Sebuah yayasan yang menekuni teknologi informasi dari hasil penjelajahan di internet menemukan video tentang lagu Indonesia Raya dari hasil penjelajahan di internet. Rekaman yang diklaim sebagai versi awal, konon kabarnya dibuat masa pendudukan Jepang tahun 1944. Versi tersebut berisi tiga stanza (kuplet) berdurasi tiga menit 49 detik. Penemuan ini menimbulkan kehebohan, apakah lagu Indonesia Raya yang kita kenal selama ini dan dilagukan dalam berbagai kesempatan merupakan karya cipta yang palsu? Atau apakah dokumen yang ditemukan itu merupakan versi asli dari lagu ciptaan Wage Rudolf Supratman? Jadi isunya menyangkut dua hal, yakni keaslian video yang ditemukan itu dan lirik lagu Indonesia Raya. Berita ini kian hangat karena disampaikan melalui televisi termasuk infotainment oleh pakar telematika Roy Suryo yang sering diminta konfirmasinya dalam kasus keaslian video gosip artis/pejabat. Pada 7 Agustus 2007 di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Jakarta diputar film yang pernah ditayangkan dalam acara Hari Ini Dalam Sejarah TVRI 28 Oktober 1984. Mona Lohanda, kini Deputi Kepala ANRI yang menangani acara itu tahun 1980-an mengatakan bahwa dokumentasi itu dibuat berdasarkan film yang diserahkan oleh pihak Belanda tahun 1983. Film itu merupakan bagian dari propaganda yang dibuat produsen film Jepang dan disita oleh Belanda ketika kembali ke Indonesia tahun 1945. Film itu menggambarkan suasana sebelum Indonesia merdeka. Ada foto Soekarno dan tokoh masyarakat seperti ulama yang berpidato menggugah semangat rakyat. Pemuda, anak sekolah dan tentara (yang bertelanjang dada) berbaris dan melagukan Indonesia Raya. Menurut Kepala ANRI Djoko Utomo dokumen yang mereka terima dari Belanda terdiri dari tiga bagian, yakni film tanpa suara, suara tersendiri dan yang ketiga, gabungan antara gambar dan suara. Yang menjadi tanda tanya, mengapa dalam film tersebut terdapat kata merdeka, merdeka bukan moelia, moelia. Apakah pemakaian istilah ini dibiarkan saja oleh Jepang. Jawabannya diberikan oleh dokter yang sekaligus sejarawan Rushdy Hoesein bahwa ada dua film yang dibuat ketika itu yakni Menjelang Indonesia Merdeka tahun 1944 dan Indonesia Raya tahun 1945 (kemungkinan Maret atau April). Dalam film yang pertama terdapat pidato Koiso (Perdana Menteri Jepang) yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia di kemudian hari. Soekarno mengucapkan terima kasih (dan juga menginsyafi bahwa itu baru janji). Untuk mencapainya rakyat harus bekerja keras. Saat itu dalam film tersebut lagu Indonesia Raya masih menggunakan kata moelia, moelia. Perkembangan situasi politik yang kian panas menyebabkan Jepang akhirnya menoleransi penggunaan kata 'merdeka, merdeka' dalam film Indonesia Raya yang dibuat tahun 1945. Tampaknya film yang kedua itu yang dimiliki oleh ANRI. Film itu berdurasi 15 menit, sedangkan video yang ditemukan oleh Roy Suryo dengan gambar yang sama, tetapi kualitas yang lebih buruk boleh dikatakan potongan dari film ini karena berdurasi hanya sekitar tiga menit. Yang menarik pula informasi yang disampaikan Rushdy Hoesein bahwa majalah Time terbitan awal Desember 1946 memuat laporan khusus tentang Indonesia. Wartawan majalah ini mendengarkan kemiripan nada lagu Indonesia Raya dengan lagu Hoola Boola, lagu masyarakat Hawaii yang pada tahun 1920-an menjadi lagu kampus Yale University. Kemiripan tentu boleh saja karena lagu kebangsaan Malaysia misalnya, juga mirip lagu Indonesia Terang Bulan. Kita ketahui bahwa lagu Indonesia Raya telah ditampilkan oleh WR Supratman dalam Kongres Pemuda 29 Oktober 1928 dengan menggunakan biola. Alat musik itu kini disimpan pada Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya 106 Jakarta. Karena ia juga wartawan Sin Po, lagu itu juga telah dimuat pada koran tersebut tanggal 27 Oktober 1928. Saya melihat keanehan dalam fotokopi dokumen yang ada pada ANRI karena pada terbitan harian Sin Po pada 27 Oktober 1928 itu ditulis bahwa lagu itu telah dinyanyikan pada 28 Oktober 1928. Namun beberapa waktu kemudian beberapa surat kabar lain juga memuat tentang lagu tersebut. Dalam suasana zaman penjajahan Belanda di mana intel penjajah mengintai di mana-mana, maka Supratman memang menulis lagu dengan agak menyamarkan liriknya, misalnya ia memakai Indones yang mengaju kepada Indonesia, moelia untuk mengganti kata merdeka. Sebuah informasi yang perlu diverifikasi lagi menyebutkan bahwa lagu Indonesia (Raya) itu dijadikan piringan hitam oleh Firma Tio Tek Hong tahun 1929. Setelah Indonesia merdeka, perusahaan negara Lokananta di Surakarta juga membuat piringan hitam lagu-lagu ciptaan WR Supratman. Tidak jelas apakah dalam lagu itu juga terdapat lagu Indonesia Raya. Lokananta kini sudah tutup, tetapi Perusahaan Percetakan Negara Republik Indonesia (PCNRI) cabang Surakarta mengatakan bahwa mereka masih memiliki 883 kopi lagu Indonesia Raya dalam bentuk piringan hitam yang direkam oleh Lokananta. Pada rekaman itu selain dari nyanyi Indonesia Raya tiga stanza juga ada lagu intrumentalia. Pada 1944 terbentuk Panitia Lagu Kebangsaan Indonesia yang diketuai Soekarno dengan anggota antara lain KH Dewantara, Koesbini, KH Mas Mansur, M Yamin, Sanusi Pane, C Simandjuntak, Ahmad Subardjo. Panitia ini pada 8 September 1944 menetapkan (i) apabila lagu Indonesia dinyanyikan satu kuplet saja, maka ulangan (refrain)-nya dinyanyikan dua. Apabila dinyanyikan tiga kuplet, maka ulangannya satu kali kecuali pada kuplet ketiga sebanyak dua kali. (ii) Ketika menaikkan bendera Merah Putih, lagu Indonesia Raya diperdengarkan dengan ukuran cepat 104. (iii) Perkataan semua diganti dengan sem'wanya, not ditambah dengan do. 4) Perkataan refrein diganti ulangan. Pada tanggal itu juga ditetapkan perubahan lagu Indonesia seperti yang kita kenal sekarang. Hanya saja pada umumnya lagu itu diperdengarkan satu kuplet saja, sehingga orang tidak terbiasa mendengar kuplet kedua dan kuplet ketiga lagu tersebut. Pada 26 Juni 1958 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No 44 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Peraturan ini dikeluarkan karena dianggap perlu untuk menetapkan ''nada-nada, irama, iringan, kata-kata dan gubahan-gubahan dari lagu tersebut dan cara penggunaannya''. Pada lampiran peraturan pemerintah itu diterakan lagu Indonesia Raya seperti yang kita kenal sekarang, terdiri dari tiga kuplet. Apabila diiringi dengan alat musik, maka lagu itu hanya dinyanyikan satu strofe dengan dua kali ulangan. Tanpa alat musik, lagu ini bisa dinyanyikan satu bait atau tiga bait. Lagu kebangsaan tidak boleh dinyanyikan pada waktu dan sembarangan tempat. Bahkan pada Pasal 8 juga dicantumkan 'Lagu Kebangsaan tidak boleh diperdengarkan dan atau dinyanyikan dengan nada-nada, irama, iringan, kata-kata dan gubahan-gubahan lain dari pada yang tertera dalam lampiran-lampiran peraturan ini'.
Tidak usah membuat undang-undang
Mengenai lagu kebangsaan ini tidak ada kontroversi karena sudah ditetapkan berdasarkan peraturan pemerintah tahun No 44 Tahun 1958. Kalau ada temuan baru mengenai lagu Indonesia Raya itu merupakan dokumen tambahan yang berharga bagi penulisan sejarah lagu kebangsaan. Namun lagunya sendiri tidak akan berubah atau diubah. Perubahan itu telah dilakukan sebuah tim yang dipimpin oleh Ir Soekarno tahun 1944. Kalau sedikit kontroversi itu hanya menyangkut ahli waris W Supratman. Setelah ditetapkan sebagai lagu kebangsaan tahun 1958, maka pemerintah perlu membayar copyright penulis lagu tersebut. Salamah yang pernah menjadi pembantu rumah tangga Supratman mengaku pernah menikah dengannya. Di dalam sidang di pengadilan negeri Surabaya ditetapkan empat saudara perempuan Supratman yang masih hidup ketika itu sebagai ahli waris dan perkawinan Salamah dengan Supratman tidak terbukti. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1960 menyerahkan uang sebanyak Rp250.000 kepada keempat ahli waris tersebut. Tahun 1970 WR Supratman yang meninggal 17 Agustus 1938 dalam usia 35 tahun itu ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Tahun 1999, dikeluarkan uang pecahan Rp50.000 memakai gambar WR Supratman. Pada tahun itu juga diadakan pemugaran rumah dan makam WR Supratman di Surabaya atas biaya pemerintah daerah dan dibantu oleh Bank Indonesia. Penemuan video tentang lagu Indonesia Raya di Leiden itu dapat menambah dokumen tentang sejarah lagu kebangsaan namun tidak akan mengubah lagu itu sendiri yang sudah ditetapkan dengan peraturan pemerintah pada 1958.
Heboh soal lagu Indonesia Raya mendorong kalangan DPR untuk menyusun RUU Lagu Kebangsaan. Menurut hemat saya, tidak usah membuat undang-undang baru lagi, karena Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 1958 itu sudah rinci. Kecuali kalau ada anggaran berlebih.(Penulis: Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI, Mediaindonesia.com)
Mengenai lagu kebangsaan ini tidak ada kontroversi karena sudah ditetapkan berdasarkan peraturan pemerintah tahun No 44 Tahun 1958. Kalau ada temuan baru mengenai lagu Indonesia Raya itu merupakan dokumen tambahan yang berharga bagi penulisan sejarah lagu kebangsaan. Namun lagunya sendiri tidak akan berubah atau diubah. Perubahan itu telah dilakukan sebuah tim yang dipimpin oleh Ir Soekarno tahun 1944. Kalau sedikit kontroversi itu hanya menyangkut ahli waris W Supratman. Setelah ditetapkan sebagai lagu kebangsaan tahun 1958, maka pemerintah perlu membayar copyright penulis lagu tersebut. Salamah yang pernah menjadi pembantu rumah tangga Supratman mengaku pernah menikah dengannya. Di dalam sidang di pengadilan negeri Surabaya ditetapkan empat saudara perempuan Supratman yang masih hidup ketika itu sebagai ahli waris dan perkawinan Salamah dengan Supratman tidak terbukti. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1960 menyerahkan uang sebanyak Rp250.000 kepada keempat ahli waris tersebut. Tahun 1970 WR Supratman yang meninggal 17 Agustus 1938 dalam usia 35 tahun itu ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Tahun 1999, dikeluarkan uang pecahan Rp50.000 memakai gambar WR Supratman. Pada tahun itu juga diadakan pemugaran rumah dan makam WR Supratman di Surabaya atas biaya pemerintah daerah dan dibantu oleh Bank Indonesia. Penemuan video tentang lagu Indonesia Raya di Leiden itu dapat menambah dokumen tentang sejarah lagu kebangsaan namun tidak akan mengubah lagu itu sendiri yang sudah ditetapkan dengan peraturan pemerintah pada 1958.
Heboh soal lagu Indonesia Raya mendorong kalangan DPR untuk menyusun RUU Lagu Kebangsaan. Menurut hemat saya, tidak usah membuat undang-undang baru lagi, karena Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 1958 itu sudah rinci. Kecuali kalau ada anggaran berlebih.(Penulis: Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI, Mediaindonesia.com)
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar