Alun-alun dan Tata Kota Jawa dalam Bingkai Sejarah: Dulu hingga Sekarang

Bookmark and Share
Alun-alun Kidul Yogyakarta 1920
Seluruh kota di Indonesia hampir bisa dipastikan memiliki alun-alun, baik difungsikan sebagai bagian dari pusat kota maupun sekedar mengngambarkan identitas. Namun tahukah anda bahwa alun-alun yang ada sekarang merupakan representasi dari tata kota zaman dahulu? Bukan hanya sekedar bagian dari kota, dalam konsep jawa alun-alun memiliki makna tersendiri. Bagi masyarakat Jawa alun-alun melambangkan konsep Ketuhanan, atau dalam ruang kosong ada kehidupan yang dilambangkan dengan pohon beringin. Begitu juga dengan konsep kerajaan besar yang menghadap samudera dengan pelabuhan besarnya, dan membelakangi gunung yang memberikan kemakmuran (Mardiono, 2009). 
Konsep inilah yang sebetulnya menentukan fungsi dan kehadiran laun-alun dalam suatu kota di Jawa.  Pola ini tentunya mengikuti pola kerajaan pada masa Majapahit yang hingga kini masih terlihat melalui Keraton Surakarta dan Yogyakarta.Uraian dibawah ini mencoba untuk menlusuri konsep yang mendasari kehadiran alun-alun di masa lampau.

ALUN-ALUN PADA JAMAN PRAKOLONIAL DI JAWA.
Dimasa lalu sejak jaman Mojopahit sampai Mataram (abad 13 s/d 18), alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu komplek Kraton. Kraton dalam masyarakat tradisional masa lalu merupakan pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan pusat kebudayaan. Sebagai pusat pemerintahan dimana raja tinggal, maka Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos1. Komplek Kraton biasanya diberi pagar yang terpisah dari daerah lainnya pada suatu ibukota kerajaan, Batas pagar ini tidak selalu ditafsirkan melalui sistim pertahanan, tapi dapat ditentukan juga dari aspek kepercayaan/keagamaan. Untuk itu kita harus mengerti dulu hubungan antara kepercajaan/keagamaan dengan kota/komplek Kraton.

Denah alun-2
tata kota kerajaan Majapahit
Manusia yang religius seperti halnya mayarakat agraris yang religius di Jawa ini biasanya membagi ruang menjadi dua jenis, ruang yang homogen atau sakral (disucikan) disatu pihak dan ruang yang inhomogen atau yang tidak teratur (bisa disebut profan) dilain pihak. Di alam sakral segalanya teratur, baik tingkah laku manusia maupun struktur bangunannya. Sedang di ruang yang inhomogen semuanya tidak teratur, karena tidak/belum disucikan (Eliade, 1959:20-65).
Wilayah Kraton selalu dianggap sebagai wilayah yang homogen (Sakral), yang teratur atau harus diatur. Manifestasi dari keinginan inilah yang melahirkan konsepsi ruang dari susunan sebuah Kraton. Seperti dijelaskan di depan bahwa Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos. Manifestasinya adalah sebagai berikut: tempat tinggal raja yang biasa disebut sebagai ‘dalem ageng’ diibaratkan sebagai puncak Mahameru (atau gunung Semeru di Jawa). Disinlah kekuasaan dan wibawa raja dirasakan sangat besar. Di daerah lingkaran di luarnya disebut ‘negara agung’ (negara besar), batas luarnya adalah pelataran dalam. Disini kekuasan raja masih terasa besar. Di luar ‘negara agung’ dinamakan kawasan ‘mancanegara’ (luar daerah). Ini sudah agak diluar, tapi belum keluar dari batas teras Kraton. Di tempat inilah biasanya raja menerima tamu. Diluarnya lagi disebut Pasisir. Batas luarnya sudah mencapai Siti Inggil, bangunan di batas alun-alun dengan Kraton. Di Pesisir raja makin jarang muncul, hanya beberapa kali dalam setahun misalnya bila ada perayaan tertentu. Daerah paling luar disebut ‘sabrang’ (daerah seberang). Didaerah inilah bangsal pertemuan untuk para Bupati ditempatkan. Jadi jelaslah disini meskipun tempatnya paling luar tapi ‘alun-alun’ masih terletak di dalam komplek tembok/pagar Kraton2.
Di dalam Kraton Majapahit seperti dilukiskan oleh Prapanca dalam Negarakretagama3, di sebelah Utara dari komplek Kraton terdapat dua alun-alun. Masing-masing dinamakan Bubat (terkenal sebagai tempat pertarungan sengit antara utusan kerajaan pajajaran dengan pasukan Gajah Mada), yang luasnya kira-kira 1 km2, dengan lebar kurang lebih 900.00 M dan alun-alun Utara yang disebut sebagai Waguntur.
Meskipun keterangan Prapanca dalam Negarakretagama kurang begitu jelas, tapi masih bisa ditangkap betapa pentingnya peran alun-alun sebagai bagian dari pusat kota. Fungsi kedua alun-alun ini agak berbeda. Lapangan Bubat lebih bersifat profan . Pesta rakyat yang diadakan setiap tahun sekali pada bulan caitra (Maret/April) diselenggarakan di lapangan Bubat. Pada 3-4 hari terakhir pertunjukan dan permainan diselenggarakan dengan kehadiran dari raja. Fungsi lapangan Waguntur lebih sakral. Lapangan ini terletak di dalam pura raja Majapahit, yang digunakan untuk lapangan upacara penobatan atau resepsi kenegaraan. Di lapangan Waguntur ini terdapat Siti Inggil, serta komplek pemujaan (kuil Siwa) yang terletak di sebelah Timur dari lapangan Waguntur. Ini lebih mirip dengan alun-alun Lor Kraton Yogyakarta atau Surakarta, hanya komplek pemujaan pada alun-alun Lor diganti dengan mesjid yang letaknya di sebelah Barat dari alun-alun.  
Model yang masih bisa kita lihat sebagai prototype alun-alun kota di Jawa pada jaman yang lebih muda adalah alun-alun Yogyakarta dan Surakarta bekas perpecahan kerajaan Mataram dimasa lampau. Baik di Yogyakarta maupun di Surakarta terdapat dua buah alun-alun yaitu alun-alun Lor dan Kidul4. Di masa lalu alun-alun Lor berfungsi menyediakan persyaratan bagi berlangsungnya kekuasaan raja. Alun-alun Kidul berfungsi untuk menyiapkan suatu kondisi yang menunjang kelancaran hubungan kraton dengan universum. Alun-alun Kidul dapat juga melambangkan kesatuan kekuasaan sakral antara raja dan para bangsawan yang tinggal disekitar alun-alun.
Alun-alun Lor Yogyakarta pada masa lalu berbentuk ruang luar segi empat berukuran 300x265 meter. Di tengahnya terdapat dua buah pohon beringin dan di sekelilingnya terdapat 64 pohon beringin yang ditanam dengan jarak sedemikian rupa sehingga harmoni dengan bangunan disekitarnya. Permukaan alun-alun ini ditutupi oleh pasir halus. Dua buah pohon beringin ditengah alun-alun tersebut dikelilingi oleh pagar segi empat. Orang Jawa menyebutnya sebagai ‘Waringin Kurung’. Nama Waringin berasal dari dua suku kata “wri” dan “ngin”. “Wri” berasal dari kata “wruh” yang berarti mengetahui, melihat. “Ngin” berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan (Pigeaud, 1940:180). Kedua kata tersebut melambangkan kematangan manusia yang arief bijaksana, karena orang Jawa berangapan bahwa kegiatan bijaksana berasal dari kosmos. Pohon beringin dengan demikian melambangkan kesatuan dan harmoni antara manusia dengan universum. Kesatuan ini tidak timbul dengan sendirinya. Pohon beringin melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat didalam pagar kayu mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi dan di alam, supaya harmoni dengan hukum universum (Pigeaud, 1940:180).
Alun-alun jaman Mataram juga digunakan oleh warga (rakyat biasa) untuk bertemu langsung dengan raja, guna meminta pertimbangan atau sesuatu kasus perselisihan. Orang harus memakai pakaian dan penutup kepala putih dan harus duduk menunggu diantara kedua pohon beringin sampai diperbolehkan menghadap raja. Perbuatan seperti ini disebut “pepe”.
Di sebelah Barat alun-alun terdapat mesjid. Di halaman mesjid tersebut terdapat dua buah bangsal terbuka untuk dua buah perlengkapan gamelan. Yang satu disebut “Kyai Sekati” dan yang lain disebut “Nyai Sekati”. Keduanya dimainkan bergantian dimainkan hanya pada 3 upacara keagamaan, yaitu: Garebeg Maulud, Garebeg Sawal dan Garebeg Besar. Di seberang mesjid terdapat bangunan yang disebut ‘Pamonggangan” tempat untuk menyimpan gamelan yang lain. Dahulu pada jaman Mataram, setiap hari Sabtu sore (di luar Kasultanan diadakan pada hari Senin sehingga sering disebut Seton atau Senenan) diadakan pertunjukan ‘Sodoran’5 di alun-alun. Gamelan tersebut dimainkan sewaktu ada pertunjukan itu. Di sebelah bangunan “Pamonggangan” tersebut terdapat sebuah kadang harimau dan binatang buas lainnya. Pada hari Sabtu sore selain pertunjukan Sodoran kadang-kadang juga diadakan pertunjukan perkelahian antara banteng dan harimau, yang selalu diakhiri dengan kemenangan banteng. Lambang kekuasaan raja adalah banteng (dalam bahasa Jawa disebut Maesa), sedangkan lambang kekacauan adalah harimau (dalam bahsa Jawa disebut Simo). Pada jaman penjajahan banteng sering dilambangkan dengan orang Jawa dan harimau sebagai orang Belanda. Dalam pertunjukan ini banteng menang, dan orang Belanda ikut bertepuk tangan, karena mereka tidak mengerti !
Ada juga dipertunjukkan membunuh harimau (simbol kekacauan), secara beramai-ramai, yang dinamakan ‘rampog macan”. Jadi alun-alun yang pada mulanya merupakan pelataran sakral yang melambangkan harmoni antara langit yang dilambangkan sebagai pohon beringin dan bumi yang dilambangkan sebagai pasir halus, dimasa ini telah bertambah artinya.
Kesimpulanya alun-alun pada jaman prakolonial bisa berfungsi sebagai (Santoso, 1984) :
  1. Lambang berdirinya sistim kekuasaan raja terhadap rakyatnya.
  2. Tempat semua upacara keagamaan yang penting (adanya hubungan penting antara Kraton-Mesjid dan Alun-Alun).

ALUN-ALUN PADA JAMAN KOLONIAL
Untuk menjelaskan peran alun-alun pada jaman kolonial, disini dicoba untuk melihatnya dari sudut susunan pemerintahan, karena hubungannya yang sangat erat sekali. Salah satu unsur yang dikagumi orang mengenai kolonialisme Belanda di Indonesia adalah sistim pemerintahannya yang tidak langsung (indirect rule). Pemerintah kolonial Belanda dalam memerintah Nusantara selain menggunakan pejabat resmi seperti Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Kontrolir dan sebagainya, juga menggunakan pejabat Pribumi untuk berhubungan langsung dengan rakyat, seperti Bupati, Patih, Wedana, Camat dan lainnya. Unsur pemerintahan Pribumi ini biasanya disebut sebagai Pangreh Praja (yang berkuasa atas kerajaan - orang Belanda memakai istilah ‘Inlandsch Bestuur’).
Dalam sistim pemerintahan ‘Inlandsch Bestuur’ pejabat Pribumi yang tertinggi adalah ‘Regent’ atau biasa disebut sebagai Bupati, yang membawahi sebuah Kabupaten. Siapa sebenarnya Bupati ini pada jaman kolonial? Di dalam sistim pemerintahan Mataram terdapat 4 macam daerah yaitu (Kartodirjo, 1987:11) :
  1. Daerah Inti yang disebut Negara atau Kuthagara.
  2. Negara Agung.
  3. Mancanegara
  4. Pasisir.
Daerah Macanegara dan Pasisir, penguasanya dinamakan Bupati. Mereka adalah raja di daerahnya (Kartodirjo, 1987:12). Pada th. 1746 daerah Pasisir jatuh ketangan Kompeni, maka Bupati-Bupati nya menjadi Bupati Kompeni. Bupati Pesisir ini menjadi semacam ‘leverancier’ Kompeni. Mereka menyediakan barangbarang serta tenaga manusia untuk Kompeni. Para Bupati ini dengan leluasa mengembangkan kehidupan istana dengan meniru raja-raja Mataram di lingkungan masing-masing. Pada abad ke 19 setelah runtuhnya VOC, pemerintahan di Nusantara diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda. Para Bupati ini kemudian disebut sebagai Bupati Gubermen, yang menjadi pegawai yang digaji oleh pemerintah kolonial. Lalu apa hubungannya antara sistim pemerintahan ini dengan alun-alun?
Rumah Bupati di Jawa selalu dibangun untuk menjadi miniatur Kraton di Surakarta dan Yogyakarta. Di depan rumah Bupati juga terdapat pendopo yang berhadapan langsung dengan alun-alun, yang sengaja diciptakan oleh para Bupati untuk bisa menjadi miniatur dari Kraton Surakarta atau Yogyakarta. Bahkan di alun-alun di pusat kota Kabupaten ini juga diadakan perayaan semacam: sodoran, grebegan dan sebagainya. Rupanya pemerintah Kolonial Belanda melihat unsur phisik tradisional ini sebagai suatu potensi yang baik untuk dikembangkan dalam sistim pemerintahan tidak langsung (indirect rule) yang diterapkan di Nusantara ini.
Dalam sistim pemerintahan kolonial, Jawa dibagi menjadi 3 Propinsi, 18 Karesidenan yang masing-masing dibawahi oleh soerang residen, serta 66 Kabupaten yang masing-masing dikuasi secara bersama oleh seorang Asisten Residen (orang Belanda) dan seorang Bupati (Pribumi). Pada pusat kota Kabupaten inilah dibakukan semacam lambang pemerintahan bersama antara Asisten Residen dengan Bupati dalam bentuk phisik. Ujudnya adalah bentuk phisik tradisional berupa rumah Bupati dengan pendopo didepannya. Di depan rumah Bupati tersebut terdapat alun-alun yang ditumbuhi oleh dua buah atau kadang-kadang sebuah pohon beringin.

ALUN-ALUN PASCA JAMAN KOLONIAL
Setelah kemerdekaan, alun-alun masih menjadi unsur yang cukup dominan di kota-kota Kabupaten sampai sekarang. Pada jaman pra kolonial antara alunalun, kraton dan mesjid mempunyai konsep keselarasan yang jelas. Maksudnya komplek tersebut memang merupakan ujud dari konsep keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos, yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa. Oleh sebab itu meskipun terdapat transformasi bentuk alun-alun dari jaman Mojopahit sampai Mataram, tapi terlihat adanya kontinuitas konsep pemikiran tentang penataannya. Pada jaman kolonial kelihatan adanya diskontinuitas tentang pemikiran konsep penataan alun-alun. Tapi secara halus Belanda berhasil membuat konsep baru dalam penataan alun-alun kota untuk disesuaikan dengan sistim pemerintahannya pada waktu itu. Sehingga muncul istilah kota-kota “Indisch”, karena munculnya kebudayaan ‘Indisch’, yaitu percampuran antara kebudayaan Jawa dan Kebudayaan Belanda.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar