Saham Menurut Pandangan Islam
1. Pasar Modal Islam Indonesia
1. Pasar Modal Islam Indonesia
Secara resmi diluncurkan pada 14 maret 2003 bersamaan dengan penandatanganan MoU antara BAPEPAM-LK denagn Dewan Islam Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DESN-MUI). Walaupun secara resmi diluncurkan pada tahun 2003, namun instrument pasar modal islam telah hadir di Indonesia pada tahun 1997. Hal ini ditandai dengan peluncuran Danareksa Islam pada 3 juli 1997 oleh PT Danareksa Investment Management. Selanjutnya Bursa Efek Indonesia ekerja sama dengan PT Danareksa Investment Management meluncurkan Jakarta Islamic ndex (JII) pada 3 juli 2000 yang bertujuan untuk memandu investor yang ingin menanamkan dananya secara islam. Dengan hadirnya indeks tersebut, maka para pemodal telah disediakan saham-saham yang dapat dijadikan sarana berinvestasi dengan penerapan prinsip islam.
Jakarta Islamic index (JII) dimaksudkan untuk digunakan sebagai tolak ukur (benchmark) untuk mengukur kinerja suatu investasi pada saham dalam berbasis islam. JII terdiri dari 30 jenis saham yang dipilih sesuai dengan islam. Penentuan kriteria pemilihan saham dalam JII melibatkan pihak dewan pengawas islam PT Danareksa investment management.
Sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dalam menentuan criteria saham-saham emiten yang menjadi komponen dari JII adalah:
a. Memilih kumpulan saham degan jenis usaha utama yang tidak ertentangan dengan prinsip hukum islam dan sudah tetcatat lebih dari tiga bulan (kecuali bila termasuk didalam saham-saham 10 berkapitalisasi besar.
b. Memilih saham berdasarkan laporan keuangan tahunan atau tengah tahunan terakhir yang memiliki kewajiban terhadap aktiva maksimal sebesar semilan puluh persen.
c. Memilih enam puluh saham dari susunan diatas berdasarkan urutan rata-rata kapitalisasi pasar (market capitalization) terbesar selama satu tahun terakhir.
d. Memilih tiga puluh saham dengan urutan berdasarkan tingkat likuiditas rata-rata nilai perdagangan selama tahun terakhir.
2. Dasar Hukum Saham Islam
Saham merupakan surat beli kepemilikan atas sebuah perusahaan yang melakukan penawaran umum (Go Public) dalam nominal ataupun presentase tertentu. Para pemegang andil merupakan pemilik perusahaan yang bisa menikmati keuntungan perusahaan sebanding dengan modal yang disetorkannya. Selain dari deviden yang dapat diperoleh pemegang saham, nilai keuntungan yang merupakan selisih positif harga beli dan harga jual saham juga merupakan benefit selanjutnya yang dapat dinikmati oleh pemegang saham. Selain manfaat yang bersifat finansial, para pemegang saham juga memiliki benefit yang bersifat nan finansial yaitu hak suara dalam aktifitas perusahaan.
Instrument saham belum didapati pada masa Rasulullah SAW, yang dikenal hanya perdagangan komoditas barang riil seperti layaknya terjadi pada pasar biasa. Dikarenakan belum adanya nash atau teks Al-Qur’an maupun hadis sebagai landasan hokum secara jelasdan pasti tantang keberadaah saham, maka para ulama dan fuqaha kontemporer berusaha untuk menemukan rumusan kesimpulan hukum tersendiri untuk saham. Usaha tersebut lebih dikenal dengan istilah ijtihad, yaitu sebuah usaha dengan sungguh-sungguh mendapatkan dan mengeluarkan hokum syariah yang belum dikemukakan secara jelas oleh Al-Quran dan Hadis dengan mengacu kepada sandaran dan dasar hukum yang diakui keabsahannya.
Para ulama dan fuqaha kontemporer berselisih pendapat dalah memperlakukan saham dari aspek hukum, khususnya dalam jual beli. Ada yang memperbolehkan transaksi jual beli dan ada juga yang tidak memperbolehkan. Para fuqaha yang tidak memperbolehkan transaksi jual beli saham memberikan beberapa argumentasi:
a. Para investor pembeli saham keluar dan masuk tanpa diketahui oleh seluruh pemegang saham.
b. Harga saham diberlakukan ditentukan seniali dengan ketentuan perusahaan, yaitu pada saat penerbitan dan tidak mencerminkan modal awal pada waktu pendirian.
c. Adanya unsure ketidak tahuan dalam jual beli saham dikarenakan pembeli tidak mengetahui secara pasti spesifikasi barang yang akan dibeli yang terera dalam lembaran saham. Sedangkan salah satu syarat sahnya jual beli adalah diketahuinya barang.
Para ulama dan fuqaha yang membolehkan jual beli saham mengatahan bahwa saham sesuai dengan terminologi. Para fuqaha yang memperbolehkan transaksi jual beli saham memberikan beberapa argumentasi:
a. Saham dimiliki menunjukkan sebuah bukti kepemilikan atas perusahaan tertentu yang berbentuk asset. Dengan demikian saham merupakan cerminan kepemilkan atas asset tertentu, maka saham dapat diperjualbeliakan sebagai layaknya barang.
b. Saham diperdagangkan dipasar modal itu adalah dari perusahaan yang bergerak dibidang usaha halal (misalnya, dibidang transportasi, telekomunikasi, produksi tekstil, dan sebagainya)
c. Mempermudah mengetahui timbangan harga-harga sham dan barang-barang komuditi, melalui aktifitas permintaan dan penawaran.
d. Aturan dan norma jual beli saham tetapmengacu pada pedoman jual beli barang pada umumnya, yaitu terpenuhinya rukun, syarat serta terhindar dari unsur riba.
Para ulama kontemporer yang merekomendasikan hal tersebut diantaranya Abu Zahrah, Abdurahman Hasan, dan Khalaf sebagaimana dituangkan oleh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqhu Zakah. Adanya fatwa-fatwa ulama kontemporer tentang jual beli saham semakin memperkuat landasan akan bolehnya jual beli saham. Dalam kumpulan fatwa Dewan Syariah Nasional Saudi Arabia yang diketahui oleh Syekh Abdul Aziz Ibn Abdillah Ibn Baz, yang dinyatakan sebagai berikut :
“ Jika saham yang diperjualbelikan tidak serupa dengan uang secara utuh apa adanya, akan tetapi hanya representasi dari sebuah asset seperti tanah, mobil, pabrik dan yang sejenisnya, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang telah diketahui oleh penjual dan pembeli, maka dibolehkan hukumnya untuk diperjual belikan dengan harga tunai ataupun tangguh, yang dibayarkan secara kontan ataupun beberapa kali pembayaran, berdasarkan keumumman dalil tentang adanya jual beli”.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar