Sultan Aceh di Sumatera, Sultan Demak di Jawa, dan Sultan Ternate di  kepulauan Maluku bergabung untuk mencoba menangkis Portugis. Pada waktu  itu kekuatan dan kedaulatan kesultanan Ternate diakui lebih dari 72  pulau, termasuk Pulau Timor. Pada 1570, Portugis berhasil membunuh  Sultan Ternate, Khairun. Namun penggantinya, Sultan Baabullah, mengepung  benteng Portugis di Ternate. Baabullah kemudian bersekutu dengan  Belanda untuk menghadapi Portugis dan Spanyol.
Pada 1651 Belanda menginvasi Kupang di Timor Barat. Kehadiran Belanda  di Timor berlangsung selama 200 tahun. Pada 20 April 1859, Belanda  mengadakan perjanjian dengan Portugal untuk membagi Timor dalam kendali  masing-masing: Belanda menduduki bagian barat dan Portugis bagian timur  pulau itu. Sejak saat itu Portugis dapat mengamankan kontrol penuh atas  Timor Timur sampai meninggalkan kawasan ini pada 1975.
Awal Mula Kolonialisme Belanda.
Menyusul Portugis dan Spanyol, Belanda pun memulai pencarian  rempah-rempah Indonesia untuk dijual di pasar Eropa. Mereka mengharapkan  keuntungan yang besar. Untuk tujuan perdagangan yang lebih efisien dan  lebih baik, mereka mendirikan serikat dagang untuk India dan wilayah  timur yang disebut VOC atau Kompeni pada 1602.
Pada era yang sama Kerajaan Mataram Hindu mulai beralih menjadi  pemeluk agama Islam. Sultan pertamanya adalah Sultan Agung  Hanyokrokusumo. Dia mengembangkan kekuasaan politik negara dan  kebudyaan. Sultan Agung adalah musuh bebuyutan bagi Belanda. Pada 1629  ia mengirim pasukan untuk menyerang Batavia, tapi mereka dipukul mundur  oleh pasukan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen.
VOC memasuki Maluku, di Ambon pada tahun 1605 dan Pulau Banda pada  tahun 1623. Kedua tempat ini merupakan aset utama Belanda untuk  memonopoli perdagangan rempah-rempah. Taktik devide et impera atau  “Pecah Belah dan Kuasai”, banyak dilakukan Belanda. Dengan cara ini  perdagangan antarpulau, seperti antara Makassar, Aceh, Mataram, dan  Banten serta perdagangan luar negeri, perlahan-lahan lumpuh.  Pada saat  yang sama, Belanda menerapkan kebijakan pintu terbuka terhadap Cina agar  mereka dapat bertindak sebagai perantara dalam perdagangan mereka  dengan Indonesia.
Sultan Hasanuddin dari Goa mengobarkan perang melawan Belanda pada  1666. Namun dikalahkan sehingga Goa menjadi negara pengikut VOC di bawah  perjanjian Bunggaya (1667). Pangeran Trunojoyo dari Madura juga melawan  Belanda. Ia dikalahkan dan dibunuh pada 1680.
Untuk memperkuat monopoli rempah-rempah mereka di Maluku, Belanda  melakukan ekspedisi Hongi. Mereka membakar kebun-kebun cengkeh rakyat  dalam upaya untuk menghilangkan kelebihan produksi, sehingga meruntuhkan  harga cengkeh di pasar Eropa. Dalam ekspedisi ini  kekejaman Belanda  dilakukan terhadap orang-orang yang mempertahankan tanaman mereka.
Tahun 1740 Belanda menekan pemberontakan di Jakarta yang dipicu oleh ketidakpuasan terhadap Cina. Sepuluh ribu Cina dibantai.
Kerajaan Mataram mulai terlihat kejatuhannya setelah dibagi oleh VOC  ke dalam kerajaan Yogyakarta dan Surakarta. Namun, salah urus dan  korupsi memaksa VOC bangkrut dan pada 31 Desember 1799. Sejak itu semua  wilayah di Indonesia diambil alih oleh Pemerintah Belanda di Batavia.
Setelah nasionalisasi VOC pada 1799, Pemerintah Belanda mencengkeram  wilayah-wilayah vital negara. Orang-orang di wilayah-wilayah tersebut  dipaksa untuk menyerahkan hasil pertanian mereka kepada para pedagang  Belanda. Ini merupakan awal kolonialisme Belanda di Indonesia.
Era Kekuasaan Inggris.
Selama perang Napoleon di Eropa ketika Belanda diduduki oleh  Perancis, Indonesia jatuh di bawah kekuasaan British East India Company  (1811-1816). Sir Thomas Stanford Raffles diangkat sebagai Letnan  Gubernur Jenderal Jawa. Dia bertanggung jawab  kepada Gubernur Jenderal  di Bengal, India.
Raffles memperkenalkan sebagian pemerintahan sendiri dan menghapuskan  perdagangan budak. Dia juga memperkenalkan sistem kepemilikan tanah,  menggantikan sistem pertanian tanam paksa Belanda. Borobudur dan candi  lain diperbaiki. Juga melakukan penelitian terhadap berbagai  kepurbakalaan di Jawa. Raffles menulis buku terkenal, “The History of  Java”. Dalam buku itu dia  menggambarkan peradaban dan budaya tinggi di  Jawa.
Di samping Raffles, selama tinggal di Sumatera (1814-1825), William  Marsden menulis buku serupa tentang sejarah Sumatera, yang diterbitkan  pada 1889.
Setelah jatuhnya Napoleon dan akhir pendudukan Belanda, Prancis,  serta Inggris, Belanda menandatangani konvensi di London pada 13 Agustus  1814. Disepakati bahwa harta kolonial Belanda yang berasal dari 1803  dan seterusnya harus dikembalikan kepada Pemerintah Belanda di Batavia.  Dengan demikian, kepulauan Indonesia dari penguasaan Inggris  dikembalikan lagi ke Belanda pada tahun 1815.
Kembalinya Pemerintahan Belanda.
Segera pemerintahan kolonial Belanda mengintensifkan kekuasaannya di  Indonesia. Tapi kali ini keadaan dan situasi telah berubah. Penolakan  muncul dan terus bermunculan. Semakin Belanda bertindak keras hasilnya  malah hanya memicu pemberontakan yang lebih luas lagi.
Misalnya Thomas Matulessy alias Pattimura, melakukan pemberontakan  melawan Belanda di Maluku (1816-1818). Pangeran Diponegoro memimpin  Perang Jawa (1825-1830). Tuanku Imam Bonjol memimpin Perang Padri di  Sumatera Barat, sementara Teuku Umar memimpin Perang Aceh di Sumatera  Utara (1873-1903). Raja Sisingamangaraja dari Batak melawan Belanda pada  1907. Upaya tentara Belanda menduduki Bali pada 1908 berhasil dipukul  mundur oleh Raja Udayana. Pemberontakan juga meletus di Goa, Sulawesi  Selatan, dan di Kalimantan Selatan.
Pemberontan yang semakin meluas akhirnya mnegubah cara Belanda  menjajah wilayah Indonesia. Situasi Global pun berkembang. Sampai  akhirnya kolonialisme di Indonesia pun semakin memudar dan pada akhirnya  menghilang.
Sumber: http://www.indonesiakuno.com/ 
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar