bendungan yang ternyata mempunyai saluran-saluran irigasi yang sempurna. Tak pelak, sektor pertanian menjadi unggulan sehingga rakyat Majapahit menjadi makmur. Banjir atau pengendalian air pun benar-benar diperhatikan.
Sementara menurut para musafir Tiongkok yang dibukukan dalam Kitab Sejarah Para Dinasti, hasil pertanian merupakan barang dagangan yang penting dari Jawa. Beras, gula, minyak kelapa, kapas, pinang, bawang, buah-buahan, mengkudu, dan daun sirih sering diperdagangkan antarpulau dan diekspor.
Banyak kerajaan kuno di Indonesia menjadi besar karena memerhatikan produk pertanian. Salah satunya adalah Majapahit yang dianggap sebagai kerajaan bercorak agraris terbesar di Indonesia.
Kalau saja pembesar-pembesar pusat dan daerah sekarang bersungguh-sungguh menangani sektor pertanian, tidak mustahil kejayaan kita akan sejajar bahkan melebihi Majapahit. Kita, misalnya, tidak akan mengimpor lagi kacang kedelai dan beras. Bukankah tanah pertanian kita begitu luas?
Sayang, kita terlalu bermimpi untuk menjadi negara industrialis sehingga melupakan masalah agraris. Keterampilan bangsa kita masih sebatas pertanian, bukan teknologi. Lalu bisakah kita menjadi negara agraris sebesar Majapahit, mengapa tidak?
(Sinar Harapan, 19 Februari 2008)
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar