AGROFORESTRY
1. Agroforestri: ilmu baru, teknik lama
Penanaman berbagai macam pohon dengan atau tanpa tanaman setahun (semusim) pada lahan yang sama sudah sejak lama dilakukan petani di Indonesia. Contoh ini dapat di lihatdengan mudah pada lahan pekarangan di sekitar tempat tinggal petani. Praktek ini semakinmeluas belakangan ini khususnya di daerah pinggiran hutan dikarenakan Ketersediaan lahan yang semakin terbatas Konversi hutan alam menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversi menjadi lahan usaha lain. Maka lahirlah agroforestri sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian atau kehutanan. Ilmu ini berupaya mengenali dan mengembangkan keberadaan sistem agroforestri yang telah dikembangkan petani di daerah beriklim tropis maupun beriklim subtropis sejak berabad-abad yang lalu. Agroforestri merupakan gabungan ilmu kehutanan dengan agronomi, yang memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan.
Agroforestri diharapkan bermanfaat selain untuk mencegah perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumberdaya hutan, meningkatkan mutu pertanian serta menyempurnakan intensifikasi dan diversifikasi silvikultur. Sistem ini telah dipraktekkan oleh petani di berbagai tempat di Indonesia selama berabad-abad (Michon dan de Foresta, 1995), misalnya sistem ladang berpindah, kebun campuran di lahan sekitar rumah (pekarangan) dan padang penggembalaan. Contoh lain yang umum dijumpai di Jawa adalah mosaik-mosaik padat dari hamparan persawahan dan tegalan produktif yang diselang-selingi oleh rerumpunan pohon.
Sebagian dari rerumpunan pohon tersebut mempunyai struktur yang mendekati hutan alam dengan beraneka-ragam spesies tanaman. Berdasarkan motivasi yang dimiliki petani, terdapat dua sistem terbentuknya agroforestri di lapangan yaitu sistem bercocok tanam "tradisional" dan sistem "modern". Sistem "tradisional" adalah sistem yang "dikembangkan dan diuji" sendiri oleh petani, sesuai dengan keadaan alam dan kebutuhan atau permintaan pasar, serta sejalan dengan perkembangan pengalamannya selama bertahun-tahun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam sistem “tradisional”, pengembangan bercocok tanam biasanya hanya didasarkan pada usaha coba-coba (trial and error), tanpa penelitian formal maupun bimbingan dari penyuluh/petugas lapangan. Dalam sistem bercocok tanam "modern", gagasan dan teknologi berasal dari hasil-hasil penelitian.
2. Jenis Agroforestri
Dalam Bahasa Indonesia, kata Agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De Foresta dan Michon (1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks,.
2.1 Sistem Agroforestri Sederhana
Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.
Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, belinjo, petai, jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, kacang- kacangan, ubi kayu, sayur-mayur dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.
Bentuk agroforestri sederhana yang paling banyak dibahas di Jawa adalah tumpangsari. Sistem ini, dalam versi Indonesia, dikenal dengan “taungya” yang diwajibkan di areal hutan jati di Jawa dan dikembangkan dalam rangka program perhutanan sosial dari Perum Perhutani. Pada lahan tersebut petani diijinkan untuk menanam tanaman semusim di antara pohon-pohon jati muda. Hasil tanaman semusim diambil oleh petani, namun petani tidak diperbolehkan menebang atau merusak pohon jati dan semua pohon tetap menjadi milik Perum Perhutani. Bila pohon telah menjadi dewasa, tidak ada lagi pemaduan dengan tanaman semusim karena adanya masalah naungan dari pohon. Jenis pohon yang ditanam khusus untuk menghasilkan kayu bahan bangunan (timber) saja, sehingga akhirnya terjadi perubahan pola tanam dari sistem tumpangsari menjadi perkebunan jati monokultur.
Sistem sederhana tersebut sering menjadi penciri umum pada pertanian komersial. Dalam perkembangannya, sistem agroforestri sederhana ini juga merupakan campuran dari beberapa jenis pepohonan tanpa adanya tanaman semusim. Sebagai contoh, kebun kopi biasanya disisipi dengan tanaman dadap (Erythrina) atau kelorwono disebut juga gamal (Gliricidia) sebagai tanaman naungan dan penyubur tanah. Contoh tumpangsari lain yang umum dijumpai di daerah Ngantang, Malang adalah menanam kopi pada hutan pinus (lihat box1).
Gambar 1. Sistem agroforestri sederhana di Ngantang, Malang Jawa Timur. Kopi dan pisang ditanam oleh petani di antara pohon pinus milik Perum Perhutani (Gambar kiri). Gliricidia dan pisang ditanam sebagai naungan pohon kopi (Gambar kanan) (Foto: Meine van Noordwijk).
Contoh Kasus 1. Tumpangsari pinus dan kopi di daerah Ngantang, Malang. Pada tahun 1974 Perum Perhutani menawarkan kepada petani program tumpangsari dan setiap petani yang mengikuti program ini berhak mengelola tanah seluas 0.5 ha. Setiap petani memperoleh bibit mahoni atau pinus untuk ditanam. Mahoni dan pinus merupakan pohon penghasil timber sebagai sumber keuntungan bagi Perhutani.
Lahan dibuka dari hutan primer, kemudian ditanami jagung atau ubi kayu di antara pohon- pohon pinus yang baru ditanam. Sistem ini terus berlangsung sampai tanaman pinus berumur 5 tahun, kemudian karena pertumbuhan mahoni kurang baik Perhutani menawarkan kepada masyarakat untuk menanam kopi di antara tanaman pinus, asalkan keamanan dan perawatan pohon pinus tetap terjaga. Tawaran ini disambut baik oleh petani setempat karena harga biji kopi cukup menarik. Bibit kopi yang ditanam adalah swadaya petani setempat. Selain kopi, petani juga menanam pisang sebagai naungan kopi. Hasil buah pisang dikirim ke Pulau Bali sebagai bahan dasar pembuat keripik pisang. Hasil penjualan pisang ini sepenuhnya milik petani. Sedang hasil penjualan biji kopi dibagi antara petani dan Perhutani, 2/3 hasil untuk petani dan 1/3 untuk Perhutani.
Penyadapan getah pinus dilakukan bila pinus telah berumur sekitar 20 tahun, penyadapan dilakukan oleh petani dan hasil sadapan dibeli Perhutani seharga Rp 1000 per kg (harga saat ini, Januari 2002). Hasil timber tetap menjadi milik Perhutani. Contoh kasus ini memberikan ilustrasi bahwa keberhasilan program konservasi alam ini sangat ditentukan oleh keterlibatan dan terjaminnya kesejahteraan masyarakat setempat.
Bentuk agroforestri sederhana ini juga bisa dijumpai pada sistem pertanian tradisional. Pada daerah yang kurang padat penduduknya, bentuk ini timbul sebagai salah satu upaya petani dalam mengintensifkan penggunaan lahan karena adanya kendala alam, misalnya tanah rawa. Sebagai contoh, kelapa ditanam secara tumpangsari dengan padi sawah di tanah rawa di pantai Sumatera.
Perpaduan pohon dengan tanaman semusim ini juga banyak ditemui di daerah berpenduduk padat, seperti pohon-pohon randu yang ditanam pada pematang-pematang sawah di daerah Pandaan (Pasuruan, Jawa Timur), kelapa atau siwalan dengan tembakau di Sumenep–Madura (Gambar 2). Contoh lain, tanah-tanah yang dangkal dan berbatu seperti di Malang Selatan ditanami jagung dan ubikayu di antara gamal atau kelorwono (Gliricidia sepium).
Gambar 2. Agroforestri Sederhana: Tembakau ditanam di antara barisan pohon siwalan di Sumenep, Madura. (Foto. Widianto)
2.2 Sistem Agroforestri Kompleks: Hutan dan Kebun
Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Penciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforest (ICRAF, 1996).
Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistim agroforestri kompleks ini dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan ‘agroforest’, yang biasanya disebut ‘hutan’ yang letaknya jauh dari tempat tinggal (De Foresta, 2000). Contohnya ‘hutan damar’ di daerah Krui, Lampung Barat atau ‘hutan karet’ di Jambi.
Terbentuknya Agroforestri Kompleks
2.2.1 Pekarangan
Pekarangan atau kebun adalah sistem bercocok tanam berbasis pohon yang paling terkenal di Indonesia selama berabad-abad. Kebun yang umum dijumpai di Jawa Barat adalah sistem pekarangan, yang diawali dengan penebangan dan pembakaran hutan atau semak belukar yang kemudian ditanami dengan tanaman semusim selama beberapa tahun (fase kebun). Pada fase ke dua pohon buah-buahan (durian, rambutan, pepaya, pisang) ditanam secara tumpang sari dengan tanaman semusim (fase kebun campuran). Pada fase ketiga beberapa tanaman asal hutan yang bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga terbentuk pola kombinasi tanaman asli setempat misalnya bambu, pepohonan penghasil kayu lainnya dengan pohon buah-buahan (fase talun). Pada fase ini tanaman semusim yang tumbuh di bawahnya amat terbatas karena banyaknya naungan. Fase perpaduan berbagai jenis pohon ini sering disebut dengan fase ‘talun’. Dengan demikian pembentukan talun memiliki tiga fase yaitu kebun, kebun campuran dan talun.
Gambar 3. Perkembangan sistem kebun talun (de Foresta et al, 2000).
2.2.2 Agroforest
Agroforest biasanya dibentuk pada lahan bekas hutan alam atau semak belukar yang biasanya diawali dengan penebangan dan pembakaran semua tumbuhan. Pembukaan lahan ini biasanya dilakukan pada musim kemarau. Pada awal musim penghujan, lahan ditanami padi gogo yang disisipi tanaman semusim lainnya (misalnya jagung dan cabe) selama satu-dua kali panen. Setelah dua kali panen tanaman semusim, intensifikasi penggunaan lahan ditingkatkan dengan menanam pepohonan misalnya karet atau damar atau tanaman keras lainnya. Pada periode awal ini, terdapat perpaduan sementara antara tanaman semusim dengan pepohonan. Pada saat pohon sudah dewasa, petani masih bebas memadukan bermacam-macam tanaman tahunan lain yang bermanfaat dari segi ekonomi dan budaya . Misalnya, petani sering menyisipkan pohon durian atau duku, di antara pohon karet atau damar. Tanaman semusim tidak ada lagi karena adanya masalah naungan. Tumbuhan asli asal hutan yang bermanfaat bagi petani tetap dibiarkan kembali tumbuh secara alami, dan dipelihara di antara tanaman utama. Contoh pepohonan yang berasal dari hutan misalnya pulai, kayu laban, kemenyan dan sebagainya. Pemaduan terus berlangsung pada keseluruhan masa keberadaan agroforest. Tebang pilih akan dilakukan bila tanaman pokok mulai terganggu atau bila pohon telah terlalu tua sehingga tidak produktif lagi. Ditinjau dari letaknya, agroforest biasanya berada di tepian hutan (forest margin) atau berada ditengah-tengah antara sistem pertanian dan hutan. Berdasarkan uraian di atas, semua agroforest memiliki ciri utama yaitu tidak adanya produksi bahan makanan pokok.
Namun sebagian besar kebutuhan petani yang lain tersedia pada sistem ini, misalnya makanan tambahan, persediaan bahan bangunan dan cadangan pendapatan tunai yang lain. bentuk, fungsi, dan perkembangan agroforest itu dipengaruhi oleh berbagai faktor ekologis dan sosial (FAO dan IIRR, 1995), antara lain sifat dan ketersediaan sumberdaya di hutan, arah dan besarnya tekanan manusia terhadap sumberdaya hutan, organisasi dan dinamika usahatani yang dilaksanakan, sifat dan kekuatan aturan sosial dan adat istiadat setempat, tekanan kependudukan dan ekonomi, sifat hubungan antara masyarakat setempat dengan ‘dunia luar’, perilaku ekologis dari unsur-unsur pembentuk agroforest, stabilitas struktur agroforest, cara-cara pelestarian yang dilakukan.
Dibandingkan sistem agroforestri sederhana, struktur dan penampilan fisik agroforest yang mirip dengan hutan alam merupakan suatu keunggulan dari sudut pandang pelestarian lingkungan (Gambar 4). Pada kedua sistem agroforestri tersebut, sumberdaya air dan tanah dilindungi dan dimanfaatkan. Kelebihan agroforest terletak pada pelestarian sebagian besar keaneka-ragaman flora dan fauna asal hutan alam.
Gambar 4. Agroforest Kompleks: Kebun damar di Krui, Lampung Barat (De Foresta et al, 2000)
3. Aneka Praktek Agroforest di Indonesia
Indonesia memiliki dua ratus juta penduduk dari berbagai kelompok etnis sehingga muncul aneka-ragam pilihan sistem usahatani. Selain itu, hubungan penduduk dengan dunia luar, diwakili oleh para pedagang Cina, Arab dan Eropa, telah berkembang sejak lama sehingga permintaan pasarpun juga beraneka ragam. Semua unsur ini menjadi pendorong proses pembangunan bermacam-macam agroforest. Sekarang ini sistem agroforest sepertinya hanya diterapkan oleh petani-petani kecil. Usaha- usaha agroforest kebanyakan bisa ditemukan di sekitar pemukiman penduduk. Sekeliling rumah merupakan tempat yang cocok untuk melindungi dan membudidayakan tumbuhan hutan, karena memudahkan pengawasannya. Kebun-kebun pekarangan (homegarden) memadukan berbagai sumberdaya tanaman asal hutan dengan jenis-jenis tanaman eksotis yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, seperti buah-buahan, sayuran dan tanaman untuk penyedia bumbu dapur (Bhs. Jawa: empon-empon ), tanaman obat, serta jenis tanaman yang diyakini memiliki kegunaan gaib. Sebagai contoh, menurut kepercayaan di Jawa ranting pohon kelor (Moringa pterygosperma Gaertn.) dapat digunakan untuk menghilangkan kekebalan seorang yang ber’ilmu’, ranting bambu kuning dapat digunakan untuk mengusir ular, dan sebagainya.
Seperti telah disebutkan di atas, kebun pekarangan di Jawa memadukan tanaman bermanfaat asal hutan dengan tanaman khas pertanian. Semakin banyak campur tangan manusia membuat kebun itu menjadi semakin artifisial (sistem buatan yang tidak alami). Kekhasan vegetasi hutan seringkali masih bisa ditemukan, misalnya dapat dijumpai berbagai jenis tumbuhan bawah seperti berbagai macam pakis (fern), atau epiphyte (misalnya anggrek liar).
Kekayaan jenisnya bervariasi, beberapa pekarangan yang tidak terlalu banyak campur tangan pemiliknya memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi, yang dapat mencapai lebih dari 50 jenis tanaman pada lahan seluas 400 m2. Bila diperhatikan dari struktur kanopi tajuknya, kebun-kebun itu memiliki lapisan/strata tajuk bertingkat (multi-strata) mirip dengan yang dijumpai di hutan. Kemiripan dengan kanopi hutan ini menyebabkan estimasi luasan hutan berdasarkan hasil foto udara menjadi kurang dapat dipercaya.
Sesuai dengan jenis kebunnya, tingkat lapisan tajuk vegetasi dapat dibedakan menjadi 3 sampai 5 tingkat, mulai dari lapisan semak (sayuran, cabai, umbi-umbian), perdu (pisang, pepaya, tanaman hias) hingga lapisan pohon tinggi (sampai lebih 35 m, misalnya damar, durian, duku). Proses reproduksi sistem yang menyerupai hutan ini lebih banyak mengikuti kaidah alam daripada teknik-teknik budidaya perkebunan. Sebagai contoh, kasus terbentuknya damar agroforest di Krui (Lihat Box 2). Contoh kasus 2: Kebun damar di Krui, Lampung Barat (De Foresta et al., 2000)
Tanaman yang dominan di agroforest di Pesisir Krui adalah Shorea javanica (jenis Dipterocarpaceae (kelompok meranti). Tanaman ini merupakan pohon besar yang berasal dari hutan setempat, yang menghasilkan getah damar mata kucing bening yang diekspor untuk kebutuhan industri cat . Hingga awal abad XX, pengumpulan getah damar di hutan alam merupakan kegiatan ekonomi utama petani, sementara agroforest yang telah dibangun hanya merupakan semacam sabuk hijau pohon buah-buahan di sekeliling desa dengan luas yang terbatas. Berkurangnya pohon damar di hutan alam, telah mendorong petani melakukan pembudidayaan Shorea javanica di kebun-kebun. Keberhasilan budidaya itu telah mendorong terjadinya transformasi mendasar agroforest tradisional secara besar-besaran, yang diikuti perluasan areal agroforest.
Budidaya damar ini sangat berbeda dengan silvikultur monokultur. Bersama damar, tumbuh pula berbagai jenis pohon buah-buahan, pohon kayu-kayuan, jenis-jenis palem, bambu, dan sebagainya yang sengaja ditanam dan dirawat di kebun. Selain itu terdapat pula sejumlah tumbuhan liar yang berasal dari hutan primer ataupun dari hutan sekunder. Aneka jenis kombinasi yang khas ini menghasilkan berbagai struktur dan fungsi. Bagian kanopi dengan puncak ketinggian sekitar 40 m didominasi oleh pohon damar dan pohon durian. Di bawahnya, terdapat beberapa kelompok pohon buah-buahan seperti duku, manggis, dan rambutan yang memadati ruang pada ketinggian 10 sampai 20 meter. Di antara keduanya, pada ketinggian 20 sampai 25 meter terdapat kelompok lapisan tengah, seperti jenis-jenis Eugenia (jambu-jambuan), Garcinia (manggis-manggisan), dan Parkia (petai- petaian) yang dapat mencapai ketinggian 35 meter. Lapisan terbawah ditumbuhi rerumputan dan semak liar. Masalah praktis yang sering dijumpai di lapangan (misalnya tidak menentunya penyediaan bibit, menurunnya daya tahan bibit, sulitnya infeksi mikoriza pada akar tanaman muda, dsb) dapat diatasi sendiri oleh petani setempat. Petani lebih memilih ‘kebun bibit’ (seed bank) daripada memiliki ‘gudang benih’ (seedling bank). Dengan menanam bibit dari permudaan alam langsung di kebun akan memberikan kesempatan terjadinya infeksi mikoriza yang lebih besar, dan memudahkan permudaan alam untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Contoh Kasus 2. (Lanjutan)
Bagaimana proses terbentuknya kebun damar? Perkembangan terbentuknya kebun damar disajikan secara skematis pada gambar 5. Pada stadia awal, lahan masih berupa hutan alam baik primer maupun sekunder, atau padang alang-alang yang ditebang dan dibakar. Padi gogo ditanam secara tumpangsari dengan tanaman komersial lainya misalnya kopi, lada dan pohon-pohon pelindung lainnya seperti dadap dan gamal. Pengusahaan tanaman semusim hanya berlangsung 2-3 tahun saja. Bibit pohon yang diperoleh dari kebun petani sendiri (misalnya damar dan pohon buah-buahan) ditanam di antara tanaman pangan. Pepohonan ini nantinya akan menjadi komponen utama dari sistem agroforest.
Bila pohon damar mulai memproduksi resin (setelah berumur 20 – 25 tahun), petak lahan disiangi namun membiarkan tumbuhan bawah yang berguna tetap hidup. Dengan demikian kebun damar telah melalui beberapa stadia yaitu: tanaman semusim, tanaman komersial, fase non- produktif dan agroforest yang produktif sepenuhnya. Setelah tanaman semusim dipanen terakhir kalinya, kopi dan lada dibiarkan tumbuh selama kurang lebih 8-15 tahun. Permudaan alam lainnya akan tumbuh kembali sehingga akan diperoleh kebun campuran. Pada periode ini kompetisi intensif (antara tanaman semusim dengan pepohonan atau tanaman bawah lainnya) kemungkinan besar akan terjadi. Penanaman tanaman semi-perenial (seperti lada, kopi) merupakan usaha petani dalam meningkatkan pendapatannya sehingga sering menjadi kompetitor terbesar bagi pepohonan.
Dengan demikian pembentukan agroforest mengalami sedikit penundaan waktu. Keuntungan dari sistem agroforest Fungsi ekonomi agroforest di Pesisir Krui terutama adalah produksi damar. Delapan puluh persen pendapatan sebagian besar desa di Pesisir Krui dihasilkan dari kebun-kebun damar. Selain itu kebun damar juga memasok buah-buahan, sayuran, rempah-rempah, gula, kayu bakar, kulit kayu, daun, bambu, dan kayu bangunan. Dengan aneka produk yang dihasilkan, kebun damar telah menggantikan fungsi hutan dalam ekonomi pedesaan. Karenanya, agroforest mengurangi kegiatan pengumpulan hasil hutan dari hutan-hutan alam di sekitarnya. Petani membuka hutan hanya untuk kebutuhan produksi makanan pokok, yakni membuka ladang padi: namun seringkali alasan sebenarnya adalah untuk membangun kebun damar yang baru. Sebagai hutan buatan yang dikelola dengan cermat, agroforest dapat memproduksi selain kayu juga kebutuhan sehari-hari lainnya. Dengan berkembangnya agroforest, peran hutan alam sebagai sumber bahan nabati semakin lama semakin menghilang. Bila tuntutan lain terhadap hutan alam, yaitu sebagai cadangan lahan untuk perluasan pertanian juga dapat berkurang, maka upaya perlindungan bisa menjadi lebih efisien.
Gambar 5. Tahapan terbentuknya Kebun Pekarangan di Jawa (De Foresta et al., 2000)
4. Mengapa Agroforest Perlu Mendapat Perhatian?
Kebun-kebun agroforest asli Indonesia memperlihatkan ciri-ciri yang pantas diberi perhatian dalam kerangka pembangunan pertanian dan kehutanan, khususnya untuk daerah-daerah yang kurang subur. Pada daerah-daerah tersebut hanya tanaman tahunan saja yang dapat berproduksi secara berkelanjutan, sedangkan untuk tanaman pangan dan tanaman musiman lain hanya dimungkinkan melalui pemupukan besar-besaran. Berikut ini diuraikan secara ringkas manfaat penerapan sistem agroforestri bagi beberapa pihak/sudut pandang: (1) pertanian, (2) petani, (3) peladang, (4) kehutanan.
4.1 Sudut Pandang Pertanian
Agroforest merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat-guna, sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman semusim menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total menjadi sistem monokultur dengan masukan energi, modal, dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani. Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang berbeda dari keadaan yang lazim dihadapi petani. Tidak mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami kegagalan pada tingkat petani.
Agroforest mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utama agroforest bukanlah produksi bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal. Misalnya: kebun damar, kebun karet dan kebun kayu manis menjadi andalan pemasukan modal di Sumatra. Bahkan, agroforest seringkali menjadi satu- satunya sumber uang tunai bagi keluarga petani. Agroforest mampu menyumbang 50 % hingga 80 % pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi langsungnya maupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan dan pemasaran hasilnya. Di lain pihak sistem-sistem produksi asli setempat (salah satunya agroforest) selalu dianggap sebagai sistem yang hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja (subsisten).
Oleh karena itu dukungan terhadap pertanian komersial petani kecil biasanya lebih diarahkan kepada upaya penataan kembali sistem produksi secara keseluruhan, daripada pendekatan terpadu untuk mengembangkan sistem-sistem yang sudah ada. Agroforest pada umumnya dianggap hanya sebagai "kebun dapur" yang tidak lebih dari sekedar pelengkap sistem pertanian lainnya, di mana produksinya hanya dikhususkan untuk konsumsi sendiri dengan menghasilkan hasil-hasil sampingan seperti kayu bakar. Oleh karena itu, sistem ini kurang mendapat perhatian.
4.2 Sudut Pandang Petani
Keunikan konsep pertanian komersial agroforest adalah karena sistem ini bertumpu pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies saja. Usaha memperoleh produksi komersial ternyata sejalan dengan produksi dan fungsi lain yang lebih luas. Hal ini menimbulkan beberapa konsekuensi menarik bagi petani.
• Aneka hasil kebun hutan sebagai "bank" yang sebenarnya. Pendapatan dari agroforest umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara teratur misalnya lateks karet, damar, kopi, kayu manis dan lain-lain. Selain itu, agroforest juga dapat membantu menutup pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan (Gambar 6), cengkeh, pala, dan lain-lain. Komoditas-komoditas lain seperti kayu bahan bangunan juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap, dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Di beberapa daerah di Indonesia menabung uang tunai masih belum merupakan kebiasaan, maka keragaman bentuk sumber uang sangatlah penting. Keluwesan agroforest juga penting di daerah-daerah di mana kredit sulit didapatkan karena mahal atau tidak ada sama sekali. Semua ini adalah kenyataan umum yang dijumpai di pedesaan di daerah tropis.
• Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersil, menjamin keamanan dan kelenturan pendapatan petani, walaupun sistem ini tidak memungkinkan adanya akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang dapat segera diuangkan. Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga satu komoditas, species ini dapat dengan mudah ditelantarkan saja, hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak menimbulkan gangguan ekologi terhadap sistem kebun. Petak kebun tetap utuh dan produktif dan species yang ditelantarkan akan tetap hidup dalam struktur kebun, dan selalu siap untuk kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara itu spesies-spesies baru dapat diperkenalkan tanpa merombak sistem produksi yang ada.
Gambar 6. Durian: Salah satu hasil tambahan (Foto: De Foresta)
Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang mungkin dialami beberapa spesies. Spesies yang sudah puluhan tahun berada di dalam kebun dapat tiba-tiba mendapat nilai komersil baru akibat evolusi pasar, atau pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan baru. Hal seperti ini telah terjadi pada buah durian, duku, dan cengkeh serta terakhir kayu ketika kayu dari hutan alam menjadi langka.
• Melalui diversifikasi hasil-hasil sekunder, agroforest menyediakan kebutuhan sehari-hari petani. Agroforest juga berperan sebagai "kebun dapur" yang memasok bahan makanan pelengkap (sayuran, buah, rempah, bumbu). Melalui keaneka-ragaman tumbuhan, agroforest dapat menggantikan peran hutan alam dalam menyediakan hasil-hasil yang akhir-akhir ini semakin langka dan mahal seperti kayu bahan bangunan, rotan, bahan atap, tanaman obat, dan binatang buruan.
4.3 Sudut Pandang Peladang
Kebutuhan tenaga kerja rendah
Agroforest merupakan model peralihan dari perladangan berpindah ke pertanian menetap yang berhasil, murah, menguntungkan, dan lestari. Selain manfaat-manfaat langsung yang dihasilkan agroforest kepada petani kecil, agroforest juga menarik bagi peladang berpindah karena dua hal. Meskipun menurut standar konvensional produktivitas agroforest dianggap rendah, bila ditinjau dari sisi alokasi tenaga kerja yang dibutuhkan agroforest lebih menguntungkan daripada sistem pertanian monokultur. Penilaian bahwa produktivitas agroforest yang rendah juga disebabkan kesalahpahaman terhadap sistem yang dikembangkan petani, karena umumnya hanya tanaman utama yang diperhitungkan sementara hasil-hasil dan fungsi ekonomi lain diabaikan. Pembuatan dan pengelolaan agroforest hanya membutuhkan nilai investasi dan alokasi tenaga kerja yang kecil.
Hal ini sangat penting terutama untuk daerah-daerah yang ketersediaan tenaga kerja dan uang tunai jauh lebih terbatas dari pada ketersediaan lahan, seperti yang umum terjadi di wilayah- wilayah perladangan berpindah di daerah beriklim tropika basah.
Tidak memerlukan teknik canggih
Selain manfaat ekonomi, perlu juga dijelaskan beberapa ciri penting lain yang membantu pemahaman terhadap hubungan positif antara peladang berpindah dan agroforest. Pembentukan agroforest berhubungan langsung dengan kegiatan perladangan berpindah. Bentuk ladang berpindah mengalami perkembangan dengan adanya penanaman pohon yang oleh penduduk setempat dikenal bernilai ekonomi tinggi. Tindakan yang sangat sederhana ini dapat dilakukan oleh peladang berpindah di semua daerah tropika basah. Agroforest ini dapat dikelola tanpa teknologi yang canggih tetapi bertumpu sepenuhnya pada pengetahuan tradisional peladang mengenai lingkungan hutan mereka.
Hasilnya, terdapat perbedaan yang sangat nyata antara sistem agroforest yang lebih menetap dengan sistem peladangan berpindah yang biasanya melibatkan pemberaan dan membuka lahan pertanian baru di tempat lain. Ladang-ladang yang diberakan untuk sementara waktu, selanjutnya ditanami kembali dengan pepohonan untuk diwariskan pada generasi berikutnya. Kedudukan komersil tanaman pohon dan nilai ekonomisnya sebagai modal dan harta warisan dapat mencegah terjadinya pembukaan ladang-ladang baru, dengan demikian lahan tersebut menjadi terbebas dari ancaman perladangan berpindah lainnya.
4.4 Sudut Pandang Kehutanan
4.4.1 Mekanisme sederhana untuk mengelola keanekaragaman
Seperti halnya pada semua lahan pertanian, sebagian terbesar agroforest tercipta melalui tindakan penebangan dan pembakaran hutan. Perbedaan agroforest dengan budidaya pertanian pada umunya terletak pada tindakan yang dilakukan pada tumbuhan pioner yang berasal dari hutan. Pada budidaya pertanian, keberadaan tumbuhan perintis alami dianggap sebagai gulma yang mengancam produksi tanaman pokok. Pada sistem agroforest, petani tidak melakukan pembabatan hutan kembali, karena mereka menggunakan ladang sebagai lingkungan pendukung proses pertumbuhan pepohonan.
Proses pembentukan agroforest seperti ini masih dapat dijumpai di Sumatra antara lain di Pesisir Krui (Propinsi Lampung) untuk agroforest damar, di Jambi untuk agroforest karet. Oleh karena pada sistem agroforest tidak melibatkan penyiangan intensif, maka kembalinya spesies-spesies pionir dapat mempertahankan sebagian spesies-spesies asli hutan.
4.4.2 Pengembangan hasil hutan non kayu
Sejak tahun 1960-an bentuk pengelolaan hutan yang dikembangkan terpaku pada pengusahaan kayu gelondongan. Kayu gelondongan merupakan unsur dominan hutan yang relatif sulit diperbaharui. Eksploitasinya mengakibatkan degradasi drastis seluruh ekosistem hutan. Hal ini memunculkan suatu usulan agar pihak-pihak kehutanan dalam arti luas mengalihkan perhatiannya pada hasil hutan non kayu (disebut juga hasil hutan minor) misalnya damar, karet remah dan lateks, buah-buahan, biji-bijian, kayu-kayu harum, zat pewarna, pestisida alam, dan bahan kimia untuk industri obat. Ilustrasi yang disajikan pada Gambar 7 adalah pemanenan hasil hutan non-kayu berupa getah damar selain produksi kayu yang cukup menarik petani di daerah Krui, Lampung Barat. Pemanenan hasil hutan non-kayu merupakan pengembangan sumberdaya yang dapat mendukung konservasi hutan karena mengakibatkan kerusakan yang lebih kecil dibandingkan dengan pemanenan kayu.
Gambar 7. Pemanenen getah damar (Michon dan de Foresta, 2000).
Agroforest di Indonesia, yang bertumpu pada hasil hutan non kayu, merupakan salah satu alternatif menarik terhadap domestikasi monokultur yang lazim dikerjakan. Pengelolaan agroforest tidak ekslusif pada satu sumber daya yang terpilih saja, tetapi memungkinkan kehadiran sumber daya lain. Selain itu agroforest merupakan strategi masyarakat sekitar hutan untuk memiliki kembali sumber daya hutan yang pernah hilang atau terlarang bagi mereka. Agroforest memungkinkan adanya pelestarian wewenang dan tanggung jawab masyarakat setempat atas seluruh sumber daya hutan. Hal ini merupakan sifat utama agroforest, namun sifat tersebut mungkin menjadi kendala utama pengembangan sistem agroforest oleh badan-badan pembangunan resmi terutama kalangan kehutanan, yang merasa khawatir akan kehilangan kewenangan menguasai sumber daya yang selama ini dianggap sebagai domain ekslusif mereka.
4.4.3 Model alternatif produksi kayu
Agroforest berbasis pepohonan khusus penghasil kayu di Indonesia masih belum ada. Namun karena berciri pembangunan kembali hutan, agroforest merupakan sumber pasokan kayu berharga yang sangat potensial yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Sejauh ini kayu-kayu yang dihasilkan dalam agroforest masih diabaikan dalam perdagangan nasional. Pohon yang ditanam di agroforest (buah-buahan, karet dll) sering pula memasok kayu bermutu tinggi dalam jumlah besar, sehingga ada pasokan kayu gergajian dan kayu kupas yang selalu siap digunakan. Di daerah Krui (Lampung), pohon damar yang termasuk golongan meranti sangat mendominasi kebun damar, dengan kepadatan yang beragam. Dalam setiap hektar agroforest terdapat antara 150 sampai 250 pohon yang dapat dimanfaatkan. Kayu-kayu itu biasanya dianggap sebagai produk sampingan yang tidak mempunyai nilai ekonomi, bukan karena teknologi yang rendah, tetapi karena belum dikenali pasar.
Kalangan kehutanan mengelompokkan kayu berdasarkan kelas keawetan dan kekuatan. Klasifikasi asli tersebut banyak mengalami revisi, karena semakin langkanya hutan yang mengandung jenis pohon yang menguntungkan. Karena kelas I sudah dieksploitasi berlebihan dan menjadi langka, maka kelas II menjadi kelas I dan seterusnya. Pohon meranti misalnya, belakangan ini merupakan jenis kayu kelas utama di Asia Tenggara, padahal pada tahun 1930-an hampir tidak memiliki nilai komersil. Contoh yang lebih mutakhir adalah kayu karet, hingga tahun 1970-an masih dianggap tidak berharga, tetapi dewasa ini menduduki tempat penting dalam pasar kayu Asia. Sejalan dengan perkembangan teknologi transformasi dan pemanfaatan kayu, ciri-ciri kayu bahan baku semakin tidak penting.
Untuk memenuhi permintaan besar di tingkat regional, beberapa tahun belakangan ini berkembang budidaya pohon kayu, terutama surian, bayur, dan musang dalam agroforest di bsekeliling danau Maninjau, Sumatera Barat. Di daerah Krui, Lampung, terjadi pemaduan sungkai di kebun damar. Jenis pohon perintis ini yang sebelumnya tidak bernilai, baru sejak 1990-an mulai ditanam di kebun. Dengan meningkatnya permintaan kayu sungkai untuk bangunan pada tingkat nasional, pohon sungkai kini ditanam dan dirawat dengan baik oleh petani.
Kajian-kajian kuantitatif lebih lanjut tentu saja masih dibutuhkan untuk menentukan potensi pepohonan dan pengelolaan yang optimal dalam agroforest, dengan tetap memperhitungkan hasil-hasil lain. Dampak sampingan penjualan kayu perlu juga dikaji dari segi sosial, ekonomi dan ekologi. Dengan memenuhi persyaratan ketersediaan pasokan yang besar dan lestari, agroforest merupakan salah satu sumberdaya kayu tropika di masa depan.
Dengan mudah sumber daya ini dapat diperkaya dengan jenis-jenis pohon bernilai tinggi, sebab kantung-kantung ekologi agroforest yang beragam merupakan lingkungan ideal bagi pohon berharga yang membutuhkan kondisi yang mirip dengan hutan alam. Selain itu tidak seperti dugaan umum, sasaran utama agroforest di Indonesia bukan cuma untuk pemenuhan kebutuhan sendiri tetapi untuk menghasilkan uang. Dengan orientasi pasar, agroforest mampu dengan cepat memadukan pola budidaya baru, asalkan hasilnya menguntungkan pemiliknya.
Mungkinkah agroforest penghasil kayu dikembangkan?
Pengembangan agroforestri komplek sebagai sumber kayu tropika bernilai tinggi tampaknya tidak akan memenuhi hambatan yang berarti, jika dilakukan reorientasi pasar yang memberikan peluang bagi kayu asal agroforest untuk memasuki pasar nasional. Keputusan reorientasi terkait erat dengan kondisi nyata pemanfaatan hutan alam di tiap negara tropika, dan karenanya tergantung pada tujuan/kemauan politik. Perwujudan kemauan politik semacam ini diharapkan terjadi secepatnya, karena sangat dibutuhkan dalam rangka menghadapi
a) produksi kayu tropika (kayu pertukangan dan kayu bulat) pada masa transisi dari sistim penebangan hutan alam menuju sistim budidaya menetap untuk wilayah pedesaan.
b) pelestarian alam yang akan muncul akibat masuknya kayu hasil agroforest ke pasar.
Menyertai usaha pencegahan perusakan hutan dalam jangka panjang, integrasi pengelolaan pepohonan penghasil kayu ke dalam agroforest akan mengurangi tekanan terhadap hilangnya/perusakan hutan alam yang masih tersisa. Selain meringankan kesulitan dalam mendapatkan kayu bangunan akibat penurunan sumber kayu dari hutan alam, perluasan pangsa pasar ke jenis kayu asal agroforest tersebut akan memacu terjadinya peningkatan pembangunan masyarakat pedesaan. Peningkatan nilai ekonomi agroforest ini dan adanya integrasi pengelolaan kayu komersil diharapkan dapat merangsang perluasan areal agroforest, yang akan mendorong pelestarian lahan dan keanekaragaman hayati di luar hutan alam.
4.4.4 Struktur agroforest dan pelestarian sumber daya hutan
Agroforest memainkan peran penting dalam pelestarian sumberdaya hutan baik nabati maupun hewani karena struktur dan sifatnya yang khas. Agroforest menciptakan kembali arsitektur khas hutan yang mengandung habitat mikro, dan di dalam habitat mikro ini sejumlah tanaman hutan alam mampu bertahan hidup dan berkembang biak. Kekayaan flora semakin besar, jika di dekat kebun terdapat hutan alam yang berperan sebagai sumber (bibit) tanaman. Bahkan ketika hutan alam sudah hampir lenyap sekalipun, warisan hutan masih mampu terus berkembang dalam kelompok besar: misalnya kebun campuran di Maninjau melindungi berbagai tanaman khas hutan lama di dataran rendah, padahal hutan lindung yang terletak di dataran lebih tinggi tidak mampu menyelamatkan tanaman-tanaman tersebut.
Di pihak lain, agroforest merupakan struktur pertanian yang dibentuk dan dirawat. Tanaman bermanfaat yang umum dijumpai di hutan alam menghadapi ancaman langsung karena daya tarik manfaatnya. Dewasa ini sumber daya hutan dikuras tanpa kendali. Berbeda dengan kebun agroforest, bagi petani, agroforest merupakan kebun bukan hutan.
Agroforest merupakan warisan sekaligus modal produksi. Sumberdayanya, baik yang tidakb maupun yang sengaja ditanam, dimanfaatkan dengan selalu mengingat kelangsungan dan kelestarian kebun. Pohon di hutan dianggap tidak ada yang memiliki. Sebaliknya, pohon di kebun ada pemiliknya sehingga pohon tersebut mendapat perlindungan yang lebih efektif daripada yang terdapat di hutan negara. Sumber daya hutan di dalam agroforest dengan demikian turut berperan dalam mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam. Secara tidak langsung agroforest turut melindungi hutan alam.
Aneka kebun campuran di pedesaan di Jawa mempunyai peranan penting bagi pelestarian kultivar pohon (tradisional) buah-buahan dan tanaman pangan. Karena kendala ekonomi dan keterbatasan ketersediaan lahan, maka kebun tersebut tidak dapat berfungsi sebagai tempat berlindung jenis tanaman yang tidak bernilai ekonomi bagi petani.
Di Sumatera dan Kalimantan, agroforest masih mampu menawarkan pemecahan masalah pelestarian tanaman hutan alam dan sekaligus dapat diterima pula dari sudut ekonomi (Michon dan de Foresta (1995). Adanya perubahan sosial ekonomi dapat mempengaruhi sifat dan susunan kebun, sehingga dikhawatirkan banyak spesies yang terancam kepunahan. Pada gilirannya sumberdaya tersebut akan punah dan usaha penyelamatannya belum terbayangkan. Apakah seluruh sumberdaya genetik yang ada dalam agroforest dapat disimpan dalam lahan-lahan khusus atau bank benih?
Upaya-upaya keberhasilan perlindungan alam
Untuk meningkatkan keberhasilan perlindungan terhadap sumber daya alam, maka petani harus dilibatkan pada setiap usaha pelestarian alam, misalnya dengan memberikan pengakuan terhadap agroforest yang sudah ada dan melaksanakan budidaya agroforest di pinggiran kawasan taman-taman nasional. Upaya melestarikan alam harus sekaligus dapat memenuhi kebutuhan penduduk setempat. Gagasan ini bukan khayalan, karena secara tradisional telah dirintis oleh petani agroforest. Pada akhirnya agroforest di daerah tropika merupakan lahan berharga bagi eksplorasi genetik dan etno-botani. Pengetahuan petani pengelola agroforest seyogyanya tidak lagi diremehkan oleh para pengelola hutan.
5. Kelemahan dan Tantangan Agroforest
5.1 Kelemahan
Kesulitan visual
Keberagaman bentuk, kemiripan dengan vegetasi hutan alam, dan kesulitan membedakannya dalam penginderaan jauh (remote sensing) menjadikan bentang hamparan agroforest sulit dikenali. Kebanyakan agroforest dalam peta-peta resmi diklasifikasikan sebagai hutan sekunder, hutan rusak, atau belukar, oleh karena itu biasanya disatukan ke dalam kelompok lahan yang menjadi target rehabilitasi lahan dan hutan.
Kesulitan mengukur produktivitas
Ahli ekonomi pertanian terbiasa dengan perhatian hanya kepada jenis tanaman dan pola penanaman yang teratur rapi. Biasanya mereka enggan memberi perhatian terhadap nilai pepohonan dan tanaman non-komersial. Mereka juga biasanya tidak memiliki latar belakang yang cukup untuk mengenali manfaat ekonomi spesies pepohonan dan herba/semak.
Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan pohon pada lahan pertanian. Adanya penyisipan pohon di antara tanaman semusim, akan menimbulkan masalah yang sering merugikan petani karena kurangnya pengetahuan petani akan adanya interaksi antar tanaman.
5.2 Ancaman Keberlanjutan
De Foresta et al. (2000) mengemukakan bahwa keberlanjutan dari agroforest ini menghadapi beberapa ancaman antara lain sebagai berikut :
Kesulitan merubah pandangan ahli agronomi dan kehutanan. Besarnya jenis dan ketidakteraturan tanaman dalam agroforest membuatnya cenderung diabaikan. Kebanyakan ahli pertanian dan kehutanan yang sudah sangat terbiasa dengan keteraturan sistem monokultur dan agroforestri sederhana menganggap ketidakteraturan dan keberagaman tanaman ini sebagai tanda kemalasan petani. Kebanyakan ahli agronomi dan kehutanan yang akrab dengan pola pertanian sederhana dan keaslian hutan alam masih sulit untuk mengakui bahwa agroforest adalah sistem usahatani yang produktif.
Agroforest adalah sistem kuno (tidak modern)
Banyak kalangan memandang agroforest sebagai sesuatu yang identik dengan pertanian primitif yang terbelakang, sama sekali tidak patut dibanggakan. Padahal, agroforest merupakan wujud konsep petani, proses adaptasi dan inovasi yang terus menerus yang berkaitan dengan perubahan ekologi, keadaan sosial ekonomi, dan perkembangan pasar.
Sistem agroforest yang ada saat ini merupakan karya modern dari sejarah panjang adaptasi dan inovasi, uji coba berulang-ulang, pemaduan spesies baru dan strategi agroforestri baru.
Kepadatan penduduk
Pengembangan agroforest membutuhkan ketersediaan luasan lahan, karenanya agroforest sulit berkembang di daerah-daerah yang sangat padat penduduknya. Ada kecenderungan bahwa peningkatan penduduk menyebabkan konversi lahan agroforest ke bentuk penggunaan lain yang lebih menguntungkan dalam jangka pendek.
Penguasaan lahan
Luas agroforest di Indonesia mencapai jutaan hektar, tetapi tidak secara resmi termasuk ke dalam salah satu kategori penggunaan lahan. Hampir semua petani agroforest tidak memiliki bukti kepemilikan yang resmi atas lahan mereka. Banyak areal agroforest yang dinyatakan berada di dalam kawasan hutan negara, atau dialokasikan kepada perusahaan perkebunan besar dan proyek pembangunan besar lainnya. Ketidakpastian kepemilikan jangka ini berakibat keengganan petani untuk melanjutkan sistim pengelolaan yang sekarang sudah mereka bangun.
Ketiadaan data akurat
Kecuali untuk agroforest karet dan sebagian kecil lainnya, belum ada upaya serius untuk mendapatkan data yang akurat mengenai keberadaan/luasan agroforest yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia. Akibatnya, belum ada upaya untuk memberikan dukungan pembangunan terhadap agroforest tersebut, seperti yang diberikan terhadap sawah, kebun monokultur (cengkeh, kelapa, kopi, dan lain-lain), atau Hutan Tanaman Industri (HTI).
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar