Taj Mahal, seperti halnya Mahatma Gandhi dan Bollywood, akan selalu terikut saat kita membincang India. Bangunan cantik terbuat dari marmer putih itu sejatinya adalah sebuah makam. Bangunan bergaya arsitektur Hindu-Islam itu didirikan pada abad ke-17. Pembangunannya memakan waktu sekitar 20 tahun (1632-1653). Terletak di Agra, , negara bagian Uttar-Pradesh, India, 200 kilometer dari New Delhi. Agra berada di sisi Sungai Yamuna (Jumuna), dan sebagaimana kota-kota yang berada di tepi sungai besar, merupakan kota perdagangan dan industri.
Taj Mahal dibangun oleh Sultan Jehan atau Shah Jahan (1614-1666) sebagai persembahan cintanya kepada mendiang sang istri terkasih, Arjumand, yang selalu disebutnya Mumtaz Mahal (Istana Pilihan). Meskipun Mumtaz istri kedua (versi lain menyebutkan ia istri kelima), namun ia adalah istri kesayangan Sultan. Mumtaz meninggal dunia setelah melahirkan putra ke-14. Sultan sangat berduka-cita sepeninggalnya. Untuk mengenang dan mengabadikan rasa cintanya kepada Mumtaz, ia kemudian membangun monumen indah dan megah itu.
Keagungan Taj Mahal telah termasyhur ke seantero dunia. Ia menjadi salah satu objek wisata paling banyak dikunjungi di India. Kemegahannya menyimpan kisah cinta abadi sekaligus tragedi dalam banyak versi. John Shors adalah salah satu penulis yang tergoda dan terinspirasi untuk menuliskan sepotong kisah di balik keindahan bangunan mosuleum itu dalam bentuk novel (fiksi) sejarah bertajuk Beneath A Marble Sky: A Novel of The Taj Mahal (2004).
Dalam versi John Shors, dipaparkan bukan saja ihwal cinta abadi Sultan dengan permaisurinya, namun juga asmara terlarang antara Jahanara, putri Sultan, dengan Ustad Isa, arsitek yang merancang Taj Mahal. Bahkan, John Shors lebih menonjolkan roman kedua anak muda tersebut dalam novel perdananya ini.
Perkenalan Jahanara dengan Isa bermula saat Sultan memerintahkan putrinya itu untuk mengawasi jalannya proyek pembangunan Taj Mahal. Kala itu Jahanara berstatus istri Khondamir, seorang suadagar perak, lelaki kasar yang tak pernah diimpikan Jahanara sebagai suami. Sebagai seorang putri sultan, ia harus mau melakoni nasib malangnya dijodohkan kepada lelaki yang bukan pilihannya demi sebuah alasan politis atau kepentingan kerajaan.
Sepanjang kehidupan perkimpoiannya, Jahanara menderita lahir batin. Khondamir suami yang bukan saja buruk rupa, tetapi juga kasar dan bebal. Tak setetespun kebahagiaan direguk Jahanara setelah menikah dengan Khondamir. Ia merindukan masa-masa remaja ketika ia masih berkumpul bersama-sama ayah, ibu, dan saudara-saudaranya di istana. Ia selalu ingin kabur dari suami dan rumahnya yang sekarang.
Hari kebebasan itu datang bersamaan dengan dimulainya pembangunan Taj Mahal. Di sini, Jahanara bukan saja menemukan kebebasan, tetapi juga cinta sejatinya: Isa. Asmara terlarang itu bersemi subur tanpa mampu dicegah oleh keduanya. Sultan yang sangat menyayangi putrinya pada akhirnya justru menjadi pendukung utama percintaan mereka. Restunya ini sebagai pembayar rasa bersalahnya karena telah mengawinkan Jahanara dengan Khondamir.
Seiring perjalanan cinta Jahanara dan Isa, Jhon Shors menghadirkan pula hiruk-pikuk kemelut kehidupan istana yang penuh intrik, pengkhianatan, dan peperangan. Sultan yang kian menua telah mempersiapkan Dara, putra sulungnya, sebagai pewaris di bawah bayang-bayang nafsu berkuasa Aurangzeb, adik Dara, yang telah lama mengincar takhta tersebut. Perseteruan kedua bersaudara itu merupakan sajian lain yang tak kalah menarik di novel ini.
Kisah-kisah di balik dinding istana selalu terasa memikat untuk digunjingkan. Di sana seolah-olah senantiasa tersedia skandal yang seru untuk diungkap ke hadapan panggung dunia Seakan-akan ada seribu misteri membalut kehidupan para bangsawan yang tinggal di baliknya yang menggelitik untuk diintip. Harta, takhta, dan kekuasaan sepertinya akrab dengan pengorbanan, tragedi, pengkhianatan, dan lumuran darah.
John Shors menyadari daya pukau itu; maka ia meramu, meracik, dan mengolah semua bahan tersebut menjadi hidangan kisah cinta romantis tragis dalam novel (fiksi) sejarah yang rencananya akan pula segera diangkat ke layar lebar ini.
Dalam narasi yang disuarakan oleh Jahanara, novel Taj Mahal ini tampil melankolis dan mendayu-dayu. Berlatar belakang kerajaan Islam abad ke-17 dengan aturan yang mengukung perempuan, Jahanara–dan bukan Mumtaz Mahal– menjadi karakter istimewa dalam buku ini dengan segala kecerdasan dan keberaniannya. Keberanian seorang perempuan yang melampaui ukuran zamannya. Ia muncul sebagai sosok utama yang menghidupi cerita.
Pada versi lain disebutkan, bahwa setelah pengerjaan Taj Mahal selesai, Sultan Jahan kemudian memenggal kepala arsiteknya, Isa, agar tak ada lagi karya yang mampu dihasilkan menyamai kemegahan Taj Mahal. Konon, dengan kejam ia juga memerintahkan untuk memotong tangan setiap pekerja–sejumlah tidak kurang dari 20 ribu orang, terdiri dari tukang batu, tukang kayu, pamahat, dan seniman ukir–yang terlibat.
Setelah lebih 3 abad berselang, Taj Mahal masih berdiri anggun, meskipun menurut hasil penelitian,keempat menaranya mulai mengalami kemiringan yang mengkhawatirkan. Data terakhir menunjukkan, bahwa kemiringan itu telah mencapai 22 cm. Hal lain yang juga serius meminta perhatian adalah batu-batu pualam putihnya mulai menguning seiring berlalunya waktu dan musim yang silih berganti. Satu hari nanti barangkali Taj Mahal akan musnah dimakan usia; menyisakan kisah cinta abadi yang akan selalu dikenang dari generasi ke generasi.
Sumber: http://www.kaskus.us/
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar