Sistem pekarangan dan dinamika struktur tanaman pekarangan.
Pekarangan dan Dinamika Struktur Tanaman Pekarangan
Hanya Ilustrasi |
Karyono, dkk. (1981) melaporkan bahwa sebidang tanah darat disebut pekarangan apabila didalamnya ada rumah, ada tanamannya dan mempunyai batas pemilikan yang jelas. Soemarwoto (1988) melihat pekarangan tidak hanya dari sudut tanaman saja, tetapi hewan haruslah dimasukan ke dalam bagian di dalamnya yang tidak bisa dipisahkan, oleh karena itu di dalam pekarangan terjadi interaksi antara manusia, tanaman dan hewan peliharaan. Pada tahun 1982 di Bandung telah diadakan Seminar Ekologi Pekarangan ke-3, pada seminar tersebut disepakati diantaranya definisi dari pekarangan, pekarangan adalah sebidang tanah di sekitar rumah yang mempunyai hak fungsionil terhadap pemiliknya. Hak fungsionil dimasukan dalam definisi pekarangan mempunyai arti yang penting, karena pekarangan adalah man made dimana manusia (sebagai pemilik dan manager) mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan warna dari pekarangan itu sendiri.
Pekarangan merupakan salah satu bentuk dari agroekosistem yang menunjukkan adanya satu kesatuan antara sistem pertanian tradisional yang khas dengan sistem penggunaan lahan lainnya, yang mempunyai perbedaan dengan sistem pertanian lainnya yang ada di pedesaan. Pekarangan merupakan ekosistem buatan, sedangkan susunan floristik yang mengisi ruang pekarangan sangat tergantung dari latar belakang pemilik pekarangan, sehingga struktur pekarangan yang satu dengan lainnya bisa berbeda (Abdoelah dkk, 1980). Hasil kajian menunjukkan bahwa struktur floristik agroekosistem dipengaruhi oleh faktor biofisik dan faktor sosial budaya ekonomi (Karyono, 1990). Faktor biofisik yang mempengaruhi struktur floristik, antara lain ketinggian tempat dari air laut, iklim dan topografi. Misalnya, pekarangan di daerah pegunungan berbeda susunan floristiknya dengan pekarangan di daerah dataran rendah atau pantai, pekarangan dekat kota akan berbeda susunan floristiknya dengan pekarangan jauh dari kota (Hadikusumah, 2005).
Pekarangan tradisional merupakan pekarangan yang memiliki struktur tanaman dengan keanekaan jenis tanaman yang mempunyai tinggi yang berbeda-beda sehingga membentuk tajuk yang berlapis-lapis dengan pengelolaan pekarangan yang tidak intensif. Pekarangan tradisonal memiliki fungsi ekologis yang lebih dominan dibandingkan dengan fungsi ekonomi dan sosial budaya. Tanaman yang berada di pekarangan tradisional umumnya digunakan atau dimanfaatkan untuk kebutuhan sendiri (subsiten) (Soemarwoto, 1989).
Pekarangan tradisional merupakan usaha tani terpadu yang dikembangkan masyarakat untuk memenuhi berbagai keperluan hidupnya. Pekarangan tradisional berbeda dengan pekarangan modern. Dalam pemanfaatannya, pekarangan tradisional lebih banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan sendiri (subsisten) dibandingkan untuk dijual hasilnya (komersil). Sedangkan pada pekarangan modern, pemanfaatannya lebih besar untuk dijual hasilnya (komersil). Selain itu, keragaman tanaman pada pekarangan tradisional lebih tinggi dibandingkan dengan keragaman tanaman pada pekarangan modern (Hadikusumah, 2005).
Struktur pekarangan tidak saja dipengaruhi oleh faktor fisik, tetapi juga oleh faktor sosial budaya dan fungsi pekarangan menurut kebutuhan penghuninya. Struktur itu tidak tetap, melainkan dapat berubah dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan masyarakat, khususnya perkembangan kegiatan pertanian. Meskipun sistem pekarangan mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan dengan tata guna lahan lainnya, akan tetapi bukan berarti pekarangan terlepas dari pengaruh perkembangan jaman. Perubahan struktur dan fungsi pekarangan di berbagai daerah yang disebabkan oleh pengaruh berbagai faktor, seperti sosial budaya ekonomi, biogeofisik dan kebijakan mulai mempengaruhi keberadaan pekarangan, khususnya pekarangan di daerah pedesaan (Hadikusumah, 2005).
Struktur pekarangan dibedakan antara struktur tanaman dan bangunan yang mengisi ruang ke arah horizontal dan vertikal. Ciri utama pekarangan adalah adanya keanekaan jenis tanaman yang mempunyai tinggi yang berbeda-beda sehingga membentuk tajuk yang berlapis-lapis. Adanya keanekaan jenis tanaman pekarangan yang besar dilaporkan oleh para peneliti di beberapa tempat. Misalnya di Kampung Selajambe, Cianjur, inventarisasi yang dilakukan terhadap 40 pekarangan menemukan 219 jenis tanaman pada musim kemarau dan 272 jenis pada musim hujan. Pekarangan di daerah tersebut umumnya mempunyai 30 – 50 jenis tanaman pada setiap petak pekarangan. Keanekaan tanaman yang besar juga dilaporkan di daerah Pananjung, Pangandaran (Abdoellah dkk, 1978), di Kampung Babakan Cianjur, Cililin Kabupaten Bandung (Iskandar, dkk., 1980), di daerah sekitar Yogyakarta (Danoesastro, 1976) dan di daerah pemukiman transmigrasi di Kalimantan Tengah dan Selatan (Karyono dkk, 1980). Oleh karena itu para ahli ekologi umumnya berpendapat bahwa keanekaan tanaman dalam suatu ekosistem mempunyai hubungan dengan stabilitasnya, makin besar keanekaan, makin tinggi pula stabilitasnya (Conway, 1984; Soemarwoto, 1988).
Dinamika struktur dan fungsi pekarangan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi faktor biofisik dan sosial ekonomi budaya. Faktor biofisik seperti iklim dan edafik dapat membentuk struktur tanaman di pekarangan yang cocok dengan kondisi daerahnya masing-masing. Misalnya di daerah pegunungan cocok untuk golongan tanaman sayuran, di daerah dataran rendah cocok untuk golongan tanaman pangan dan seterusnya. Musim juga dapat mempengaruhi struktur pekarangan, Penelitian Abdoellah, dkk (1978) di Desa Selajambe, Cianjur melaporkan bahwa struktur tanaman pada pekarangan yang sama pada musim hujan berbeda dengan musim kemarau, karena penduduk lebih banyak menanam tanaman semusim pada musim hujan. Struktur tanaman di pekarangan dipengaruhi juga oleh luas jenis tata guna lahan lainnya di daerah tersebut, sebagai contoh Karyono (1981) melaporkan bahwa, tanaman pekarangan di daerah sawah yang menjadi pusat asosiasi adalah tanaman buah-buahan, sedangkan tanaman pekarangan di daerah non-sawah yang menjadi pusat asosiasi adalah tanaman pangan. Penelitiannya yang lain di DAS Citarum pada tahun 1998 menemukan adanya korelasi antara luas pekarangan dengan jumlah jenis, dimana makin luas pekarangan makin besar jumlah jenis tanaman tanaman yang ada di pekarangan.
Struktur tanaman di pekarangan juga dapat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya. Penelitian yang dilakukan oleh Abdoellah, dkk (1978) di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah menemukan bahwa, telah terjadi interaksi antara budaya Sunda dan Jawa, ada perbedaan yang signifikan pada katagori golongan tanaman pekarangan diantara kedua etnik tersebut. Orang Sunda lebih banyak menanam tanaman sayuran sementara orang Jawa banyak menanam tanaman obat dan pangan di lahan pekarangannya. Laporan Hisyam dkk (1978) menjelaskan bahwa struktur ruang di pekarangan diisi pula oleh lahan kosong yang biasanya tidak ditanami, lahan tersebut digunakan untuk kegiatan sosial-budaya seperti, tempat bermain anak-anak, upacara keagamaan, hajatan, dan lain-lain. Faktor sosial lainnya, seperti tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, keadaan ekonomi dapat pula mempengaruhi struktur pekarangan. Soemarwoto (1991) menyebutkan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan dan kekayaan pemilik pekarangan maka biasanya makin dominan tanaman hias di pekarangannya.
Sistem Pekarangan, merupakan salah satu pokok mata kuliah hortikultura yang diajarkan oleh dosen saya di fakultas pertanian juirusan agrokoetegnologi.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar