Raja Bone ke-16

Bookmark and Share
Nama lengkapnya adalah La Patau Matanna Tikka WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang MatinroE ri Nagauleng. Dialah yang menjadi Arumpone setelah pamannya Petta To RisompaE meninggal dunia. Sebelum Petta To RisompaE meninggal dunia, memang kemanakannya yang bernama La Patau Matanna Tikka inilah yang dipesankan untuk menggantikan kedudukannya sebagai Arumpone. Pesan yang dipersaksikan kepada seluruh orang Bone segenap Lili Passeyajingeng Tanah Bone didukung oleh anggota Hadat Tujuh Bone.

La Patau Matanna Tikka adalah anak dari adik perempuan Petta To RisompaE yang bernama We Mappolo BombangE Da Ompo We Tenri Wale Maddanreng Palakka MatinroE ri Ajappasareng. Anak ini lahir dari perkawinannya dengan La PakokoE Toangkone TadampaliE Arung Timurung MaccommengE. La Patau Matanna Tikka MalaE Sanrang, dia juga sebagai Ranreng Towa Wajo pusaka dari ayahnya. Selain itu ia pula sebagai Arung di Ugi.

La Patau merasa belum kuat kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone berhubung masih ada putra mahkota yang lain yang berpeluang untuk diangkat menjadi Mangkau’ di Bone. Putra mahkota tersebut, antara lain ; La Pasompereng Petta I Teko, anak dari La Poledatu ri Jeppe’ dari perkawinannya dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Sengngeng.

La Poledatu ri Jeppe’ bersaudara dengan La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna. Anak dari La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE yang juga sebagai Arung Sijelling. La Maddussila Arung Mampu adalah anak dari We Tenri Patuppu Arumpone MatinroE ri Sidenreng. Sedangkan We Tenri Sengngeng adalah anak dari We Tenri Tana Massao LebbaE ri Mampu, adalah saudara La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE.

We Tenri Tana kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Peppang Lebbi WaliE Arung Kaju. Dari perkawinannya itu lahirlah We Tenri Sengngeng. La Tenri Peppang Lebbi WaliE adalah anak dari We Tenri Pateya saudara We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng.

We Tenri Patuppu bersaudara, yaitu ; We Tenri Pateya dan We Tenri Parola adalah anak dari La Pattawe Arung Palenna Arumpone MatinroE ri Bettung Bulukumba, dari hasil perkawinannya dengan We Balole I Dapalippu Arung Mampu. We Balole I Dapalippu Arung Mampu adalah anak dari La Uliyo Bote’E Arumpone MatinroE ri Itterung dengan isterinya yang bernama We Tenri Gau Arung Mampu. Arumpone La Uliyo Bote’E inilah yang merupakan nenek dari La Pasompereng Arung Teko dan juga merupakan nenek dari La Patau Matanna Tikka.

Hanya saja ketika Petta TorisompaE menjadi Mangkau’ di Bone sampai meninggal dunia, La Pasompereng kebetulan tidak berada di Tanah Ugi. Dia ke Timor Kupang karena disuruh oleh Petta To RisompaE sendiri membantu Kompeni Belanda dalam memerangi orang Timor. Setelah Petta To RisompaE meninggal dunia, barulah La Pasompereng kembali ke Bone dan bermaksud merebut kedudukan La Patau Matanna Tikka sebagai Arumpone.

Pada mulanya La Patau tidak mengetahui bahwa La Pasompereng dianggap cacat oleh Kompeni Belanda. Nanti setelah adanya surat dari Kompeni Belanda yang menjelaskan tentang perbuatan La Pasompereng, barulah Lka Patau merasa bahwa kedudukannya sebagai Mangkau di Bone telah aman. Karena jelas bahwa La Pasompereng tidak mungkin didukung oleh Kompeni Belanda untuk menduduki Mangkau’ di Bone dengan adanya kesalahannya itu. Apalagi La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna yang bisa mendukungnya juga telah meninggal dunia.

Ketika La Tenri Bali MatinroE ri Datunna meninggal dunia, ia tidak lagi digantikan oleh anaknya. Tetapi orang Soppeng pergi ke Bone untuk minta kepada La Patau Matanna Tikka agar selain sebagai Mangkau’ di Bone, dapat juga menjadi Datu di Soppeng. La Patau Matanna Tikka tidak mengiyakan permintaan orang Soppeng tersebut, karena ia berpikir bahwa kalau permintan orang Soppeng itu diterima, maka ia harus menghadapi dua musuh besar yaitu La Pasompereng Arung Teko dan Daeng Mabbani Sule DatuE ri Soppeng.

Sebagai Ranreng Towa di Wajo, La Patau Matanna Tikka sekali sebulan harus ke Ujungpandang untuk melihat orang Wajo yang ada di Ujungpandang. Untuk membantunya, diangkatlah Amanna Gappa sebagai Matowa Wajo yang menggantikan dirinya bila kembali ke Bone.

Setiap datang dari Bone, La Patau selalu mengadakan Duppa Sawungeng (penyabungan ayam) secara besar-besaran di Malimongeng. Semua arung-arung yang ada di Celebes Selatan yang datang ke Ujungpandang untuk menemui Pembesar Kompeni Belanda, mereka datang apabila La Patau ada.

Arumpone La Patau Matanna Tikka menolak permintaan orang Soppeng untuk menjadi Datu di Soppeng, karena menurutnya masih ada pilihan yang paling tepat yaitu We Yadda saudara Datu Soppeng MatinroE ri Salassana. Oleh karena itu, We Yadda ditunjuk untuk menjadi Datu di Soppeng. Apalagi semasa hidupnya Petta To RisompaE pernah kawin dengan sepupunya yang bernama We Yadda itu.

Kembali kepada Arung Teko yang bernama La Pasompereng, kawin dengan saudara perempuan KaraengE ri Gowa Mallawakka Daeng Matanre Karaeng Kanjilo Tu Mammenanga ri Passirinna. Dari perkawinannya itu melahirkan anak perempuan yang bernama Karaeng Pabbineya. Inilah yang kawin dengan To Marilaleng Pawelaiye ri Kariwisi, anak Opu Tabacina Karaeng Kariwisi dengan isterinya yang bernama Arung Ujung.

Sekembalinya dari Timor, La Pasompereng Arung Teko langsung masuk ke Bone untuk menyampaikan kepada Arumpone La Patau Matanna Tikka bahwa dirinya telah kembali dari Timor. Sebagai Arumpone, La patau menerima kedatangannya, karena dianggap telah melaksanakan tugas dari Petta To RisompaE dalam membantu Kompeni Belanda memerangi Timor. Namun dalam hati La Patau tetap berpikir siapa tahu La Pasompereng akan menuntut -akkarungeng (Kedudukan sebagai Mangkau’)di Bone, karena dia juga sebagai putra mahkota.

Pada saat La Pasompereng berkunjung ke Saoraja menemui La Patau, ia langsung menerima berita tidak baik tentang isterinya yang berselingkuh dengan Sule DatuE di Soppeng yang bernama Daeng Mabbani. Isteri La Pasompereng yang bernama Karaeng BalakkaeriE adalah sudara dari KaraengE ri Gowa, sehingga pertemuannya dengan Sule Datu Soppeng Daeng Mabbani selalu dilakukannya di SalassaE ri Gowa.

Berkatalah La Patau Matanna Tikka kepada La Pasompereng ; ” Kalau kita tidak dapat mengamankan dalam rumah tangga sendiri, maka lebih tidak bisa lagi mengamankan satu wanuwa (negeri)”. Mendengar pernyataan Arumpone La Patau begitu, La Pasompereng terkejut dan bertanya ; Mengapa adik berkata begitu ? Apa adik mengetahui kalau dalam rumah tanggaku terjadi sesuatu yang memalukan ?”

Setelah Arung Teko mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, barulah Arumpone La Patau Matanna Tikka menjawab ;”Nantilah kakanda kembali ke Gowa baru mengetahui. Sebab hal itu bukan lagi rahasia umum di Gowa”.Selanjutnya Arumpone La Patau menjelaskan tentang perbuatan isterinya itu yang berselingkuh dengan Sule DatuE ri Soppeng yang bernama Daeng Mabbani.

Arung Teko kemudian pamit untuk kembali ke Gowa. Sesampainya di rumahnya, benar ia tidak menemukan isterinya. Arung Teko menanyakan kepada seisi rumahnya dan jawabannya adalah Karaeng BalakkaeriE pergi ke SalassaE. Oleh karena itu Arung Teko menyuruh orang untuk memanggil isterinya agar kembali ke rumahnya. Namun penggilan itu tidak diindahkan oleh isterinya dan sudah tidak mau lagi bertemu dengan suaminya.

Dengan demikian maka kepercayaan Arung Teko kepada apa yang disampaikan oleh Arumpone semakin jelas. Ia pun berpikir untuk melakukan perhitungan terhadap Sule DatuE di Soppeng.

Tidak berapa lama, datanglah Arumpone untuk mengadakan penyabungan ayam di Ujungpandang. Menurut kebiasaannya, bila ada penyabungan ayam yang diadakan oleh Arumpone di Ujungpandang, semua arung-arung datang di tempat itu.

Sebelum Arumpone memberikan tanda-tanda kepada Arung Teko bahwa dia mengirim seekor ayam, berarti Sule DatuE di Soppeng yang bernama Daeng Mabbani telah datang dan pasti ia berada di SalassaE untuk melakukan pertemuan dengan Karaeng BalakkaeriE.

Arung Teko lalu mempersiapkan pengawalnya untuk menghadang Daeng Mabbani pada jalan setapak menuju ke SalassaE di Gowa. Sebab dia pikir setelah penyabungan ayam bubar, pasti Daeng Mabbani melewati jalan itu menuju ke SalassaE untuk bertemu dengan isterinya. Sementara itu, Arumpone La Patau Matanna Tikka melaporkan kepada Kompeni Belanda bahwa pada sore hari ini bakal terjadi perkelahian antara Arung Teko serombongan dengan Sule DatuE. Siapa nanti yang membunuh, dialah yang dimasukkan dalam kurungan.

Sore harinya bubarlah penyabungan ayam. Sule DatuE juga bersiap-siap untuk menuju ke SalassaE bersama pengawalnya.Serdadu-serdadu Kompeni Belanda juga telah berjaga-jaga pada tempat yang telah ditunjukkan oleh Arumpone.

Tepat matahari terbenam, pertumpahan darahpun terjadi. Duel antara Arung Teko dengan Daeng Mabbani berlangsung sangat seru yang berakhir dengan meninggalnya Daeng Mabbani. Arung Teko langsung ditangkap dan dimasukkan dalam kurungan dan tidak akan dikeluarkan.

Pada saat itu terjadi perebutan kekuasaan antara Inggeris dengan Kompeni Belanda. Gubernur Inggeris yang ada di Kalimantan, mengirim surat kepada Arung Teko yang sementara di penjara melalui utusan khususnya agar Arung Teko bersama seluruh pengikutnya melawan Belanda. Gubernur Inggeris bersedia memberinya bantuan persenjataan, kalau Arung Teko bersedia melawan Kompeni Belanda.

Arung Teko juga dijanji oleh Inggeris bahwa kalau kalah dalam melawan Kompeni Belanda, maka Inggeris siap untuk berhadapan dengan Kompeni Belanda di Celebes Selatan.

Ketika Arumpone mengetahui hal itu, maka dia minta kepada Gubernur Kompeni Belanda agar Arung Teko bersama seluruh pengikutnya dibuang (diasingkan) ke tempat yang diperkirakan tidak bisa kembali ke Tanah Ugi hingga akhir hayatnya. Dipilihlah tempat oleh Kompeni Belanda yaitu Seilon ujung Afrika Selatan. Tempat itulah yang merupakan tempat pembuangan bagi Kompeni Belanda bagi orang yang bersalah atau dianggap membahayakan. Di sanalah Arung Teko bersama seluruh pengikutnya meninggal dunia.

Setelah Arung Teko diasingkan ke Afrika Selatan, barulah pemerintahan La Patau Matanna Tikka di Bone dirasa aman. Ketika itu datang pula orang Soppeng untuk meminta kepada Arumpone agar dapat memegang Bone dan Soppeng. Permintaan orang Soppeng itu diterima oleh Arumpone dan jadilah La Patau Matanna Tikka sebagai Arumpone dan juga sebagai Datu di Soppeng. Hal ini sesuai keinginan MatinroE ri Madello semasa hidupnya agar Enci Camummu yang diambil sebagai Sule Datu anak dari La Majuna MatinroE ri Salassana.

La Patau Matanna Tikka WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang MatinroE ri Nagauleng lahir pada tanggal 3 November 1672 M. Diangkat menjadi Mangkau’ di Bone pada tahun 1698 M. dan digelar dengan nama Sultan Muhammad Idris Adimuddin.

Oleh pamannya La Tenri Tatta Petta To RisompaE, La Patau Matanna Tikka dikawinkan dengan We Ummung Datu Larompong anak dari PajungE ri Luwu MatinroE ri Tompo’tikka. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Batari Toja Daeng Talaga. Inilah yang menjadi Arung Timurung juga sebagai Datu di Citta. Anak berikutnya adalah We Patimana Ware, inilah yang menjadi Datu Larompong. Oleh karena itu dinamakanlah Opu Datu Larompong MatinroE ri Bola Ukina.

Karena We Batari Toja Daeng Talaga menjadi Mangkau’ di Bone, Datu Luwu dan Soppeng, maka Akkarungeng Timurung diserahkan kepada adiknya We Patimana Ware. Oleh karena itu We Patimana Ware lagi yang menjadi Arung Timurung.

We Patimana Ware kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Rumanga Daeng Soreang. Melahirkan tiga orang anak We Wale Daeng Matajang, We Manneng Daeng Masiang dan We Amira.

Dalam tahun 1687 M. La Patau Matanna Tikka dikawinkan lagi oleh pamannya Petta To RisompaE di Tanah Mangkasar, yaitu We Mariama Karaeng Patukangan anak KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng Mattimung Tumenanga ri Lakiung. Dari perkawinannya itu melahirkan empat anak, satu perempuan dan tiga laki-laki.Anaknya yang perempuan bernama We Yanebana I Dapattola meninggal sebelum menikah. Adapun anaknya yang laki-laki yaitu La Pareppai To Sappewali, La Padassajati To Appaware dan La Panaongi To Pawawoi.

Anak La Patau Matanna Tikka dari isterinya yang keempat yaitu Datu Baringeng dianggap juga sebagai putra mahkota yaitu La Temmassonge’ atau La Mappasossong To Appaweling. Tetapi karena lahir setelah Torisompae meninggal, sehingga oleh saudara-saudaranya hanya dianggap sebagai anak cera’. Artinya nanti bisa menduduki akkarungeng (Mangkau’ atau Datu) setelah putra mahkota yang lainnya sudah tidak ada.

Mulai dari ManurungE ri Matajang sampai kepada La Patau Matanna Tikka berlaku suatu tradisi bahwa – tenri pakkarung cera’E – tenri attolang rajengE.

La Patau Matanna Tikka kawin lagi dengan We Rakiyah di Bantaeng. Dari perkawinannya itu melahirkan dua anak perempuan dan empat anak laki-laki. Yang perempuan bernama We Tabacina meninggal dimasa kecil begitu juga berikutnya. Sedangkan yang laki-laki masing-masing bernama ; La Pauseri To Malimongeng, La Massettuang To Ape, La Massangirang To Patawari, La Makkarumpa meninggal diwaktu kecil.

Selanjutnya La Patau kawin lagi dengan We Biba To UnynyiE.Melahirkan seorang anak laki-laki yang bernama La Tangkilang, meninggal diwaktu kecil. Kemudian kawin dengan We Maisa To Lemoape’E, melahirkan dua anak yaitu La Madditudang To Parellei, yang satunya meninggal setelah lahir. Selanjutnya kawin dengan We Lette To BaloE, mekahirkan seorang anak perempuan nama We Celai.

Isteri-isteri La Patau Matanna Tikka yang dikawini tidak secara langsung, artinya hanya diwakili oleh orang lain, atau tombaknya, kerisnya, cere’nya, tempat sirih dan sebagainya. Mereka itu adalah ; We Sanging To Buki’E melahirkan seorang anak perempuan bernama We Cikondo, meninggal diwaktu kecil. Selanjutnya We Sisa melahirkan We Maragellu I Damalaka . Kemudian kawin lagi dengan We Sitti di Palakka melahirkan La Pawakkari To Appasalle, meninggal diwaktu kecil. Isteri selanjutnya bernama We Naja To SogaE melahirkan seorang anak bernama La WangiE. Kemudian isterinya yang keenam bernama We Saiyo, tidak melahirkan anak.

Isteri yang berikutnya bernama We Cimpau melahirkan seorang anak bernama La Mappaconga, meninggal diwaktu kecil. Selanjutnya bernama We Baya To BukakaE melahirkan anak laki-laki bernama La Tongeng Datu Laisu. Inilah yang menggantikan saudara ayahnya menjadi Datu Soppeng. Ini pula yang kawin dengan Datu Mario Riawa dan melahirkan anak laki-laki bernama La Mappaiyyo.

La Mappaiyyo kawin di Pammana dengan perempuan yang bernama We Tenri Dio anak dari La Gau Arung Maiwa Datu Pammana yang juga sebagai Pilla di Wajo dengan isterinya yang bernama We Tenri Yabang Datu Watu Arung Pattojo MatinroE ri Pangkajenne. La Mappaiyyo inilah yang dibunuh oleh iparnya yang bernama La Dolo (La Tenri Dolo), karena sifatnya tidak akan menuruti perintah iparnya. Pembunuhan terhadap La Mappaiyyo membuat La Temmassonge MatinroE ri Malimongeng marah besar dan mencari La Tenri Dolo untuk melakukan pembalasan.

Oleh karena itu La Tenri Dolo melarikan diri ke Kamboja dan akhirnya kawin dengan anak Raja Kamboja disana. Dari perkawinannya dengan anak Raja Kamboja, lahirlah seorang anak laki-laki bernama Ambaralana. Selanjutnya Ambaralana melahirkan Raja Sitti yang kawin di India. Inilah yang melahirkan Nonci, orang kayanya Islam di Singapura.

Isteri selanjutnya bernama We Sitti melahirkan seorang anak perempuan yang bernama We Benni. Inilah yang kawin dengan La Mattugengkeng Daeng Mamaro Ponggawa Bone. Dari perkawinan ini lahirlah We Tenriawaru Arung Lempang yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Temmassonge’.

Isteri berikutnya E Saira Karobba satu anaknya bernama E Jalling. Selanjutnya isteri kesebelas bernama E Sanrang orang Soppeng melahirkan satu anak perempuan meninggal diwaktu kecil.

Isteri La Patau Matanna Tikka yang berikut adalah E Yati, satu anaknya perempuan bernama E Kima. Selanjutnya yang bernama E Rupi, satu anaknya tapi meninggal setelah lahir.

La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng memiliki anak pattola (putra mahkota) dua di Luwu dari isterinya bernama We Ummung Datu Larompong yakni ; Batari Toja Daeng Talaga dan We Patimana Ware. Sedangkan dari isterinya di Gowa yang bernama We Mariama Karaeng Pattukkangang memiliki lima anak. Tetapi hanya tiga yang dianggap mattola, yakni ; La Pareppai To Sappewali, La Padassajati To Appaware dan La Panaongi To Pawawoi.

La Temmassonge’ anak Datu Baringeng adalah – ana’ sengngeng mallinrungngi ri ana’ mattolaE (putra mahkota yang terselubung) karena dia dilahirkan setelah Petta To RisompaE meninggal dunia. Oleh karena itu, La Temmassonge’ dikatakan – cera’i rimannessaE, sengngengi ri mallinrungE. Artinya yang diketahui oleh orang banyak dia hanyalah anak cera’ (bukan putra mahkota), tetapi sesungguhnya dia adalah anak sengngeng (putra mahkota). Tidak satupun saudaranya yang mengetahui kalau La Temmassonge’ itu adalah juga putra mahkota, kecuali Batari Toja Daeng Talaga MatinroE ri Tippulunna.

Selain itu, La Patau memiliki 29 anak cera’ dan anak rajeng. Tetapi kesemua itu tidak memiliki hak untuk mewarisi kedudukan ayahnya sebagai Arumpone.

Arumpone La Patau Matanna Tikka dikenal sebagai seorang Mangkau’ yang sangat menghargai adat istiadat. Ia sangat tidak senang kalau kebiasaan-kebiasan yang berlaku dalam masyarakat diubah. Dia sangat membenci orang yang suka mengisap madat (candu) dan perbuatan-perbuatan yang mengganggu keamanan masyarakat. Dua anaknya yang disuruh bunuh karena memiliki kesenangan mengisap madat.

Dengan demikian pada masa pemerintahannya di Bone, semua adat istiadat berjalan dengan baik. Tidak seorangpun yang berani melanggar, sebab sedangkan anak sendirinya disuruh bunuh kalau melakukan pelanggaran. Dia tidak memandang bulu, siapa saja yang melanggar pasti dihukum termasuk keluarganya sendiri.

Dimasa pemerintahannya, dua kali nyaris terjadi peperangan antara Bone dengan Gowa yang berarti melawan mertuanya sendiri yaitu KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng Mattimung Sultan Abdul Jalil, ayah dari isterinya yang bernama We Mariama Karaeng Patukangang. Pertama, yaitu pada tahun 1700 M. ketika Sule DatuE ri Soppeng yang bernama Daeng Mabbani dibunuh oleh La Pasompereng Arung Teko. KaraengE ri Gowa menyangka kalau La Pasompereng didukung oleh Arumpone La Patau untuk membunuh Daeng Mabbani yang kejadiannya di SalassaE ri Gowa. Untung saja sebelum perang berkobar, Kompeni Belanda cepat-cepat turun tangan dengan menenangkan kedua belah pihak.

Kedua , yaitu pada tahun 1709 M. ketika La Padassajati melakukan kesalahan besar di Bone. Karena takut dihukum oleh ayahandanya sendiri yang dikenal tidak memandang bulu, maka La Padassajati To Appaware melarikan diri ke Gowa untuk minta perlindungan kepada neneknya.

Karena permintaan Arumpone bersama Hadat Tujuh Bone agar La Padassajati dikembalikan ke Bone untuk dihukum tidak dipenuhi oleh KaraengE ri Gowa, maka Bone menyatakan perang dengan Gowa. Sementara KaraengE ri Gowa juga menyatakan dengan tegas bahwa lebih baik berperang dari pada menyerahkan cucunya kepada Bone untuk dihukum.

Sementara rencana perang antara Bone dengan Gowa menunggu saat yang tepat untuk dimulai, tiba-tiba KaraengE ri Gowa meninggal dunia. Maka La Pareppai To Sappewali saudara La Padassajati sendiri yang tidak lain adalah juga anak dari La Patau Matanna Tikka menggantikan neneknya sebagai Somba ri Gowa. La Pareppai To Sappewali juga tetap menolak untuk menyerahkan saudaranya ke Bone. Hal inipun langsung ditengahi oleh Kompeni Belanda, sehingga perang antara Bone dengan Gowa yang berarti perang antara anak dengan ayah dapat dihindari.

La Patau Matanna Tikka pulalah yang pertama mengangkat Matowa bagi orang-orang Wajo yang tinggal di Ujungpandang. Hal ini dimaksudkan agar orang-orang Wajo yang tinggal di Ujungpandang ada yang memimpinnya dan melihat keadaan sehari-harinya. Pada waktu itu La Patau Matanna Tikka disamping sebagai Mangkau’ di Bone, juga sebagai Ranreng Towa di Wajo. Orang yang diangkat sebagai Matowa adalah La Patelleng Amanna Gappa. Makanya La Patelleng Amanna Gappa dinamakan Matowa Wajo.

Dalam tahun 1714 M. Arumpone La Patau Matanna Tikka membuka arena penyabungan ayam dan mengundang seluruh TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo). Datanglah Arung Matowa Wajo yang bernama La Salewangeng To Tenri Ruwa yang mengikutkan kemanakannya yang bernama La Maddukkelleng Daeng Simpuang Puanna La Tobo Arung Peneki. Arung Matowa Wajo yang bertaruh ayam dengan orang Bone dan ayam Arung Matowa Wajo sempat membunuh ayam orang Bone.

Karena pengawal Arumpone merasa malu, tiba-tiba seorang anak bangsawan Bone mengambil bangkai ayam tersebut dan melemparkan ketengah kelompok orang Wajo. Bangkai ayam tersebut kebetulan mengenai Arung Matowa Wajo yang berada ditengah-tengah orang Wajo. Hal ini membuat La Maddukkelleng marah dan mengamuk. Dengan mata gelap, ia memburu dan menikam orang yang melemparkan bangkai ayam tersebut sampai meninggal ditempat. Setelah itu, La Maddukkelleng melarikan diri kembali ke Wajo.

Beberapa hari kemudian, pergilah utusan Bone untuk meminta kepada Arung Matowa Wajo agar La Maddukkelleng diserahkan ke Bone. Kepada utusan Bone, Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng telah menyeberang ke Kalimantan. Sejak itulah La Maddukkelleng menetap di Kalimantan dan menjadi Arung di Pasir. Untuk kembali ke Wajo, memang sangat sulit. Sebab selalu ditunggu oleh TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) untuk dihukum.

Dalam tahun 1714 M. itu pula La Patau Matanna Tikka WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang Sultan Idris Alimuddin meninggal dunia di Nagauleng Cenrana. Oleh karena itu dinamakanlah MatinroE ri Nagauleng.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar