Oleh: Rosihan Anwar
Membaca tulisan Sabam Siagian berjudul Diskusi tentang Alm Amir Sjarifoeddin (SP 31 Mei 2008) tampil lagi di layar ingatan saya beberapa snapshot Bung Amir, sebagaimana saya mengenalnya pada zaman pendudukan Jepang dan hari-hari pertama revolusi Indonesia. Pada suatu malam pertengahan 1942, zaman Jepang, di sebuah gedung di jalan yang kini bernama Merdeka Barat, Jakarta, Barisan Pemuda Asia Raya digembleng oleh Mr Amir Sjarifoeddin, pemimpin nasionalis terkenal. Atas dorongan Dr Abu Hanifah, saya dan Usmar Ismail memasuki perkumpulan Barisan Pemuda Asia Raya, yang selain dilatih berbaris secara militer oleh dua mantan opsir tentara KNIL juga diberi ceramah- ceramah mengenai nasionalisme. Bung Amir menguraikan sejarah pergerakan nasional dan menganjurkan agar pemuda melanjutkan perjuangan untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Pemuda harus senantiasa senasib sepenanggungan dengan rakyat. Juga mendengarkan kata wong cilik. Dia menggunakan sebuah tamsil, yaitu supaya pemuda mendengarkan "radio masyarakat". Saya sangat terkesan oleh kepandaian Bung Amir berpidato. Saya kemudian menulis cerpen untuk ikut dalam perlombaan mengarang yang diselenggarakan oleh majalah Djawa Baroe. Judul cerpen Radio Masyarakat, terpilih sebagai pemenang nomor tiga. Dikasih hadiah Rp 50. Kelak dimuat oleh HB Jassin dalam antologi sastra Gema Tanah Air. Karena buku itu dipakai dalam pelajaran sastra pelajar SMP, saya dikenal sebagai yang menciptakan istilah Angkatan 45 dalam kesusasteraan, dan sebagai penulis cerpen Radio Masyarakat.
Pertemuan kedua dengan Bung Amir terjadi di Stasiun Gambir petang hari 1 Oktober 1945. Pada hari itu Merdeka, yang dipimpin BM Diah, terbit untuk pertama kali. Sebagai redaktur pertama harian Merdeka bersama Wali Kota Jakarta Suwiryo saya menunggu kedatangan Bung Amir dari Surabaya. Dia ditangkap oleh Jepang pada Januari 1943, dituduh memimpin gerakan di bawah tanah yang dibiayai dengan uang sebesar 25.000 gulden dari Van der Plas sebelum kapitulasi Belanda kepada Jepang. Dia dihukum mati oleh Jepang, tapi berkat intervensi Soekarno vonis itu tidak dilaksanakan. Bung Amir telah diangkat sebagai Menteri Penerangan dalam kabinet pertama Presiden Soekarno. Turun dari kereta api dia tampak lelah dan kurus. Jelas dia telah disiksa oleh kempetai Jepang. Dia tidak dapat memberikan keterangan apa-apa kepada wartawan yang datang, cuma satu orang. Dia langsung pulang ke rumah istrinya di Jalan Merbabu. Saya ikuti dia ke sana. Dia tetap tidak mau bicara. Kecuali bertanya "Saudara dulu ada di mana?" Saya jawab "Saya orang biasa, Bung". Segera dia bertugas sebagai Menteri Penerangan. Pada 4 Oktober diselenggarakan konferensi pers pertama dengan koresponden luar negeri yang telah datang di Jakarta. Diceritakannya pengalamannya dalam gerakan bawah tanah melawan Jepang. Dengan tegas disimpulkannya: "Semua itu menunjukkan cerita-cerita orang di luar bahwa pemerintahan RI adalah boneka Jepang sama sekali tidak benar". Saya terkesan mendengar kefasihan dia bicara dalam bahasa Inggris.
Tak Banyak Bicara
Pada hari yang sama di kediaman Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi), Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta menerima para koresponden luar negeri, yang pada waktu itu berpakaian seragam militer dan di pundak ada badge war correspondent. Soekarno didampingi oleh beberapa menteri, seperti, Menlu Subardjo, Mendagri Wiranatakusuma, Menteri Perekonomian Surachman, Menteri Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Menteri Kehakiman Soepomo, dan Menteri Penerangan Amir Sjarifoeddin yang pakai celana pendek, kaus kaki panjang, gaya uniform Marsekal Lord Wavell. Dia tidak banyak bicara. Yang menjawab pertanyaan Presiden Soekarno
Pada 10 Oktober, Tiongkok merayakan peringatan Kuomintang. Di gedung Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Lapangan Banteng (di zaman Belanda Hooggerechtshof, Mahkamah Agung) Bung Amir berpidato tanpa teks yang dipersiapkan. Dia bicara lancar, menarik, karena merujuk pada fakta-fakta sejarah. Salah satu sound bite diutarakannya ialah "Kemerdekaan adalah jembatan emas untuk mencapai keadilan dan kemakmuran".
Kami berada di Yogya pada 10 November 1945 di Gedung Sociteite, tempat diadakannya Kongres Pertama Pemuda Indonesia. Presiden dan Wakil Presiden hadir, juga Menteri Penerangan. Pukul 10.00 di- terima telepon interlokal dari Surabaya yang mengabarkan "Inggris telah mulai membom". Sumarsono, pemimpin PRI (Pemuda Republik Indonesia), segera menginstruksikan agar delegasi Jawa Timur meninggalkan ruangan dan kembali ke front. Bung Amir mendekati saya dan berkata "Pergilah ke Surabaya. Beritakan pertempuran di situ". Itulah sebabnya saya dan rekan Mohammad Supardi dari Merdeka dengan naik kereta api yang membawa amunisi berangkat meliput pertempuran di Surabaya.
Saya lihat Bung Amir bersama Dr Ak Gani menyambut kedatangan delegasi Belanda di Pelabuhan Cirebon pada November 1946. Ketua Komisi Jenderal Belanda mantan PM Schermerhorn dan Letnan Gubernur Jenderal Van Mook sedang dalam perjalanan ke Linggajati di mana sudah menunggu PM Sutan Sjahrir. Saya tidak dapat bicara dengan Bang Amir waktu itu. Saya bukan wartawan, melainkan ditunjuk oleh pemerintah menjadi ajudan Lord Killearn, sehingga sibuk melayani diplomat Inggris yang jadi mediator perundingan Linggajati. Karena Sjahrir menolak tuntutan Belanda supaya menyetujui pembentukan gendarmerie yang bertanggung jawab atas keamanan dan di- kepalai oleh jenderal Belanda, sedangkan di pasal-pasal politik dia telah memberikan konsesi, terjadi krisis yang menyebabkan Sjahrir mengembalikan mandatnya. Amir Sjarifoeddin tampil sebagai PM pada 3 Juli 1947, tapi dalam kabinetnya Masyumi tidak ikut serta. Atas saran Soekarno, Bung Amir memasukkan orang-orang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) seperti Wondoamisano, Arudji Kartawinata ke dalam kabinet dan dengan begitu Masyumi terpecah-belah. Sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Siasat, saya diminta datang ke Yogya untuk menghadiri konferensi pers yang diadakan oleh Bung Amir. Saya dengarkan uraiannya bahwa dia membutuhkan backing politik golongan Islam terhadap kabinetnya dan karena itu memasukkan PSII ke dalamnya. Tak lama setelah saya balik ke Jakarta, pada 21 Juli 1947 Belanda melancarkan aksi militernya yang pertama terhadap Republik.
Kapal Perang
Kesempatan berikut saya melihat Bung Amir ialah di kapal perang Amerika Renville, yang berlabuh di Tanjung Priok di mana diadakan perundingan dengan pihak Belanda. Bung Amir sedang bercakap-cakap dengan Profesor Frank Graham, wakil Amerika dalam Komisi Tiga Negara (KTN) yang jadi perantara dalam perundingan Renville, Desember 1947 dan berakhir dengan ditandatanganinya Persetujuan Renville 17 Januari 1948. Waktu bercakap-cakap dengan Graham di geladak Renville, Bung Amir memegang sebuah Kitab Injil. Reaksi partai Masyumi dan PNI terhadap teks perjanjian Renville yang telah ditandatangani oleh PM Amir Sjarifoeddin menimbulkan krisis kabinet. Bung Amir mengembalikan mandat dan kabinetnya digantikan oleh kabinet Mohammad Hatta pada 29 Januari 1948. Sejak itu Bung Amir hilang dari layar radar pengamatan saya. Dari pedalaman datang berita mengenai oposisi keras dari Sayap Kiri yang kemudian menjelma sebagai FDR (Front Demokrasi Rakyat) terhadap kabinet Hatta. Bung Amir aktif di dalamnya. Pada 11 Agustus, Suripno yang mewakili RI di Praha, bersama seorang "sekretaris" terbang dari Bukittinggi ke Yogya dan beberapa hari kemudian mengungkapkan bahwa "sekretaris" itu ada- lah Musso, gembong PKI yang sudah lama bermukim di Uni Soviet.Dengan cepat Musso membubarkan FDR, membentuk PKI. Bung Amir memberikan pengakuan publik bahwa sejak 1935 dia bergabung dengan "Partai Komunis Ilegal" yang dibentuk oleh Musso di Surabaya pada 1936. Lalu Setiadjit, Tan Ling Djie, dan Abdulmadjid, juga mengaku mereka adalah komunis.Pada 18 September 1948 dipimpin oleh Sumarsono pecah pemberontakan PKI di Madiun. Akibatnya, Soekarno-Hatta bertindak tegas terhadap PKI. Musso ditembak mati ketika melarikan diri. Bung Amir bersama Maruto Darusman ditangkap, kemudian menjelang akhir tahun dieksekusi di sebuah desa dekat Solo. Bung Amir tewas dengan menggenggam sebuah buku doa Kristen, setelah menyanyikan lagu "Internationale", dalam usia 41 tahun, masih muda. Apakah Bung Amir komunis? Pertanyaan ini saya ajukan kepada Bung Sjahrir yang menjawab "tidak". Tapi, Sjahrir tidak memberikan alasan mengapa dia menjawab begitu. Bagaimanakah Bung Amir waktu masih studen Rechts Hoge School di Batavia? Tanya saya kepada Dr Abu Hanifah, yang satu asrama dengan Bung Amir. Dijawabnya "Amir itu seniman. Di kamarnya dia suka main biola menggesek lagu-lagu klasik. Pada waktu itu karena pengaruh guru besarnya Profesor Schepper dia sedang tekun membaca Injil, sebagai orang yang semula Islam berganti agama memeluk Kristen. Tidak ada tanda-tanda dia tertarik pada komunisme". George McTurnan Kahin penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia menceritakan bahwa Amir Sjarifoeddin menjadi tokoh oposisi di barisan Sayap Kiri karena "kecewa kepada Amerika sewaktu perundingan Renville". Dia merasa ditinggalkan oleh AS yang katanya jago demokrasi itu. Tapi, keterangan lain yang saya dengar waktu itu sebabnya Amir menyatakan dirinya komunis adalah untuk tetap bisa berperan sentral di pentas politik, berada at center stage. Mana yang benar, siapa yang tahu? Bung Amir telah membawa sebuah misteri ke alam kubur. Orang boleh mengadakan kajian psiko-analisis dan mungkin di situ bisa diperoleh jawaban untuk menerangkan perilaku Bung Amir. Di mata saya, sebagai wartawan muda di zaman revolusi, Bung Amir adalah seorang nasionalis, idealis, tapi bersamaan juga tragis.
Penulis adalah wartawan senior
Sumber: SUARA PEMBARUAN DAILY
Wednesday, November 26, 2008 at 4:51am
Wednesday, November 26, 2008 at 4:51am
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar