TRAGEDI TALANGSARI, KINI DAN DULU

Bookmark and Share

Tepat 24 tahun tragedi yang merenggut banyak korban terjadi di sebuah desa kecil yang sebagian penduduknya mengandalkan kehidupannya dari bercocok tanam. Selain padi, warga Talangsari selama berpuluh tahun menanam kopi robusta dan kakao. Namun, desa kecil itu pernah menggegerkan Indonesia pada 7 Februari 1989. Peristiwa yang menyisakan trauma bagi para korban yang menjadi saksi hidup hingga kini. Peristiwa berdarah di Talangsari Lampung 24 tahun lalu itu merupakan salah satu tragedi kemanusiaan yg terjadi selama pemerintah Orde Baru. Tragedi tersebut merupakan Lampung, dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila melalui UU No.3/1985 tentang parpol dan Golongan karya serta UU No 8/1985 tentang Ormas. Pemerintah tidak mentolelir setiap aktivitas yang dianggap bertentangan dan membahayakan Pancasila. Sejak itu pemerintah melalui aparat sipil/militer mencurigai dan melontarkan berbagai stigma terhadap aktivitas Jemaah Warsidi di Talangsari, Lampung. Situasi menjadi tidak menentu setelah pemerintah lebih mengedepankan pendekatan represif hingga meletuslah tragedi Talangsari pada tanggal 7 Februari 1989 oleh  pasukan ABRI yang dipimpin Kolonel AM Hendropriyono (Danrem Garuda Hitam Lampung).

Korban tragedi Talangsari yang saat ini masih hidup mengalami tekanan dan perampasan hak-haknya sebagai warga negara. Berbagai stigma negatif masih melekat pada warga Talangsari tentu mempengaruhi psikis dan tekanan batin yang sangat mendalam. Berbagai tindakan diskriminatif yang dilakukan pemerintah, diantaranya fasilitas listrik belum masuk ke wilayah tersebut padahal di sekitar wilayah/desa lain telah menerima aliran listrik, termasuk pembangunan infrastruktur jalan yang sengaja didiskriminasi, sehingga jalan di Desa Talangsari masih berupa jalan tanah jika musim hujan tiba jadilah jalanan yang berlumpur.
Proses Hukum
Peristiwa Talangsari, Lampung (7 Februari 1989) kini telah memasuki usia yang ke-24 tahun. Sejatinya sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan HAM melalui konstitusinya serta sesuai janji politik SBY, seharusnya bisa menyelesaikan peristiwa Talangsari dengan mengedepankan penegakan hukum sesuai dengan Undang-Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Namun pasca Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyerahkan berkas hasil penyelidikan kepada Jaksa Agung (23 Oktober 2008) hingga kini belum ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Padahal di dalam UU No 26/2000 telah dimandatkan kepada Komnas HAM sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk melalukan penyelidikan atas dugaan peristiwa Pelanggaran HAM berat dan Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut. Alasan yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung dalam beberapa kali pertemuan dengan korban adalah masih dalam penelitian dan kajian oleh Tim Direktorat Pelanggaran HAM berat, sehingga akses keadilan dan kepastian hukum bagi koran masih terhambat di tangan Jaksa Agung. Untuk mengatasi kebuntuan hukum yang selama ini terjadi, Komnas HAM dan Kejaksaan Agung perlu melakukan pertemuan yang intensif untuk mendiskusikan hambatan dan kendala yang dihadapi dalam memulai proses penyidikan. Dengan langkah keseriusan antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM tentu akan mampu menyelesaiakan proses hukum yang selama ini terkatung-katung.
Pemulihan Korban
Korban dan keluarga korban tragedi Talangsari tentu menyimpan duka yang sangat mendalam dan traumatik terlebih hak sebagai warga negara pun dibatasi oleh pemerintah dengan alasan yang tak rasional. Perlu adanya upaya yang harus dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk membahas akses pemulihan bagi korban dan keluarga korban tragedi Talangsari. Selain itu pihak-pihak lain seperti kepolisian harus melindungi keamanan terhadap korban sehingga tak ada lagi diskriminasi yang selama ini masih dirasakan. Berbagai upaya harus dilakukan oleh semua pihak agar stigma negatif yang melekat pada warga Talangsari perlahan hilang dan hak-hak sebagai warga negara Indonesia secara penuh dapat dirasakan oleh warga Talangsari tanpa ada lagi diskriminasi.
Pembangunan
Pemerintah Daerah (Provinsi Lampung dan Kabupaten Lampung Timur) dan DPRD Lampung harus berperan aktif dalam membangun Talangsari terutama dalam pemenuhan akses dasar warga  yang selama ini diabaikan seperti pembangunan infrastruktur jalan, akses listrik yang selama ini belum masuk ke wilayah tersebut dan kebutuhan akan air bersih. Harus ada komitmen dari semua pihak terutama pemerintah untuk tidak  mendiskriminasikan terhadap korban Talangsari dalam membangun daerah, semua warga diperlakukan secara setara dalam hal pembangunan.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar