Tidak Semua Waria adalah Bissu

Bookmark and Share
Dalam budaya Bugis masa silam, waria, wandu, atau banci, punya kedudukan terhormat yakni sebagai “penyambung lidah” rakyat dan raja, dengan para dewa. Dalam perjalanannya, peran bissu – begitu kaum waria sakti ini disebut – perlahan menghilang, bahkan nyaris punah gara-gara perubahan iklim politik negeri ini. Kini, mereka yang tersisa, mencoba bangkit kembali.
Kecamatan itu bernama Segeri. Letaknya di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), sekitar 70 kilometer arah Utara Makassar. Di daerah pesisir Barat Sulawesi Selatan itu, terdapat ratusan tambak penghasil bandeng, kepiting dan udang. Bisa jadi karena orang Sulsel umumnya gemar makan ikan, maka daerah ini bisa dikenal luas. Jalan Trans-Sulawesi, jalur darat dari Makassar ke Manado, juga melintasi daerah ini.
Di Segeri, tepatnya di sekitar Pasar Sentral, rasanya tak ada yang tidak mengenal Eka. Pemilik Salon “Eka” yang sekaligus dikenal sebagai perias pengantin andal. Kata orang, riasan tangan gemulainya bisa membuat pasangan pengantin terlihat lebih cantik dan bercahaya. Tapi selain itu, waria 29 tahun ini juga dikenal masyarakat sebagai satu dari sedikit bissu yang tersisa di Segeri.
Bissu, gampangnya bisa kita sebut sebagai pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Asal katanya bessi, berarti bersih. Para waria yang menjadi bissu dianggap suci, tidak kotor, karena mereka tidak berpayudara dan tidak menstruasi. Selain waria, ada pula bissu perempuan, yaitu mereka yang menjadi bissu setelah mengalami menopause.
Selayaknya pria-pria berjiwa perempuan, Eka dan para waria lain bermata pencaharian yang terkait urusan kawin-mawin. Mereka menangani tata rias, membuat baju pengantin, peralatan pesta, bahkan sampai tata urutan perayaannya. Penghasilannya jauh dari sekadar lumayan. Saat musim hajatan, wedding organizer tingkat kampung macam Eka, bisa menangani lima sampai sepuluh pasang pengantin per hari. Satu pasang tarifnya paling minim Rp 2 juta.
Penghasilan dari sini, lumayan. Tapi itu ‘kan buat dikasih ke anak buah juga dan beli peralatan. Sama masih buat bantu-bantu keluarga,” tutur Eka, yang ketika ditemui Intisari di rumahnya, sedang menyiapkan baju pengantin dan beberapa perlengkapan lain. Mulai Maret hingga Juli, order pesta nikah sedang mencapai puncaknya. “Biasanya ramai kalau setelah panen tambak dan waktu terang bulan,” tambahnya sambil terus menjahit.
Saat ini Eka memang tengah menikmati hasil jerih payah kehidupannya, setelah bertahun-tahun sempat dilaluinya dalam penderitaan. Dia, seperti juga kebanyakan waria lain, pernah mengalami penolakan dari keluarga dan masyarakat karena dianggap abnormal. Laki-laki kok banci, hardik mereka. Panggilan spiritual menjadi bissu yang kemudian mengangkat derajatnya menjadi “bukan sekadar waria biasa”.
Bertanya hari baik
Dalam bahasa Bugis, waria disebut calabai. Asalnya dari kata sala bai atau sala baine, yang artinya “bukan perempuan”. Karena terlahir sebagai pria tapi bertingkah seperti perempuan, bukan rahasia lagi kalau kemudian sebagian masyarakat mengejek dan mencemooh kaum ini. Tak terkecuali di Sulsel.
Padahal dalam tradisi adat dan budaya Sulsel yang berakar kepada kerajaan Luwu, calabai yang bertransformasi menjadi bissu, sesungguhnya mendapat tempat terhormat. Diriwayatkan dalam Surek Galigo atau naskah-naskah Bugis kuno masa Hindu, Raja Luwu diturunkan dari langit bersama Latimojong dan Lae Lae, yang adalah bissu pertama. Dalam epos-epos La Galigo, bissu juga selalu menjadi penyempurna keberadaan tokoh-tokoh utamanya.
Sejak masa awal sejarah, masyarakat Bugis mempunyai sistem kepercayaan dengan konsep dewa tertinggi atau To PalanroE. Sistem kepercayaan ini disebut juga attoriolong, atau secara harafiah berarti “mengikuti tata cara leluhur”. Lewat attiorolong diwariskan petunjuk-petunjuk normatif dalam kehidupan masyarakat. Sampai sekarang, kepercayaan ini sebenarnya tidak benar-benar punah.
Dewa tertinggi dalam attoriolong disebut PattotoE, yang diyakini mempunyai anggota keluarga dewata lain dengan bermacam tugas. Setelah menciptakan alam raya, dewa penentu nasib ini kemudian beristirahat. Untuk memuja PattotoE atau sejak masa Islam disebut juga Dewata SeuwaE, tidak bisa langsung, melainkan lewat dewa pembantu-pembantunya.
“Ini semacam konsep deisme. Kepercayaan di Sulawesi memang pertemuan antara kepercayaan yang ada di Barat, seperti Jawa atau Kalimantan, dengan Timur, seperti di Papua,” kata Dr Halilintar Lathief, peneliti budaya Bugis yang tinggal di Makassar. “Tapi bissu tidak terkait dengan Tolotang, agama Bugis kuno lain yang pengikutnya sekarang masih banyak di Kabupaten Sidrap,” tambahnya.
Dalam attoriolong, bissu adalah perantara antara langit dengan bumi. Ini dimungkinkan karena bissu menguasai Basa Torilangi, atau bahasa langit yang hanya dimengerti sesama bissu dan para dewa. Lewat bahasa itu, bissu membacakan mantra dan doa dalam pelbagai upacara keagamaan baik bersifat kenegaraan atau kelompok keluarga.
Dalam kehidupan sehari-hari, peran bissu begitu penting, bahkan mencakup hampir semua sendi kehidupan masyarakat Bugis masa silam. Mereka pengabdi dan penjaga tempat penyimpanan benda-benda pusaka atau arajang. Mereka berpartisipasi dalam upacara untuk benda-benda pusaka itu. Kedudukan bissu juga erat dengan istana karena mereka konon adalah penasehat sekaligus turut mendidik putra-putri raja.
Sebagai praktisi spiritual, masyarakat sering bertanya kepada bissu tentang hari-hari baik untuk hajatan dan memulai pekerjaan besar seperti pernikahan, pindahan rumah, atau memulai musim tanam. Saat upacara itu berlangsung, bissu juga berperan menyampaikan ucapan syukur dari empunya hajat kepada dewa-dewa tertentu lewat dialog yang dilakukannya.
Acara besar tahunan masa silam yang melibatkan bissu adalah mappalili. Upacara yang belakangan mulai dihidupkan kembali ini, aslinya diadakan 40 hari siang-malam, dengan melibatkan 40 bissu. Seluruh masyarakat ikut aktif, bahkan membiayai seluruh kegiatan. Masyarakat saat itu meyakini, tanpa mappalili, panen mereka bisa terganggu.
Yang termasuk bergengsi, menurut Halilintar, bissu pula yang melakukan penobatan pemimpin bahkan raja. “Begitu ampuhnya doa bissu ini, sehingga diyakini raja atau pejabat yang tidak dilantik bissu, tidak akan mempunyai kharisma dalam masa kepemimpinannya,” katanya. Agaknya ini yang menimbulkan anggapan bahwa kedudukan bissu lebih tinggi dari pemimpin setempat, karena tidak akan ada pemimpin jika tidak ada bissu.
Para bissu dalam suatu wilayah berhimpun dalam satu lembaga bissu yang dipimpin seorang puang matowa. Sang ketua ini dianggap seseorang yang paling luas pengetahuannya tentang adat, tradisi, serta mampu memimpin. Wakilnya adalah puang lolo, artinya tuan muda, yang juga calon pengganti puang matowa bila suatu saat mangkat. Dwitunggal matowa-lolo ini disebut anreguru, atau guru yang mengajar anak-anak didiknya yang terdiri atas ana’ bissu.
Dalam lembaga bissu banyak terdapat gelar. Seorang bissu ahli pengobatan atau dukun disebut sanro. Bila pandai berbahasa bissu disebut bissu dewata. Bissu keturunan bangsawan disebut bissu patudang. Tradisi yang berjalan beratus-ratus tahun ini membuat gelar dan istilah di setiap lembaga bissu mempunyai banyak perbedaan.
Dipaksa jadi lelaki tulen
Sejarah mencatat, kedatangan Islam ke Sulawesi pada abad 16 mulai mendesak keberadaan bissu. Keyakinan dan ritual yang dilakukan bissu, sempat mendapat tentangan. Namun ajaran Islam yang kemudian perlahan diterima, malah menimbulkan sinkretisme. Mantra-mantra bissu dalam bahasa Bugis kuno tercampur petikan ayat-ayat Al’Quran. Bahkan pada beberapa bagian mantra masih tersisa peninggalan Hindu dan Tolotang.
Ancaman sesungguhnya terjadi pascakemerdekaan. Gerombolan Darul Islam dipimpin Kahar Muzakar mencoba menumpas segala yang tidak sesuai dengan ajaran Islam di Sulsel. Bissu dan juga kepercayaan tradisional lain mengalami masa cobaan berat. Benda-benda pusaka bissu di rumah-rumah pusaka dimusnahkan. Para bissu dipaksa menjadi lelaki tulen dengan bekerja kasar. Tak ada data pasti, tapi tak sedikit bissu yang terbunuh saat itu, terutama para sanro.
Setelah peristiwa G30S/PKI, tekanan malah semakin berat. Sebuah organisasi kepemudaan yang menggelar operasi bernama Operasi Toba (operasi tobat) memburu bissu dengan alasan menjadi bagian dari gerakan komunis. Mereka dinilai tidak beragama, melakukan perbuatan sirik dan menganut ajaran animisme.
Gawatnya, kala itu muncul doktrin bahwa siapa pun yang melihat bissu atau waria sekalipun, maka doa, pahala dan rezeki selama 40 hari siang-malam akan sia-sia. Karena takut, masyarakat manut. “Akibatnya bila terlihat bissu di kampung, mereka diusir, ditimpuki. Kebanyakan mereka mengungsi berjalan kaki ratusan kilometer dari Pangkep ke Bone. Tanpa makan dan keluar-masuk hutan,” kata Halilintar yang banyak mendengar kisah-kisah sedih dari bissu-bissu tua yang selamat.
Tekanan bertahun-tahun itulah yang membuat bissu kini seolah menjadi makhluk langka. Komunitas yang tersisa diketahui hanya terdapat di Kabupaten Pangkep, Bone, Wajo dan Soppeng. Jumlah tepatnya tidak diketahui, namun dipastikandi tiap kabupaten hanya bisa dihitung pakai jari. Tidak tertutup kemungkinan ada juga bissu-bissu yang terpencar dan tidak terdata.
Padahal pada masa silam, di tingkat kerajaan – sekarang kurang lebih setingkat kabupaten – minimal terdapat 40 bissu. Jumlah itu sesuai syarat penyelenggaraan upacara mappalili. Namun saat ini tidak ada satupun komunitas bisa mencapai angka demikian. Di Segeri misalnya, kini hanya terdapat tak lebih dari empat bissu.
Kendala lain adalah soal beratnya persyaratan menjadi bissu. Untuk menjadi bissu, seorang waria harus mendapat panggilan spiritual, yang bisa berupa mimpi, sakit, atau pertanda lain. Bila si waria sudah bertekad bulat, ia harus magang belajar di rumah puang matowa selama beberapa waktu sebelum dinyatakan siap ditahbiskan dalam upacara irreba. Meski telah melewati masa belajar hingga bertahun-tahun, belum tentu semua bissu akan lulus.
Bissu Eka misalnya, yang ditahbiskan pada 2003, menjalani masa magang selama empat tahun. Perjalanan spiritualnya sendiri diawali lewat mimpi semasa SMP. Dalam mimpinya, ada seorang tua berbaju putih yang menyuruhnya pergi ke rumah pusaka. “Waktu itu saya takut ke sana. Lihat bissu-bissu itu saja takut karena pakaian mereka perempuan, tapi mukanya besar-besar,” kenangnya. Sampai pada mimpi ketiga barulah ia memberanikan diri. Waria bernama kecil Kahar ini mengakui sejak kecil memang merasakan ada kelainan dalam dirinya yang lebih suka berlaku seperti perempuan.
Di rumah puang matowa, Eka mempelajari ilmu-ilmu bissu yang hanya beredar di kalangan mereka. Beruntung dia termasuk cerdas dalam menyerap semua pelajaran dari senior-seniornya. Di sana, Eka juga belajar keterampilan rias pengantin dan tata caranya menurut adat Bugis. Para calon bissu muda saat ini umumnya sudah membekali diri dengan keterampilan semacam ini, karena kehidupan mereka tidak lagi disokong masyarakat seperti masa silam.
Menurut Eka, panggilan spiritual menjadi bissu tidak bisa direkayasa, apalagi sampai berbohong. Sebagai pemimpin, puang matowa juga akan mendapat isyarat tentang adanya waria yang akan datang magang di rumahnya. Sesama bissu juga mendapat semacam anugerah untuk dapat mengetahui basa torilangi, meski tidak ada yang mengajarkan ke mereka.
Seorang bissu idealnya harus dapat menjaga tingkah laku di masyarakat. Sejatinya, seorang bissu menjalani kehidupan spiritual dan menjauhi segala keduniawian. Mereka tidak bisa lagi bersikap genit, seperti umumnya waria muda lain. Penampilan harus senantiasa sopan. Mereka juga wajib berperan dalam upacara-upacara adat jika dibutuhkan.
Kelangkaan bissu tak pelak membuat kualitas mereka kian hari kian menurun. Sebagai pendamping komunitas bissu selama puluhan tahun melalui LSM Padat Daya, Halilintar mengakui hal ini. Ada daerah-daerah tertentu yang belakangan banyak mentahbiskan bissu, tapi kualitasnya dipertanyakan. “Banyak waria yang sudah menjadi bissu tapi tidak paham sepenuhnya tentang bissu itu sendiri,” ungkapnya.
Halilintar juga menyangkan, belakangan di kalangan bissu juga muncul gejala adanya “teman hidup” bissu yang disebut to boto. “Istilah ini sebenarnya adalah untuk ahli ramal kerajaan pada masa lalu, tapi sekarang menyempit menjadi lelaki teman kencan atau pacarnya bissu,” kata pengajar di Universitas Negeri Makassar ini prihatin.
Tidak berkelompok
Sosok bissu sendiri harus diakui memang mengundang eksotika tersendiri karena mereka berasal dari kaum waria. Dengan bentuk fisik pria namun bergaya feminim atau lemah gemulai saja, sudah mampu menyita perhatian orang lain. Apalagi ketika mereka dibalut sebagai bagian dari tradisi, wajar jika beraneka pikiran muncul di benak banyak orang.
Padahal, seperti diungkap Halilintar, dalam Surek Galigo termuat bahwa dari 40 bissu pertama yang turun ke bumi, hanya delapan yang waria. “Entah mengapa yang waria belakangan ini begitu dominan dibanding bissu perempuan,” katanya. Bahkan dalam pemilihan Matowa yang baru-baru ini diadakan di sejumlah komunitas, waria terlihat lebih menguasai gelanggang.
Keberadaan bissu perempuan seolah menghilang. Bisa jadi ini disebabkan karena pengalaman spiritual yang mereka dapat untuk menjadi bissu, didapat melalui proses sangat individual. Apalagi peran bissu dalam masyarakat mengalami kemerosotan semasa Orde Baru berlangsung. Bissu perempuan yang umumnya ada di desa tidak tahu tentang keberadaan sejawatnya.
Saat berada di Pangkep, Intisari sempat menemui Puang Temmi, salah satu bissu perempuan, di rumahnya di desa Kanaungan. Rumah itu seperti umumnya rumah-rumah desa di Sulawesi, berbentuk rumah panggung dan dikelilingi pepohonan jambu mete, mangga, lontar serta persawahan. Di kampungnya, ia dikenal sebagai sanro dengan banyak pasien.
Mak Temmi begitu perempuan tua itu dipanggil, selalu menyambut hangat tamu-tamunya. Tak ada yang tahu berapa usianya. Ia sendiri hanya mengatakan, “Lebih dari 60 tahun.” Mungkin juga lebih. Meski begitu, fisiknya masih terlihat segar dan selalu bersemangat. Sebatang rokok kretek putih buatan lokal selalu menemaninya di kala bercakap-cakap. Di situ kami diberitahu, Mak Temmi sebenarnya “sudah tahu” bakal kedatangan tamu dari jauh. “Cuma belum tahu siapa orangnya,” katanya.
Setiap tamu Mak Temmi untuk urusan bissu, akan ditawari untuk menghadap pusaka miliknya. Sekedar permisi dan mengutarakan niat kedatangan saja. Tempat arajang itu terletak di sebuah ruangan yang terletak di tengah rumah, antara kamar dan dapur. Sebagai syarat, diperlukan beberapa lembar daun sirih. Mak Temmi sendiri yang kemudian mengenalkan para tamu dengan pusakanya itu.
Menurut Eka yang menemani kami, pusaka milik Mak Temmi berbentuk batu-batuan, peci tradisional Bugis, dan sebilah keris. Semua ditempatkan dalam altar dengan bermacam pernak-pernik untuk memperindah. Di sekitarnya ada piring-piring kecil sesaji, serta foto-foto tua leluhur keluarga Mak Temmi. Di bawah altar ditaruh makanan berupa nasi dan lauk pauk untuk sesaji. Aroma kemenyan dan dupa yang dibakar memenuhi ruangan sempit itu.
Pusaka-pusaka semacam ini memang erat kaitannya dengan spiritualitas kaum bissu. Bentuknya bermacam-macam, bisa berupa batu-batuan, senjata, alat pertanian atau bahkan buah-buahan yang sudah mengering. Istimewanya, benda-benda ini didapat dari petunjuk gaib kepada calon pemilik pusaka.
Pusaka berfungsi sebagai simbol adanya ikatan antara kekuatan gaib dengan kelompok atau keluarga tertentu. Kaum bissu meyakini, jika benda-benda keramat ini dirawat baik, maka empunya benda akan senantiasa dibimbing makhluk-makhluk gaib di dalamnya. Namun jika tidak dipelihara, makhluk gaib tidak akan menghiraukan mereka juga, bahkan konon pusaka itu bisa hilang secara misterius.
Hari itu kami beruntung bisa menyaksikan dua upacara kecil yang dipimpin Mak Temmi. Keduanya upacara ucapan syukur atas keberhasilan panen ikan. Satu diselenggarakan di belakang rumah Mak Temmi, sedang yang lain berjarak sekitar tiga kilometer dari sana. Sebagai bissu, Mak Temmi mengadakan dialog dengan dewa-dewa tertentu serta arwah-arwah leluhur. Bahkan ia menggunakan tubuhnya sebagai medium bagi arwah-arwah tertentu dan dapat bercakap-cakap dengan peserta upacara lain.
Selesai upacara, setiap orang akan selalu diminta menyantap makanan yang digelar sebagai sesaji. “Manre, manre,” kata Mak Temmi dalam bahasa Bugis yang berarti makan. Ia menyilakan tetamunya sebagai wujud syukur. Walau perut kenyang sekalipun, setiap orang harus mencicipi makanan yang terhidang. Konon, dalam adat Bugis, yang utama dalam kehidupan adalah mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan. Jika semua sudah terpenuhi, tidak ada keinginan muluk lainnya.
Ayo. Makan. Kalau kita menolak makan,” bisik bissu Eka, “Bisa saja dengan ketus bissu Temmi bilang, ‘Buat apa lagi hidupmu, kalau tidak untuk makan? Kalau menolak, saya doakan nanti hidupmu malah kesulitan makanan’.” Masalah benar-tidaknya kami tidak tahu, yang jelas cerita itu sempat membuat hati kami kecut.
Tak terbatas waktu
Lekatnya ritual bissu dengan dunia gaib kami saksikan sendiri di rumah Mak Temmi, melalui maggiri. Acara itu semacam demonstrasi kekebalan dengan menusukkan keris ke badan. Biasanya maggiri dilakukan sebagai bagian dalam upacara resmi atau pertunjukan besar kaum bissu. Tapi saat itu Mak Temmi, Eka dan Bissu Mattang, bersedia mempertunjukkannya kepada kami.
Tidak banyak persiapan yang dilakukan. Namun ketiganya harus berpakaian bissu dan sejenak terlihat mengucapkan mantra-mantra. Pertunjukan diawali dengan tari-tarian sederhana diiringi alat musik palapasa. Alat musik itu hanya terdiri atas dua bilah bambu yang dipukulkan satu sama lain. Bunyi-bunyian lain, berasal dari pantat piring dan mangkuk yang saling digesekkan sehingga timbul suara berisik.
Tak sampai sepuluh menit kemudian, satu persatu bissu mulai ber-maggiri. Keris ditusukkan ke pangkal leher sambil diputar-putar seperti mengebor. Saat melakukannya, sesekali kaki mereka dihentak-hentakan ke lantai. Meski ditusukkan berulang-ulang ke badan, keris sama sekali tidak menembus kulit, bahkan tidak timbul darah atau luka. Beberapa penonton terlihat ngeri dan membuang pandangan.
Saat maggiri, konon bissu melakukannya sambil kesurupan. Ekspresi wajah mereka terlihat biasa saja, namun tatapan matanya seperti tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sementara tubuh mereka mengikuti hentakan-hentakan palapasa yang ritmenya tidak beraturan.
Uniknya, seorang bissu tidak bisa menghentikan maggiri jika tidak disadarkan bissu lain dengan cara dipegang tangannya. Jika tidak disadarkan, acara itu bahkan bisa berlangsung seharian. “Kalau kami maggiri di depan para bissu, kadang kami iseng bercanda, ada bissu-bissu yang kami biarkan maggiri sampai lama, sampai pagi,” kisah Eka tertawa-tawa.
Bergelar haji
Meski akrab dengan dunia gaib, bissu tidak sudi jika dikatakan tak beragama. Setidaknya para bissu mengaku mengikuti keyakinan mayoritas masyarakat Bugis sekaligus agama yang dianut sejak kecil, yaitu Islam. Ibadah sholat dikerjakan sehari-hari sebagai lelaki.
Memasuki usia senja, beberapa bissu bahkan mendalami agama lebih serius. Mereka semakin menata hidup dengan beribadah haji, namun tanpa menanggalkan status kebissuannya. Beberapa di antaranya bahkan menduduki jabatan penting, seperti Matowa dari Bone yaitu Haji Daeng Tawero dan Matowa dari Wajo adalah Haji Janna. Beberapa bissu juga belakangan diketahui berumah tangga.
Dalam lembaga bissu, ketentuan tentang pengunduran diri seorang bissu tidak terlalu jelas. Ikatan hanya terjadi akan kesakralan irreba yang merupakan kontrak spirtual mereka dengan para dewa. Konon, tak sedikit bissu yang melanggar ketentuan dari dewa kemudian mendapat celaka. Misalnya bila mereka melakukan tindakan asusila.
Di tengah derasnya hujaman budaya global di Sulsel, bissu tetap mencoba bertahan. Setidaknya eksistensinya di masyarakat perlahan disegarkan kembali. Bukan hanya sebagai sekadar atribut budaya, namun juga sebagai manusia yang berbudaya.
Belahan Jiwa Bissu Muda
Sesungguhnya tidak banyak yang bisa diungkap dari tradisi bissu dan kehidupan sehari-harinya di masa silam. Sosok dan perilaku mereka relatif tidak terlalu terbuka, sementara masyarakat sendiri tidak terlalu campur tangan atau ambil peduli. Terutama yang menyangkut menyangkut kehidupan seksual mereka.
Tidak hanya menyangkut penampilan dan perilaku, karena terikat spiritualitasnya, kaum bissu sebenarnya memiliki pantangan untuk melakukan hubungan seks. Jika belakangan ini muncul kecenderungan para bissu mempunyai teman hidup yang disebut to boto, tentu ini jadi gunjingan empuk di masyarakat. To boto atau ada yang menyebutnya kaik, tentulah pria.
Bissu Eka menepis anggapan bahwa to boto adalah kekasih, layaknya hubungan cinta lelaki-perempuan. “Dia itu pendamping, orang yang membantu bissu sehari-hari,” tegasnya. Pria bernama Rustam, to boto-nya sekarang, sukarela datang ke rumahnya dan tinggal bersama sejak lebih dari dua tahun lalu. Sebelum tinggal bersamanya, Rustam telah beristri. Bahkan Eka sempat berurusan dengan polisi gara-gara to boto ketiganya ini.
Menurut Eka, bissu harus melepaskan to boto jika telah hidup bersama selama tiga tahun. To boto itu kemudian harus dinikahkan dengan orang lain atas tanggungan bissu. “Karena kita dianggap telah menghalangi rejekinya, karena selama tiga tahun dia tidak bergaul sama perempuan,” katanya, “Setahun lagi, saya akan lepas dia.”
Halilintar Lathief mengungkapkan, jika memang bissu berniat mencari pacar, sebenarnya hal itu semudah menjentikkan jari. “Di antara ilmu yang mereka kuasai, ada ilmu-ilmu pemikat, seperti misalnya cenning rara,” katanya. Ilmu semacam ilmu pelet ini bisa dipakai untuk memikat siapa saja, baik lawan maupun sesama jenis. Bahkan bisa dipakai untuk berdagang atau merias pengantin agar terlihat cantik di mata tamu undangan.
Untuk mengendalikan libido, lanjut Halilintar, dalam tradisi Bugis kuno yang juga dianut bissu masa lalu, terdapat ajaran paneddineng parinnyameng. Artinya “khayalan yang membawa nikmat”, atau kira-kira tindakan yang bisa memuaskan libido tanpa harus berhubungan seks, namun melalui proses spiritual. “Walau mitos ini lama sekali, tapi masih ada aliran-aliran tertentu di Bugis yang mempraktekkannya sekarang ini,” katanya. Sayang sekali, bissu masa kini sudah tidak ada yang mempelajarinya.
(kampungbugis)

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar