I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebenarnyna radiasi matahari merupakan unsur yang sangat penting dalam bidang kehutanan. Pertama, cahaya merupakan sumber energi bagi tanaman hijau yang memalui proses fotosintesa diubah menjadi tenaga kimia. Kedua, radiasi memegang peranan penting sebagai sumber energi dalam proses evaporasi yang menentukan kebutuhan air tanaman.
Intensitas radiasi matahari akan berkurang oleh penyerapan dan pemantulan oleh atmosfer saat sebelum mencapai permukaan bumi. Ozon di atmosfer menyerap radiasi dengan panjang gelombang pendek (ultraviolet) sedangkan karbondioksida dan uap air menyerap sebagian radiasi dengan panjang gelombang yang lebih panjang (infra merah). Selain pengurangan radiasi bumi langsung (sorotan) oleh penyerapan tersebut, masih ada radiasi yang dipancarkan oleh molekul-molekul gas, debu, dan uap air dalam atmosfer.
Energi surya adalah energi yang dapat dengan mengubah energi panas surya (matahari) melalui peralatan tertentu menjadi sumber daya dalam bentuk lain. Energi surya menjadi salah satu sumber pembangkit daya selain air, uap, angin, biogas, batubara, dan minyak bumi. Teknik pemanfaatan energi surya mulai muncul pada tahun 1839, ditemukan oleh A.C. Becquerel. Ia menggunakan kristal silikon untuk mengkonversi radiasi matahari, namun sampai pada tahun 1955 metode itu belum banyak dikembangkan.
Pada tahun 1946 dilakukan perekaman spektrum radiasi matahari untuk yang pertama kali dari ketinggian di atas lapisan ozon. Pada tahun 1949 perekaman dilanjutkan untuk daerah panjang gelombang yang lebih pendek dari ketinggian 100 km. dari eksperimen-eksperimen tersebut diperoleh bahwa untuk daerah panjang gelombang di atas 2900 Angstrom suhu radiasi matahari antara 5500 sampai 6000 oK. Untuk daerah panjang gelombang hingga mencapai sekitar 5000oK.
Daerah yang menjadi lokasi reaksi nuklir kuat yang menghasilkan keluaran energi maha besar adalah matahari. Di tengahnya berada suatu daerah yang disebut zona radiasi, di mana energi ditransfer oleh radiasi dibanding oleh pemindahan gas/panas. Istilah bagian dalam matahari sering digunakan untuk meliputi keduanya zona pemindahan gas/panas dan radiasi.
Penyinaran atau isolasi adalah penerimaan energi matahari oleh permukaan bumi, bentuknya adalah sinar-sinar bergelombang pendek yang menerobos atmosfer. Sebelum mencapai permukaan bumi sebagian hilang karena absorbsi. Adapun yang berhasil sampai ke bumi kemudian dilepaskan pula melalui refleksi; ini terutama terjadi di kedua daerah kutub bumi dan di dataran-dataran salju serta perairan.
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengenalan Tentang Radiasi Surya
Pada prinsipnya unsur-unsur iklim seperti suhu udara dan curah hujan dikendalikan oleh keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Rata-rata jumlah radiasi yang diterima bumi seimbang dengan jumlah yang dipancarkan kembali ke atmosfer setelah digunakan untuk menguapkan air, memanaskan udara dan memanaskan permukaan tanah. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh keberadaan gas-gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O).
Gas-gas tersebut memiliki kemampuan menyerap radiasi balik atau radiasi gelombang panjang dari permukaan bumi, sehingga suhu atmosfer atau udara bumi meningkat. Karena kondisi ini sama dengan kondisi di dalam rumah kaca maka gas-gas tersebut disebut gas rumah kaca (GRK) dan akibat yang ditimbulkan disebut efek rumah kaca. Tanpa GRK yang memiliki waktu tinggal (life time) yang panjang, suhu bumi diperkirakan mencapai 34 oC lebih dingin dari yang kita alami sekarang.
Masalahnya adalah bahwa konsentrasi GRK saat ini sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer sebagai akibat kegiatan manusia (anthropogenic) dalam hal konsumsi bahan bakar fosil (BBF) sejak revolusi industri pada pertengahan tahun 1880an dan aligguna lahan. Walaupun pada dekade terakhir ini emisi CH4 mengalami penurunan hingga 22 juta Mg th-1 dari 37 juta Mg th-1 pada dekade terdahulu, dan emisi N2O juga menurun sedikit dari 3,9 menjadi 3,8 juta Mg th-1, tetapi emisi CO2 meningkat lebih dari dua kali lipat dari 1400 juta Mg th-1 menjadi 2900 juta Mg th-1 dalam dekade yang sama.
Radiasi Matahari adalah pancaran energi yang berasal dari proses thermonuklir yang terjadi di Matahari. Energi radiasi Matahari berbentuk sinar dan gelombang elektromagnetik. Spektrum radiasi Matahari sendiri terdiri dari dua yaitu, sinar bergelombang pendek dan sinar bergelombang panjang. Sinar yang termasuk gelombang pendek adalah sinar x, sinar gamma, sinar ultra violet, sedangkan sinar gelombang panjang adalah sinar infra merah.
Jumlah total radiasi yang diterima di permukaan bumi tergantung 4 (empat) faktor, yaitu:
1. Jarak Matahari
Setiap perubahan jarak bumi dan Matahari menimbulkan variasi terhadap penerimaan energi Matahari.
2. Intensitas radiasi
Matahari yaitu besar kecilnya sudut datang sinar Matahari pada permukaan bumi. Jumlah yang diterima berbanding lurus dengan sudut besarnya sudut datang. Sinar dengan sudut datang yang miring kurang memberikan energi pada permukaan bumi disebabkan karena energinya tersebar pada permukaan yang luas dan juga karena sinar tersebut harus menempuh lapisan atmosphir yang lebih jauh ketimbang jika sinar dengan sudut datang yang tegak lurus.
3. Panjang hari (sun duration), yaitu jarak dan lamanya antara Matahari terbit dan Matahari terbenam.
4. Pengaruh atmosfer
Sinar yang melalui atmosfer sebagian akan diadsorbsi oleh gas-gas, debu dan uap air, dipantulkan kembali, dipancarkan dan sisanya diteruskan ke permukaan bumi.selain itu, radiasi matahari bisa menangkal black hole yang bisa memerangkap cahaya.
Radiasi juga merupakan suatu istilah yang berlaku untuk banyak proses yang melibatkan pindahan tenaga oleh gejala gelombang elektromagnetik. Gaya radiatif pemindahan kalor dalam dua pengakuan penting dari yang memimpin dan konvektif gaya (1) tidak ada medium diperlukan dan (2) pindahan tenaga adalah sebanding kepada kuasa ke lima atau keempat dari temperatur menyangkut badan melibatkan (Pitts and Sissom, 2001).
Ketika kita menyebut iklim dan cuaca sebagian besar ditentukan oleh rejim embun dan temperatur. Sehingga untuk memahami bagaimana rejim ini dibagi-bagikan di atas muka bumi diperlukan untuk menguji anggaran embun dan panas di bawah yang mana sistem atmosfer bumi harus beroperasi (Petterssen, 1997). Hukum penyinaran dasar menekankan bahwa ketika mempertimbangkan radiasi dalam sistem iklim adalah menguntungkan untuk menggunakan dua rejim radiasi yang beda: radiasi gelombang pendek (matahari) yang dipancarkan oleh bumi dan atmosfernya.
Penyinaran yang berasal dari sumber yang ada diluar tubuh dan tidak melekat kita sebut sebagai penyinaran-luar. Apabila sumber penyinaran ada di dalam tubuh, tersebar dalam jaringan, penyinaran kita sebut sebagai penyinaran-dalam. Dengan demikian teknik proteksi radiasi juga akan kita bagi menjadi dua, yaitu teknik proteksi radiasi penyinaran-luar dan teknik proteksi radiasi penyinaran-dalam. (Wiryosimin, 1998).
Ada tiga macam cara radiasi matahari/surya sampai ke permukaan bumi yaitu:
a. Radiasi langsung (Bearn/Direct Radiation)
a. Radiasi langsung (Bearn/Direct Radiation)
Adalah radiasi yang mencapai bumi tanpa perubahan arah atau radiasi yang diterima oleh bumi dalam arah sejajar sinar datang.
b. Radiasi hambur (Diffuse Radiation)
Adalah radiasi yang mengalami perubahan akibat pemantulan dan penghamburan.
c. Radiasi total (Global Radiation)
Adalah penjumlahan radiasi langsung dan radiasi hambur. (wikipedia, 2011).
Cahaya difusi semakin penting bilamana cahaya matahari berkurang baik oleh penghalang yang nyata (awan, daun, dan lain-lain) atau oleh karena penghamburan partikel-partikel atau molekul-molekul di atmosfer. Penghamburan cahaya dipengaruhi oleh kerapatan partikel-partikel tersebut, dan juuga oleh panjang celah cahaya matahari langsung yang melalui atmosfer, keduanya meningkatkan kemungkinan terjadinya penghamburan. Partikel-partikel seperti partikel debu dan asap, dan molekul-molekul seperti uap air, menyebabkan penghamburan yang berbanding terbalik dengan panjang gelombang;fungsi tenaga dari hubungan ini tergantung pada ukuran partikel, tetapi pengaruh netonya mengurangi kandungan cahaya difusi (Fitter dan Hay, 1991).
Distribusi radiasi surya yang tidak merata di muka bumi adalah penyebab utama timbulnya cuaca dan iklim. Tidak saja distribusi energi surya itu yang mengandalkan iklim, tetapi energi surya itu sendiri merupakan suatu unsur vital iklim. Energi itu secara langsung bertanggung jawab atas berlangsungnya proses fotosintesis; periode siang dan malam yang panjangnya bervariasi mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan tanaman. Energi surya juga penting pengaruhnya dalam evapotranspirasi (pelepasan air) dan terhadap jumlah kebutuhan tanaman akan air (Trewartha dan Horn, 1999).
Permukaan yang bersifat seperti benda hitam tidak akan memantulkan cahaya radiasi yang diterimanya, oleh karena itu kita sebut sebagai penyerap paling baik atau permukaan hitam. Jadi permukaan yang tidak memantulkan radiasi akan akan terlihat hitam oleh kita karena tidak ada sinar radiasi yang dipantulkan mengenai mata kita (Koestoer, 2003).
Pengaruh sinar matahari terhadap tanah dan tanaman menurut Kartasapoetra (1988) adalah:
· Terhadap tanah: menaikkan suhu permukaan dan mendorong terjadinya penguapan-penguapan
· Terhadap tanaman: mengatur fotosintesis dan mendorong terjadinya penguapan-penguapan.
Alat ukur radiasi memegang peranan yang sangat penting dalam setiap kegiatan yang memanfaatkan radiasi. Dengan alat ini setiap pekerja dapat mengetahui tingkat radiasi di tempat kerja dan dapat mengambil tindakan yang paling tepat untuk menghindari terjadinya penerimaan dosis yang berlebihan. Meskipun dalam setiap pengukuran radiasi hanya mengandalkan pada hasil pembacaan alat, namun sebagai pekerja radiasi tidak boleh begitu saja percaya terhadap informasi hasil pengukuran yang diberikan oleh alat ukur (Akhadi, 1997).
2.2 Neraca Radiasi
Kembali ke atmosfer dalam bentuk radiasi gelombang pendek maupun gelombang panjang. Jumlah radiasi netto yang diterima/diserap oleh permukaan kemudian digunakan sebagai energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke dalam tanah (soil heat flux) (G), energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (sensible heat flux) (H), energi untuk evapotranspirasi (LE), dan sisanya digunakan untuk metabolisme mahluk hidup. Hal inilah yang sering disebut sebagai konsep neraca energi permukaan.
Terkait dengan kekeringan, konsep neraca energi sering digunakan untuk identifikasi kekeringan suatu wilayah dengan menggunakan indek bowen ratio maupun evaporative fraction (EF). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi neraca energi di beberapa penggunaan lahan, sehingga dapat diketahui di penggunaan lahan mana yang memiliki potensi kekeringan lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data LANDSAT TM bulan September tahun 2002. Metode yang digunakan adalah menurunkan parameter-parameter yang digunakan dalam perhitungan neraca energi seperti suhu permukaan dan albedo permukaan dengan data LANDSAT TM, sedang unsur-unsur lainnya seperti suhu udara dan radiasi surya digunakan pendugaan. Ekstraksi komponen neraca energi, bowen ratio, dan evaporative fraction di beberapa penggunaan lahan juga dilakukan dan kemudian dibuat analisa boxplot dan uji beda nilai tengah untuk melihat perbedaan setiap komponen di beberapa penggunaan lahan. Dalam penelitian ini dihasilkan model pendugaan suhu udara dengan data satelit, konstanta tahanan aerodinamik untuk penggunaan lahan dengan dominasi air, vegetasi, dan tanah, perbedaan setiap komponen neraca energi, bowen ratio, dan evaporative fraction di beberapa penggunaan lahan.
Nilai energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (sensible heat flux)(H) di perkotaan dan industri memiliki nilai yang tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Hal ini menggungkapkan bahwa energi panas terasa di wilayah tersebut lebih tinggi dan menyebabkan suhu udara akan tinggi, sehingga tingkat kenyamanan akan rendah. Berdasarkan bowen ratio dan evaporative fraction di penggunaan lahan perkotaan, sawah fase bera, dan industri memiliki potensi kekeringan lebih tinggi jika dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya.
Neraca radiasi secara global dibagi 2, yaitu:
1. Radiasi gelombang pendek (Neraca Radiasi Matahari)
Neraca Radiasi Matahari: 100% (insolasi: incoming solar radiation) hanya 46% yang sampai secara langsung ke permukaan bumi, 6% dipantulkan permukaan, 19% diserap udara (uap air, debu dan ozon), 4% diserap awan, 17% dipantulkan awan dan 8% dipantulkan oleh udara (bagian kiri gambar)
2. Radiasi gelombang panjang (Neraca Radiasi Bumi)
Neraca Radiasi Bumi, bumi memancarkan radiasi dalam bentuk gelombang panjang 115% radiasi yang keluar dari bumi (outgoing radiation) diserap 106% oleh awan, uap air, CO2 dan O3 dan dikembalikan ke bumi 100%, hilang ke angkasa 9% secara langsung, emisi dari uap air, CO2 dan O3 sebesar 40%, emisi dari awan 20%.
Dari penjelasan neraca radiasi MTH DAN BUMI, permukaan mengalami surplus sebanyak 31% dari energi radiasi (+46–115+100) sedangkan atmosfer defisit sebesar 31% (+23+106-100-60). Bumi mentransfer surplus 31% energi radiasi ke atmosfer dalam dua bentuk:
1. Panas terasa (sensible heat) sebesar 7%
2. Panas tersembunyi (latent heat) sebesar 24%
Sumber energi utama untuk semua proses fisik di permukaan adalah radiasi matahari. Neraca radiasi tidak lain adalah pernyataan dari hukum kekekalan energi. Dalam hal ini radiasi neto, tidak lain adalah merupakan energi yang tersedia untuk semua proses-proses fisik yang berlangsung di permukaan. Proses-proses itu adalah: pemanasan udara, penguapan air, pemanasan permukaan (tanah), dan pemanfaatan energi oleh organisme melalui proses fisiologis.
Fenomena penyusutan radiasi sinar matahari, atau lebih dikenal dengan sebut Global Dimming, telah menjadi perbincangan hangat kalangan ilmuwan dunia dewasa ini, akibat dampaknya yang sangat luas terhadap perubahan iklim global. Ratusan alat ukur radiometer yang dipasang di benua Antartika (kutub selatan) dan Artika (kutub utara) mencatat penurunan intensitas radiasi matahari yang diterima bumi sebesar 10% dari akhir tahun 1950 sampai dengan awal 1990, atau sekitar 2 – 3% untuk setiap dekade. Bahkan untuk beberapa wilayah Asia, Amerika Serikat dan Eropa, dimana industri berkembang sangat pesat, terjadi penurunan dalam jumlah yang lebih besar, seperti halnya Hongkong: 37%. (The New York Time, 13 Mei, 2004).
Fenomena ini telah menjadi perhatian publik dunia, meskipun pada awalnya tidak ada peneliti yang percaya akan hal tersebut, ketika pertama kali dilaporkan Atsumu Ohmura dari Institut Teknologi Federal Swiss pada tahun 1985 (Science: 15 November 2002, 298, 1410-1411; The Guardian, 18 Desember 2003).
Berbeda dengan isu pemanasan global (global warming) yang telah diketahui penyebabnya, yaitu meningkatnya kandungan karbon dioksida (CO2) di atmosfer sebagai akibat tingginya konsumsi bahan bakar minyak, batubara dan gas alam lainnya yang menahan radiasi matahari dan menyebabkan pemanasan temperatur bumi, maka fenomena global dimming masih dalam tahap awal studi dan belum banyak dipahami para ahli.
Teori yang berkembang menjelaskan sinar matahari dapat membawa jelaga partikel (dalam bentuk aerosol dan sejenisnya) kembali ke angkasa. Polusi yang terjadi di atmosfer menyebabkan peningkatan proses kondensasi pada tetes air (droplet) di udara, menjadi awan tebal yang lebih gelap dan dapat menahan serta mengurangi intensitas transmisi sinar matahari (dimming)mencapai permukaan bumi.
Hasil penelitian melihat pengaruh awan terhadap keseimbangan neraca energi global menunjukkan terjadi peningkatan albedo (perbedaan radiasi matahari yang dipantulkan dan yang diterima bumi) dari 15% menjadi 30%. Kuantitas yang sama dengan energi hilang sebesar 50 W/m2. Awan mengurangi emisi sinar infra merah sebesar 30 W/m2, sehingga pengaruh awan dalam sistem neraca keseimbangan global telah menyebabkan kehilangan energi sebesar 20 W/m2. Bandingkan kuantitas tersebut dengan pengaruh efek rumah kaca (green house effect) yang memicu pemanasan global sebesar 4 W/m2, meskipun diberikan penambahan kandungan CO2 di atmosfer dua kali lebih besar dari kondisi saat ini (Intergovernmental Panel on Climate Change, 2001).
Neraca Energi pada Permukaan Bumi Neraca energi pada suatu permukaan bumi ; Qn = Qs + Ql - Qs’ – Ql’ Qn : radiasi neto (Wm-2) Qs dan Qs; : radiasi matahari yang datang dan ke luar (Wm-2) Ql dan Ql’ : radiasi gelombang panjang yang datang dan ke luar n(Wm-2). Albedo merupakan nisbah antara radiasi gelombang pendek (radiasi matahari) yang dipantulkan dengan yang datang pada suatu permukaan.
Neraca Energi nQn = H + λ E + G + P Malam hari; Radiasi matahari (Qs) = 0, Radiasi neto (Qn) < n0. Qn < 0 maka akan terjadi pendinginan (- H dan n– G) Siang hari; Qs > Ql dan Qn > n0 Qn > 0 digunakan untuk (1) memanaskan udara (+H), (2) penguapan (λ E ), pemanasan lautan/tanah (+G) dan < 5% untuk fotosintesis.
2.3 Ekosistem Hutan
Ekosistem adalah suatu sistem di alam yang mengandung komponen hayati (organisme} dan komponen non-hayati (abiotik), dimana antara kedua komponen tersebut terjadi hubungan timbal balik untuk mempertukarkan zat-zat yang perlu untuk mempertahankan kehidupan.
Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohonan dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Didalam suatu hutan, hubungan antara tumbuh-tumbuhan, margasatwa, dan alam lingkungannya demikianeratnya, sehingga hutan dipandang sebagaisuatu sistem ekologi atau ekosistem. Ekologi Hutan adalah cabang ekologi yang khusus mempelajari masyarakat atau ekosistem hutan, keadaan tempat tumbuh terhadap komposisi, struktur dan produktivitas hutan.
Ekologi adalah kajian mengenai interaksi timbal-balik jasad individu, di antara dan di dalam populasi spesies yang sama, atau di antara komunitas populasi yag berbeda-beda dan berbagai faktor non hidup (abiotik) yang banyak jumlahnya yang merupakan lingkungan yang efektif tempat hidup jasad, populasi atau komunitas itu. Lingkungan efektif itu mencakup kesemberautan pada interaksi antara jasad hidup itu sendiri. Kaji ekologi itu memungkinkan kita memahami komunitas itu secara keseluruhan. Guna memastikan kenyataan ini, perlu kiranya diadakan berbagai percobaan di lapangan, di laboratorium atau di kedua lingkungan itu sekaligus (Ewusie, 1990).
Dalam ekologi hutan baik pengetahuan autekologi maupun sinekologi bersama-sama diperlukan, karena kita memerlukan pengetahuan tentang sifat-sifat berbagai jenis pohon yang membentuk hutan dan pengetahuan tentang hutan sebagai suatu ekosistem.
Makhluk hidup dalam perkembangan dan pertumbuhannya tidak dapat hidup sendiri, selalu memerlukan makhluk lainnya dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Antara makhluk yang satu dengan makhluk yang lain selalu berhubungan dan mengadakan kontak yang saling menguntungkan. Tetapi ada juga sebagian kecil mahkluk hidup yang selalu merugikan makhluk lain, biasanya makhluk ini disebut dengan parasit.
Adapun ekologi sendiri mencakup suatu keterkaitan antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi, sepeti tumbuhan dan sinar matahari, tanah dengan air, yang pada umumnya dikatakan sebagai hukum alam yang berimbang dan biasa disebut ekosisitem. Komponen-komponen dalam ekosistem telah dikelolah oleh alam dan mereka saling berinteraksi. Ada komponen yang bersifat netral, bekerjasama, menyesuaikan diri, bertentangan bahkan saling menguasai. Akan tetapi pada akhirnya antara kekuatan-kekuatan tersebut terjadi keseimbangan (Arief, 1994).
Satu ciri mendasar pada ekosistem adalah bahwa ekosistem itu bukahlah suatu sistem yang tertutup, tetapi terbuka dan daripadanya energi dan zat terus-menerus keluar dan digantikan agar sistem itu terus berjalan. Sejauh yang berkenaan dengan struktur, ekosistem secara khas mempunyai tiga komponen biologi, yaitu; produsen (jasad autotrof) atau tumbuhan hijau yang mampu menambat energi cahaya; hewan (jasad heterotrof) atau kosumen makro yang menggunakan bahan organik; dan pengurai, yang terdiri dari jasad renik yang menguraikan bahan organik dan membebaskan zat hara terlarut (Ewusie, 1990).
*Disarikan dari Laporan Praktikum Ekologi Hutan
Perubahan ekosistem ada yang sifatnya lokal, regional maupun global. Bila bio-indikator dan bio-monitoring menunjukan perubahan ekosistem secara global, para ahli secara lintas disiplin bisa saling memperingatkan adanya ancaman bahaya. Setelah itu bisa dirundingkan langkah-langkah pencegahannya. Bahkan rekomendasi para pakar, bisa dijadikan acuan bagi tindakan internasional. Kini semakin disadari, perubahan lingkungan sekecil apapun, pasti menimbulkan dampak terhadap makhluk hidup di habitat tsb. Berbagai parameter atau faktor penyebab perubahan dapat dilacak, dengan memperhatikan bio-indikator lokal maupun global. Akan tetapi walaupun alam sudah memberikan peringatan, seringkali manusia tidak memperdulikannya. Sebab seringkali perubahan yang merugikan, adalah produk sampingan dari aktifitas manusia juga.
2.4 Hubungan Ekosistem Hutan dengan Neraca Radiasi
Hutan merupakan sumber daya alam yang merupakan suatu ekosistem, di dalam ekosisitem ini, terjadi hubungan timbal balik antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan tempat tumbuh dari tumbuhan merupakan suatu sistem yang kompleks, dimana berbagai faktor saling beinteraksi dan saling berpengaruh terhadap masyarakat tumbuh-tumbuhan. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan suatu respon tumbuhan terhadap faktor lingkungan dimana tumbuhan tersebut akan memberikan respon menurut batas toleransi yang dimilikinya terhadap faktor-faktor lingkungan tersebut (Indriyanto, 2006).
Menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominansi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan merupakan penyanggah ekosistem di muka bumi ini, hal ini sangat erat kaitannya dengan Pemanasan global yang sedang menjadi isu sentral di wacana lingkungan dunia. Kurangnya hutan menyebabkan peningkatan suhu permukaan beberapa derajat per tahun sebagai dampak naiknya permukaan air laut beberapa centimeter. Kenaikan ini dipicu oleh mencairnya es di kutub utara dan selatan, yang diakibatkan oleh pemanasan global.
Perubahan iklim global pada dekade terakhir ini terjadi karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama karbondioksida (CO2). Indonesia sebagai negara penyumbang CO terbesar ketiga di dunia dengan emisi CO rata-rata per tahun 3000 Mt atau berarti telah menyumbangkan sekitar 10% dari total emisi CO di dunia (Seputar Indonesia, 24 Maret 2007). Meningkatnya konsentrasi CO disebabkan oleh pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain pembakaran hutan dalam skala luas secara bersamaan dan pengeringan lahan gambut untuk pembukaan lahan-lahan(Hairiah dan Rahayu, 2007). Pemanasan global adalah salah satu isu lingkungan penting yang saat ini menjadi perhatian berbagai pihak. Akibat yang ditimbulkan pemanasan global antara lain meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi yang disebabkan oleh kegiatan industri dan semakin berkurangnya penutupan lahan khususnya hutan akibat laju degradasi akhir-akhir ini.
Poerwowidodo (1990) mengatakan bahwa Hutan Tanaman Industri bertujuan untuk menanggulangi masalah seperti: (a) Menurunnya kondisi kelestarian sumberdaya hutan khususnya hutan produksi; (b) Menciutnya hutan produksi akibat kebutuhan lahan hutan oleh sektor lain makin tinggi; (c) Kekurangan bahan baku akibat semakin berkembangnya industri; serta (d) Kenaikan total kebutuhan hasil hutan, akibat pertumbuhan penduduk.
Sementara menurut Departemen Kehutanan (2009), tujuan pembangunan Hutan Tanaman Industri adalah meningkatkan produktifitas hutan/lahan dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku industri perkayuan dan penyediaan lapangan usaha (pertumbuhan ekonomi/pro-growth), penyediaan lapangan kerja (pro-job) terutama tenaga kerja yang tidak terampil (labo intensive), pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan/lahan (pro-poor), perbaikan kualitas lingkungan hidup (pro-enviroment) dan juga membuka isolasi daerah-daerah pedalaman yang sangat diperlukan dalam pembangunan ekonomi indonesia.
Eukaliptus (Eukaliptus hybrid) Menurut tatanannya taksonomi dari E. hybrid mempunyai sistematika sebagai berikut: Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Class : Dycotyledone Ordo : Myrtiflorae Famili : Myrtaceae Genus : Eucalyptus Species : Eucalyptus grandis x Eucalyptus urophylla (Eucalyptus hybrid) Eukaliptus merupakan salah satu jenis tanaman yang dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman Industri. Kayu Eukaliptus digunakan antara lain untuk bangunan di bawah atap, kusen pintu dan jendela, kayu lapis, bahan pembungkus korek api, pulp dan kayu bakar. Daun dan cabang beberapa eukaliptus menghasilkan minyak atsiri yang merupakan produk penting untuk farmasi, misalnya untuk obat gosok atau obat batuk, farfum, sabun, detergen, disinfektan dan pestisida. Beberapa jenis digunakan untuk kegiatan reboisasi (Sutisna dkk, 1998).
Tumbuhan Bawah dan Serasah
Vegetasi merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan dalam arti luasnya. Pada umumnya, tumbuhan terdiri dari beberapa golongan antara lain pohon yaitu berupa tegakan dengan ciri-ciri tertentu. Kemudian dapat diketemukan semak belukar dan lain-lain tergantung dari ekosistem yang diamati. Tumbuhan bawah merupakan tumbuhan yang termasuk bukan tegakan atau pohon namun berada di bawah tegakan atau pohon (Odum, 1993).
Menurut Sutaryo (2009) menyatakan bahwa tumbuhan bawah merupakan tumbuhan bukan pohon yang tumbuh di lantai hutan, misalnya rumput, herba dan semak belukar atau liana. Tumbuhan bawah berfungsi sebagai penutup tanah yang menjaga kelembaban sehingga proses dekomposisi yang cepat dapat menyediakan unsur hara untuk tanaman pokok. Di sini, siklus hara dapat berlangsung sempurna, guguran yang jatuh sebagai serasah akan dikembalikan lagi ke pohon dalam bentuk unsur hara yang seperti diketahui akan diuraiakan oleh bakteri. Serasah adalah kumpulan bahan organik di lantai hutan yang belum atau sedikit terdekomposisi. Bentuk asalnya masih bias dikenali atau masih bias mempertahankan bentuk aslinya (belum hancur). Serasah memiliki peran penting karena merupakan sumber humus, yaitu lapisan tanah teratas yang subur.
Serasah merupakan bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-rantingnya yang terletak dipermukaan tanah serta tumbuhan yang telah mati. Serasah juga menjadi rumah dari serangga dan berbagai mikroorganisme lain. Uniknya, para penghuni justru memakan serasah, rumah mereka itu; menghancurkannya dengan bantuan air dan suhu udara sehingga tanah humus terbentuk. Di bawah lantai hutan, kita dapat melihat akar semua tetumbuhan, baik besar maupun kecil, dalam berbagai bentuk. Sampai kedalaman tertentu, kita juga dapat menemukan tempat tinggal beberapa jenis binatang, seperti serangga, ular, kelinci, dan binatang pengerat lain (Sutaryo, 2009).
Karbon Hutan Carbon sink adalah istilah yang kerap digunakan di bidang perubahan iklim. Istilah ini berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan (reservoir) karbon. Emisi karbon ini umumnya dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil pada sektor industri, transportasi dan rumah tangga (Junaidi, 2009). Pada ekosistem daratan, C tersimpan dalam 3 komponen pokok menurut Hairiah, et al., 2001 yaitu:
· Biomasa: masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim
· Nekromasa: masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), atau telah tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun- daun gugur (seresah) yang belum terlapuk.
· Bahan organik tanah: sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm.
Berdasarkan keberadaannya di alam, ketiga komponen C tersebut dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:
· Karbon di atas permukaan tanah, meliputi: Biomasa pohon. Proporsi terbesar penyimpanan C di daratan umumnya terdapat pada komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran, biomasa pohon dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan alometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang. Biomasa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma. Estimasi biomasa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian tanaman (melibatkan perusakan). Nekromasa, Batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah, yang merupakan kompone penting dari C dan harus diukur pula agar diperoleh estimasi penyimpanan C yang akurat. Seresah, Seresah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah.
· Karbon di dalam tanah, meliputi: Biomasa akar. Akar mentransfer C dalam jumlah besar langsung ke dalam tanah, dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama. Pada tanah hutan biomasa akar lebih didominasi oleh akar-akar besar (diameter >2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar halus yang lebih pendek daur hidupnya.
Siklus Karbon merupakan proses penyerapan dan emisi karbon, yang hasil akhirnya adalah akumulasi atau stok karbon di tegakan atau hutan. Neraca Karbon akan menggambarkan perubahan stok karbon dari waktu ke waktu di dalam ekosistem hutan tersebut di dalam suatu ruang (Bahruni, 2010).
Siklus karbon pada ekosistem hutan menyangkut proses penyerapan dan emisi karbon ke atmosfer. Proses ini dipengaruhi oleh beberapa faktor atau kondisi yaitu :
1. Kondisi vegetasi yang meliputi jenis atau tipe vegetasi atau hutan;
2. Kondisi tempat tumbuh dan lingkungan yang meliputi faktor edafis, klimatis dan faktor hayati lainnya;
3. Kondisi pengelolaan yang meliputi pengaturan ruang (tata ruang), penentuan peruntukan/penggunaan lahan dan hutan;
4. Kondisi gangguan seperti perubahan lingkungan, kemarau, ledakan gangguan hama dan penyakit, gangguan perbuatan manusia seperti pembakaran, eksploitasi tidak terkelola dengan baik dan lain-lain (Bahruni, 2010).
Pembahasan tentang stok atau neraca karbon ekosistem hutan tidak terlepas dari pemahaman tentang siklus atau aliran karbon itu. Ekosistem memiliki empat komponen dasar yaitu a) substansi abiotik, b) produser (autotrophic), c) konsumer, d) dekomposer. Di dalam ekosistem (termasuk ekosistem hutan) terjadi proses pertukaran materi seperti air, unsur-unsur hara, ataupun bahan kimia, polutan dll, dan perubahan energi secara terus menerus, yang mempengaruhi kelangsungan ekosistem seperti tingkat produktivitas, integritas dan kelestariannya (Bahruni, 2010).
Siklus karbon pada ekosistem hutan menyangkut proses penyerapan dan emisi karbon ke atmosfer. Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap karbondioksida (CO2) dari udara dan mengubah zat ini menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Berbeda dengan hewan, tumbuhan membuat makanannya sendiri yang disebut dengan produktivitas primer yang terbagi atas produktivitas primer bersih dan produktivitas primer kotor (Heddy, dkk., 1986).
Neraca Sumber Daya Hutan adalah suatu informasi yang dapat menggambarkan cadangan sumber daya hutan, kehilangan dan penggunaan sumber daya hutan, sehingga pada waktu tertentu dapat diketahui kecenderungannya, apakah surplus atau defisit jika dibandingkan dengan waktu sebelumnya.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Radiasi Matahari adalah pancaran energi yang berasal dari proses thermonuklir yang terjadi di Matahari. Energi radiasi Matahari berbentuk sinar dan gelombang elektromagnetik. Spektrum radiasi Matahari sendiri terdiri dari dua yaitu, sinar bergelombang pendek dan sinar bergelombang panjang. Sinar yang termasuk gelombang pendek adalah sinar x, sinar gamma, sinar ultra violet, sedangkan sinar gelombang panjang adalah sinar infra merah. Jumlah total radiasi yang diterima di permukaan bumi tergantung 4 (empat) faktor, yaitu : Jarak Matahari, Intensitas radiasi Matahari, Panjang hari, dan Pengaruh atmosfer.
DAFTAR PUSTAKA
Usaha sendiri yah,..
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar