Cerpen Remaja "Pangeran Dari kota"

Bookmark and Share
Daim tiap hari datang dengan segala ulahnya. Dan celakanya, Ibu dan Bapak amat senang menerimanya. Mungkin mereka mulai berpikir jauh.”
 
WAKTU mendengar kabar bahwa Bang Martin datang lagi ke desa ini, Rini gembira bukan main. Dalam angan-angannya, yang sengaja didramatisir, Rini membayangkan Bang Martin adalah pangeran berkuda yang menyelamatkannya dari tawanan penjahat yang keji. Ya, Bang Martin yang baik hati itu pasti mau menolong, atau paling tidak mau mendengarkan keluh-kesahnya. Ah, Abang yang pintar itu pasti mau memberinya jalan keluar, batin Rini penuh harap.

Pada suatu kesempatan, yang telah direncanakannya, Rini berhasil menemui Bang Martin di halaman Balai Desa.
“Bener, kan? Aku datang lagi, seperti janjiku tiga bulan yang lalu.” Bang Martin berteriak gembira begitu Rini berada di depannya.
Dan Rini meronta-ronta turun karena malu dan risih. Bang Martin mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi, seolah memperlakukannya sebagai seorang bocah.

“Nggak usah dibesar-besarkan, Bang. Ngaku aja, Abang kemari bukan lantaran janji, apalagi mau ketemu saya. Nggak mungkin Abang datang jauh-jauh dari Jakarta cuma buat menemui Rini.” Rini memberengut manja.
Bang Martin tertawa terbahak.

“Iya deh, iya! Abang emang masih ada urusan lagi disini. Masih ada data yang Abang perlukan, yang harus dikumpulin.”
“Masih urusan skripsi ya?”
“Apa lagi kalau bukan itu. Tinggal sedikit lagi, lalu ngetik, lalu ujian ...”
“Lalu insinyur pertanian yang lupa lagi pada desa ini. Apalagi cuma pada gadis dusun bernama Rini!” tukas Rini agak sengit.
Bang Martin tertawa lagi, lalu mencubit pipi Rini dengan gemas.

“Mana bisa lupa sama anak secantik kamu? Eh, sadar enggak sih, kamu? Dua atau tiga tahun lagi kamu bakal jadi kembang desa yang jadi rebutan cowok-cowok.”
Rini melengos, memerah pipinya.
“Abang masih lama disini? Menginap di rumah Pak Lurah seperti dulu?”
“Ya, tapi paling juga dua atau tiga hari. Waktunya udah mepet banget. Mesti buru-buru ngerampungin semuanya. Jadwal yang harus kupenuhi. Lagian, Abang nggak mau kelamaan jadi mahasiswa.”

“Ah, mahasiswa sepintar Abang ...” gumam Rini.
Rini tercenung sebentar. Ia teringat pada tiga bulan yang lalu, ketika untuk pertama kalinya Bang Martin datang ke desa ini. Ia adalah mahasiswa Fakultas Pertanian yang datang kemari demi skripsi yang tengah disusunnya. Desa ini adalah salah satu sample penelitiannya, disamping dua desa lain di Jawa Tengah dan di Lampung. Rini tak begitu mengerti lebih banyak. Otak SMP-nya belum cukup mampu memahami itu semua.

Yang Rini tahu, Bang Martin itu orangnya superbaik dan supel. Dulu, semasa hampir dua minggu tinggal disini, ia cepat sekali akrab dengan semua orang. Rasanya hampir tak ada seorang pun penduduk desa ini yang tidak kenal Bang Martin. Ia adalah pendatang kesayangan seisi desa.

Dulu, dalam dua minggu itu, Rini sangat akrab dengannya. Sering menemaninya jalan-jalan mengenal seluk-beluk desa. Dan pada waktu senggangnya, Rini dengan sukarela membantu menuliskan data-data yang telah dikumpulkan. Rini pernah pula mengajak Bang Martin ke Karang Taruna dan kemudian berhasil membujuknya agar membagikan kehandalannya bermain gitar kepada para anggota.

Entah mengapa waktu itu mereka menjadi cepat akrab. Mungkin karena Bang Martin suka pada kepolosan Rini, sedangkan Rini sendiri merasa banyak belajar dari kedewasaan Bang Martin.

“Nanti sore Abang mau datang ke rumah, kan?”
“Yap! Bahkan itu udah aku rencanain sejak berangkat dari Jakarta. Ada oleh-oleh kecil buat ibumu.”
Rini seperti tak mendengar ucapan itu. Katanya “Ada masalah kecil yang tengah Rini hadapi, Bang ...”
Bang Martin mengerenyitkan dahinya. “Masalah apa? Baru tiga bulan udah banyak kemajuan, ya? Pusing gara-gara pacar? Hayo! Kamu udah punya pacar?”
“Ah, Abang ini! Jangan punya prasangka begitu! Rini masih kecil dan... nggak laku.”
Bang Martin tertawa lepas. “Jadi, ada apa? Seserius apa masalah itu?”
“Pokoknya nanti sore Abang harus datang ke rumah!”
“Baiklah.”

***
IBU diam-diam memperhatikan dari jauh ketika Rini tengah mengusapkan bedak ke pipinya.
“Begitu seharusnya jadi anak perawan. Harus bisa dandan, bukannya sibuk manjat pohon belimbing!”
Rini tersipu.

“Daim mau datang lagi?”
“Mungkin,” jawab Rini ketus. “Tapi Rini dandan bukan buat dia!”
Rini tak ingin ibunya berprasangka yang bukan-bukan, apalagi terbuai dengan bayangan kosong.
“Bang Martin mau datang, Bu.”

“Ya, ibu sudah tahu. Dia pasti mampir kemari.”
Rini kecewa melihat reaksi ibunya cuma sebatas itu. Apakah tiga bulan telah membuat rasa simpati itu hilang? Atau karena kehadiran Daim? Dulu ibu selalu menggebu-gebu ketika menyambut kehadiran Bang Martin.

“Dia terlalu dewasa buatmu, Rin. Dan dia bukan berasal dari dunia kita ...”
Ucapan yang tiba-tiba itu menyentakkan Rini. “Ibu ini bicara apa?”
Ibu tidak menjawab dan berlalu meninggalkan Rini. Rini tercenung seorang diri. Sesaat kemudian terdengar lagi suara ibu dari luar:
“Siap-siap, Rin! Mungkin nanti Daim akan mengajakmu jalan-jalan!”

Rini mendengus kesal. Ah, ibu telah berpikir terlalu jauh. Banyak orang yang kini silau oleh penampilan Daim, termasuk ibu.
Selepas maghrib Bang Martin datang.

“Diminum tehnya, Bang ...” Rini menyodorkan secangkir teh pada Bang Martin untuk memecah kebisuan.
“Kamu punya masalah apa?” tanya Bang Martin setelah menyeruput teh hangatnya yang terlalu manis. “Sekolah kamu?”
Rini menggeleng.
“Pacar?”

Memerah pipi Rini. “Seorang laki-laki... eh, maksud Rini, seorang cowok. Maksudku... ia adalah Daim.”
“Daim, ya? Hmm, anak mana? Kalian saling suka tapi ...”

“Bang Martin jangan suka menebak-nebak lagi! Namanya Daim. Dulu Daim tinggal di desa ini, tepatnya di barat sana. Di tempat yang sekarang dijadikan bendungan itu. Enam tahun yang lalu, ketika proyek irigasi primer dimulai, tempat tinggal keluarga Daim harus tergusur. Tapi orangtuanya menolak ditransmigrasikan. Mereka memilih pergi merantau ke Jakarta.”

“Ya, banyak orang mencoba mengadu untung di Jakarta.” Bang Martin menganguk-angguk.
“Seminggu ini Daim dan keluarganya datang lagi kemari, karena ada saudaranya disini yang mau mantu.”
Bang Martin tertawa kecil. “Dan Daim kini sudah dewasa, kan? Dan ia melihat kamu bukan lagi cewek ingusan, tapi sudah cantik dan ...”
“Abang!”
“Ibumu nggak setuju?”
“Mas ini!” Rini memberengut. “Daim tiap hari datang dengan segala ulahnya. Dan celakanya, ibu dan bapak amat senang menerimanya. Mungkin mereka mulai berpikir jauh.”
“Daim calon menantu yang ideal, kan?”
“Calon menantu apa! Rini masih kecil, Bang. Rini belum pernah mikir yang begituan!”
“Jadi?”
“Rini kehabisan akal untuk menghindarinya, sementara ibu dan bapak justru makin ... seperti kena pelet. Daim itu ... apa ya ...? Agresif? Pokoknya norak gitu loooh!”
“Ngotot?”
“Begitulah. Rini nggak suka gayanya. Tengil! Sok moderen dan mungkin malahan sudah malu kalau ketahuan dulunya anak dusun. Pakaiannya aneh, tapi katanya trendi. Katanya biar seperti selebriti. Oh, dia itu sombong sekali dan maunya selalu menonjolkan kehebatannya. Rini nggak suka cowok yang sombong!”
“Mungkin dia hanya ingin jujur dan apa adanya. Menjadi diri sendiri gitu looh.”
“Nggak gitu, Bang. Dia sengaja tampil hebat untuk mendapatkan hati bapak dan ibu.”
“Itu sih sah-sah aja, Rin. Sekarang Daim masih tinggal di Jakarta?”
“Ya. Konon, ortunya kini kaya-raya. Tiap pulang berlebaran mereka selalu naik mobil bagus yang berbeda. Bagi-bagi duit dan oleh-oleh buat semua orang kampung. Pamer kekayaan, ya?”

“Itu namanya murah hati,” kata Bang Martin bijak “Jangan berprasangka buruk.”
“Katanya dia sekarang kuliah di kedokteran dan sebentar lagi jadi dokter. Apa iya ada dokter eh, calon dokter yang kelakuannya seperti itu?”
“Seperti itu gimana?” Bang Martin menahan senyum.

“Tengil! Pokoknya tengil! Menurut Rini tetap saja itu namanya sombong dan ... agak urakan. Mungkin istilah paling tepat ya ... norak!”
“Norak gimana?”

“Lihat saja nanti. Sebentar lagi dia akan datang seperti kemarin-kemarin. Merayu saya. Rini nggak suka dirayu. Katanya Daim mau ngajarin Rini main sepatu roda. Aneh, kan? Mana bisa main sepatu roda disini? Di sini nggak ada jalan yang rata dan mulus. Tapi nyatanya Daim kemana-mana selalu bawa-bawa sepatu rodanya.
“Sepatu roda?” Bang Martin berusaha menahan tawa yang sulit terbendung.

“Daim bawa sepatu roda itu ke mana-mana, biar pun sadar nggak mungkin untuk memakainya disini. Paling banter dia cuma bisa muter-muter di tempat perjemuran padi di rumahnya Pak Heru.”

Kini Bang Martin benar-benar tertawa. “Wah, dia itu benar-benar anak muda yang menyenangkan. Tapi ...”
“Nah, itu dia manusianya!” Tiba-tiba Rini memandang keluar dengan wajah memucat. “Tolong Rini, Bang. Bang Martin harus pura-pura jadi tunangan Rini!”
“Mana boleh begitu?” Bang Martin terbelalak.

“Rini hanya mau menghindarinya. Rini bosan dengan gangguannya.”
“Ah, sebentar lagi dia juga kembali ke Jakarta, kan?”
Rini berdiri dengan cepat. “Tapi kalau dia nekat melamar Rini? Aduh!” Rini cemas sekali.
Bang Martin memutar kepalanya dan memandang ke luar. Ada seorang cowok berjalan lincah memasuki pekarangan rumah. Cowok dengan jins dan jaket kulit imitasi yang hitam mengkilap. Dan tangan kanannya menenteng sepasang sepatu roda. Bukan sepatu roda biasa, melainkan Rollerblade yang justru sudah ketinggalan jaman.
Bang Martin memicingkan matanya. Memandang cowok itu dengan lebih seksama.
“Itu yang namanya Daim?”

“Iya, Bang. Sini! Abang duduknya di sebelah Rini!” Rini menggerak-gerakkan tangannya. Cemas.
Bang Martin berdiri. Tidak mendekati Rini tapi justru keluar menyambut kedatangan tamu itu.
“Heh?! Elo ini, Mar? Elo ada disini juga?” Bang Martin menghadang Daim.
Cowok itu, Daim, nampak amat sangat terkejut dan mendadak sekali wajahnya menjadi pucat seperti mayat.
“Bang Martin? Eh, kok ada Abang disini juga?”
“Busyet dah elo, Mar. Elo ternyata anak sini?”
“Anu, Bang ... eh, anu ... saya ... saya ...”
“Anumu kenapa? Tunggu. Mar! Elo ini sebenarnya siapa, sih? Nama elo Damar atau Daim?”
Damar alias Daim atau Daim alias Damar salah tingkah.

“Elo ini gimana, sih? Pantesan aja kemarin-kemarin gue nyari elo nggak ketemu. Nggak taunya mudik. Mar, eh ... Im? Mami nyari-nyari kamu. Maunya elo segera betulin genteng di belakang itu. Gudang itu! Lagian, kata Mami, elo udah terima panjernya, kan? Udah dapet de-pe, kan? Mami udah ngasih duit, kok kamu malah ngacir?”
Daim makin pucat.

“Kalo kerja yang bener dong, Mar! Elo udah terima duitnya, nggak mau kerjaannya. Gue tonjok hidung jelek elo!”
“Aduh, Bang ... sori ... soriiii!” Daim menutupi wajahnya.
“Sori-sori apaan! Belagu ya elo!”

“Bang Martin, saya udah nunjuk wakil saya, kok. Sumpah! Itu si Tono udah saya suruh datang ke rumah.”
“Tono? Tono siapa?”
“Itu anak pengkolan yang saban hari jadi joki three in one itu, Bang.”
“Masa bodoh! Minggu depan semua harus udah beres. Ntar keburu musim hujan, bisa berabe tuh gudang.”
“Iya, Bang... iyaaa...”

Bang Martin menggeleng-gelengkan kepala dan tak bisa menahan senyum. Sekarang barulah ia bisa melihat penampilan Daim seutuhnya. Daim mengenakan pelindung siku dan lutut komplet. Bahkan memakai helm!
“Eh, Mar... Busyet! Daim aja ngakunya Damar! Tunggu, sejak kapan elo masuk kuliah di kedokteran?”
Daim alias Damar menunduk, tak berani berkutik. Apalagi ketika dia melihat, di balik punggung Bang Martin, Rini tengah mendekap mulutnya yang tak bisa berhenti tertawa.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar