Lies terlihat bimbang untuk sesaat. Tiba-tiba ia sudah bergerak cepat, mendaratkan sebuah kecupan kecil di pipi Handri.
“Dari mana aja, Lies?” Bunda yang membukakan pintu, dengan wajah yang kusut karena terbangun dari tidur. Lies berkelit untuk menghindari benturan tubuh dengan ibunya. Bunda membuntutinya sambil merapikan rambutnya dengan jari-jarinya yang kecil.
“Sudah hampir jam dua belas. Dan sekali lagi kamu nggak nelepon dulu ke rumah.”
“Nggak sempet, Ma.”
“Nggak sempet, atau ...?” Bunda menghadang di depan Lies, dan sekali lagi Lies berkelit. “Emangnya nggak ada telepon di rumah Tia?”
“Tapi ...” Lies mulai terlihat cemas.
“Bukankah biasanya, kalo kamu nggak sempet, Tia yang nelepon ke rumah?”
“Tia juga nggak sempet. Kami ...”
“Sudahlah, Lies!” Bunda memotong. “Kamu tahu bahwa kebohongan itu nggak baik, kan? Kebohongan itu senantiasa beranak-pinak. Satu jadi banyak. Satu kebohongan akan melahirkan kebohongan-kebohongan yang lain.”
“Kok Bunda nuduh gitu, sih? Aku dan Tia ...”
“Tia nggak nelepon, tapi Bunda yang nelepon ke dia! Kamu sama sekali nggak ke rumah Tia!”
Lies menghempaskan tubuhnya ke atas sofa dengan putus asa. Wajah yang ditundukkan itu merona merah karena malu.
“Kenapa kamu membohongi Bunda lagi?” Bunda bertanya setelah selesai mencuci mukanya di wastafel.
Wajah itu tertunduk makin dalam, nyaris bersentuhan dengan lutut.
“Dengan Gerry lagi? Ke kafe lagi? Dugem?”
Lies bangkit, dan berlari menuju kamarnya. “Ijinkan kami, Bunda ...!”
Agak lama Bunda terpaku, menatap daun pintu kamar Lies yang kini tertutup, sebelum kemudian menghampirinya, menguakkannya dengan amat pelan.
“Mana sempat kamu mengerjakan PR-mu? Kamu pasti sudah ngantuk dan kelelahan.”
Lies tidak bereaksi kecuali membenamkan wajahnya makin dalam ke bantal.
Mama mendekat, menarik dan membalikkan wajah Lies dengan amat hati-hati, kemudian mengendus bibirnya.
“Aku nggak minum, Bundaaa!” Lies menjerit.
“Tapi Gerry? Kamu terpaksa memapahnya pulang hingga kamu pulang selarut ini?”
“Kenapa Bunda selalu berpikir buruk tentang Gerry? Malam ini Gerry menyanyi.”
“Tanpa mabuk terlebih dahulu?”
Lies diam. Sebentar kemudian bergumam, “Kalo aja Bunda mau mengerti tentang Gerry.”
“Salah! Bunda bukannya nggak mau mengerti, karena Bunda udah tahu banyak tentang pangeranmu itu! Kamu aja yang masih buta, membutakan diri!”
Lies benar-benar terisak. Bunda menarik kursi, mendekati tepi ranjang Lies.
“Tadi Handri kemari.”
Isakan itu tertahan sebentar.
“Hampir dua jam menemani Bunda.”
“Bunda pacaran aja sama dia!” Lies menukas kesal.
“Dia ngebawain cokelat kesukaanmu.” Bunda seolah tak peduli. “Bunda menaruhnya di kulkas.”
“Hhh, anak itu belum jera juga. Maunya apa, sih? Udah tau bertepuk sebelah tangan kok masih ngeyel juga!”
“Setumpuk buku bekas ditaruhnya di atas tumpukan koran.”
Ugh! Lies merasakan sebuah sodokan di dadanya. “Ah, anak itu memang pantang menyerah.”
Lies hampir saja menyerah seandainya gengsinya tidak lebih dulu menyeruak. Andai Bunda tidak sedang menyidangnya, ingin rasanya Lies berlari keluar, meneliti buku-buku yang itu. Siapa tahu ada satu atau dua buah yang selama ini diburunya. Ada sedikit kegembiraan di dada Lies kini. Rasanya obsesi itu kian mendekati kenyataan. Lies ingin bukunya segera bertambah makin banyak, agar segera pula pantas dipajang di bekas garasi itu. Impian untuk membuka perpustakaan gratis yang pasti bermanfaat buat anak-anak di lingkungannya itu akan segera terwujud. Lies selalu berpikir bahwa kecintaannya pada buku dan hobinya mengoleksi buku bisa lebih berfaedah bagi orang lain, terutama anak-anak.
“Masih sempat mengerjakan PR ...” Lies meraih sebuah bukunya yang semula tergolek di atas meja. Dipandangnya Bunda dengan tatapan “mengusir”.
Bunda keluar dari kamar dan menutup kembali pintu kamar Lies tanpa bersuara. Di ruang tengah, Bunda berdiri terpaku di bawah sebingkai foto yang tergantung di dinding. Lama tertegun hingga kemudian air mata yang sejak tadi ditahannya tak mampu lagi bertahan di sudut matanya.
Andai suami tercinta itu masih setia mendampinginya, tentulah Bunda tak akan pernah merasa lelah dan sendirian seperti ini. Juga Lies. Semua pasti akan berjalan lain jika Lies bukan anak semata wayang yang telah kehilangan ayah. Tapi takdir telah memisahkan mereka. Usia memang sepenuhnya ada pada kekuasaan Allah.
“Tentu aja dengan Gerry!” kata Lies cukup ketus.
“Ke kafe lagi?”
“Bunda! Seperti apa sih gambaran Bunda tentang kafe? Sebuah tempat yang dipenuhi orang mabuk dan para pengguna narkoba? Cobalah sekali-kali Bunda datang ke kafe.”
“Tapi masa lalu Gerry?” Bunda melotot. “Oke, kali ini Bunda mau! Bunda ikut ke kafe!”
Lies tersentak. Sama sekali tak diduganya ia akan mendengar kalimat seperti itu.
“Oh, no! Jangan malam ini. Malam ini cuma milik kami. Gerry udah bikin planning kencan khusus untuk ulang tahunku yang keenam belas ini.”
Ya, hari ini Lies genap berusia tujuh belas. Bunda sengaja tak menyiapkan sesuatu yang istimewa untuk merayakan ultah Lies, karena Lies sendiri jelas tak menginginkannya. Hanya sebuah doa dan kecupan di kening ketika Lies baru bangun tidur.
Lies mengagendakan sendiri perayaan ulang tahunnya bersama, siapa lagi kalau bukan, Gerry.
Kini Lies sudah tampil beda. Dengan gaun andalan yang tidak baru namun jarang dikenakannya. Lies tampil penuh keyakinan akan beroleh sederet pujian dari kekasihnya.
Seharian Lies sudah berhasil membujuk Bunda. Tak ada backstreet di hari ulang tahun. Restu penuh dari Bunda, meski katanya hanya untuk sekali ini.
“Jam sebelas kamu sudah harus tiba di rumah,” kata Bunda.
“Kencan ultah yang dibatasi waktu ...” desis Lies mewakili kekesalan hatinya.
“Komitmen kita, Lies ...”
Lies menengok ke jalan, berharap Gerry datang lebih awal. Sejak siang ia sudah berkali-kali menelepon Gerry dengan riang. Mengatakan bahwa kali ini mereka tidak bertemu di tempat rahasia seperti biasanya. Bunda mengijinkan Gerry menjemputnya di rumah.
Lies hanmpir melonjak girang ketika mobil itu menepi dan berhenti, tapi berikutnya ia merasa kecele.
“Anak itu!” jerit Lies kesal luar biasa.
Handri yang datang. Dengan senyum terkembang dan sebuah kotak yang dibawanya dengan amat hati-hati.
“Hai, Cantik!” sapa cowok itu riang.
Dan tanpa memedulikan raut wajah tak sedap itu, Handri meletakkan kotak berpita itu dan membukanya. Lies melirik dan mendapati sebuah kue tart berdiameter sekitar 18 cm telah tertata di atas meja.
Lilin berbentuk angka satu dan enam itu segera dinyalakan pula.
“Masih punya waktu beberapa detik untuk meniup lilin ulang tahunmu?”
Lies merasa kaku sekujur tubuhnya. Tapi ia tak punya pilihan lain. Sebuah senyum yang amat dipaksakan tergambar di wajahnya ketika ia melangkah menghampiri kue itu.
“Tart tanpa cokelat, meski aku tahu kamu paling suka sama cokelat. Bikinan mamaku sendiri. Resep rahasia Mama, mixed fruit tart, rasa buah-buahan yang amat segar dan menggugah selera,” kata Handri.
Lies meniup lilin seperti sebuah robot.
Handri dan Bunda mengiringi dengan lagu Selamat Ulang Tahun dan tepukan tangan.
Masih seperti robot pula Lies membuat potongan kecil kue tart itu dan mengulumnya. Sebuah keterkejutan hampir saja bisa terbaca oleh semua.
“Bikinan mamamu sendiri?”
“Dengan resep rahasia beliau.” Handri tersenyum bangga. “Ketika kuusulkan cokelat kesukaanmu, Mama ternyata mencibir. Katanya, kenapa hanya suka pada cokelat? Dunia ini toh bukan berisi cokelat melulu. Ada keju, ada buah, ada banyak pilihan lain yang boleh jadi jauh lebih lezat dan bermanfaat.”
“Bunda mengerti maksud mamamu,” Bunda memotong. “Kita nggak akan bisa tau enaknya buah-buahan kalo kita cuma makan cokelat dan cokelat terus.”
Lies mengerutkan keningnya. “Apakah ini sebuah skenario kecil yang sengaja telah dipersiapkan oleh mereka? Ada apa ini?”
Belum sempat batinnya menjawab, bunyi klakson yang cukup keras terdengar dari tepi jalan.
“Kue cokelatmu sudah nggak sabar, Lies. Begitu nggak sabarnya sampai-sampai untuk turun dan menyapa kita pun nggak sempat. Atau kamu bujuk dulu ia untuk ikut mencicipi tart kita?” tanya Bunda nyaris tanpa ekspresi.
“Berangkat sekarang,” kata Lies sambil menyambar tas kecilnya yang amat pas melengkapi gaun yang dikenakannya. “Tapi ...?”
Lies terlihat bimbang untuk sesaat. Tiba-tiba ia sudah bergerak cepat, mendaratkan sebuah kecupan kecil di pipi Handri.
“Makasih untuk semuanya, Han. Makasih juga untuk Mama yang udah bersusah payah menciptakan tart unik dan istimewa buatku. Sisakan sebagian untukku di kulkas, ya!”
Bibir Handri mengembangkan senyum kaku.
“Take care, Lies ...”
“Thanks, Han! Bye, Mom!”
Lies berlari kecil menuju sebuah sedan yang menunggunya.
***
Sudah hampir pukul 00.00.
“Lies nggak memenuhi janjinya lagi ...” gumam Bunda.
Handri menguap.
“Pulanglah kalo kamu mengantuk. Bunda sudah terbiasa menunggu sendirian.”
“Sepuluh menit lagi, Bunda. Menunggu tepat jam dua belas. Kalo Lies belum juga datang, saya pulang.”
“Semoga kamu nggak putus asa, Han. Bunda amat menghargai semua pengorbananmu. Tapi... semua memang butuh pengorbanan.”
Handri mengangguk santun.
“Bunda percaya, Bunda punya keyakinan, suatu hari nanti Lies akan luluh. Suatu hari ia akan berpaling pada cintamu.”
Handri tertunduk.
“Kalahkan cintanya, Han! Rebut cintanya ...”
Handri tetap tertunduk.
Oleh Donatus A. Nugroho
“Dari mana aja, Lies?” Bunda yang membukakan pintu, dengan wajah yang kusut karena terbangun dari tidur. Lies berkelit untuk menghindari benturan tubuh dengan ibunya. Bunda membuntutinya sambil merapikan rambutnya dengan jari-jarinya yang kecil.
“Sudah hampir jam dua belas. Dan sekali lagi kamu nggak nelepon dulu ke rumah.”
“Nggak sempet, Ma.”
“Nggak sempet, atau ...?” Bunda menghadang di depan Lies, dan sekali lagi Lies berkelit. “Emangnya nggak ada telepon di rumah Tia?”
“Tapi ...” Lies mulai terlihat cemas.
“Bukankah biasanya, kalo kamu nggak sempet, Tia yang nelepon ke rumah?”
“Tia juga nggak sempet. Kami ...”
“Sudahlah, Lies!” Bunda memotong. “Kamu tahu bahwa kebohongan itu nggak baik, kan? Kebohongan itu senantiasa beranak-pinak. Satu jadi banyak. Satu kebohongan akan melahirkan kebohongan-kebohongan yang lain.”
“Kok Bunda nuduh gitu, sih? Aku dan Tia ...”
“Tia nggak nelepon, tapi Bunda yang nelepon ke dia! Kamu sama sekali nggak ke rumah Tia!”
Lies menghempaskan tubuhnya ke atas sofa dengan putus asa. Wajah yang ditundukkan itu merona merah karena malu.
“Kenapa kamu membohongi Bunda lagi?” Bunda bertanya setelah selesai mencuci mukanya di wastafel.
Wajah itu tertunduk makin dalam, nyaris bersentuhan dengan lutut.
“Dengan Gerry lagi? Ke kafe lagi? Dugem?”
Lies bangkit, dan berlari menuju kamarnya. “Ijinkan kami, Bunda ...!”
Agak lama Bunda terpaku, menatap daun pintu kamar Lies yang kini tertutup, sebelum kemudian menghampirinya, menguakkannya dengan amat pelan.
“Mana sempat kamu mengerjakan PR-mu? Kamu pasti sudah ngantuk dan kelelahan.”
Lies tidak bereaksi kecuali membenamkan wajahnya makin dalam ke bantal.
Mama mendekat, menarik dan membalikkan wajah Lies dengan amat hati-hati, kemudian mengendus bibirnya.
“Aku nggak minum, Bundaaa!” Lies menjerit.
“Tapi Gerry? Kamu terpaksa memapahnya pulang hingga kamu pulang selarut ini?”
“Kenapa Bunda selalu berpikir buruk tentang Gerry? Malam ini Gerry menyanyi.”
“Tanpa mabuk terlebih dahulu?”
Lies diam. Sebentar kemudian bergumam, “Kalo aja Bunda mau mengerti tentang Gerry.”
“Salah! Bunda bukannya nggak mau mengerti, karena Bunda udah tahu banyak tentang pangeranmu itu! Kamu aja yang masih buta, membutakan diri!”
Lies benar-benar terisak. Bunda menarik kursi, mendekati tepi ranjang Lies.
“Tadi Handri kemari.”
Isakan itu tertahan sebentar.
“Hampir dua jam menemani Bunda.”
“Bunda pacaran aja sama dia!” Lies menukas kesal.
“Dia ngebawain cokelat kesukaanmu.” Bunda seolah tak peduli. “Bunda menaruhnya di kulkas.”
“Hhh, anak itu belum jera juga. Maunya apa, sih? Udah tau bertepuk sebelah tangan kok masih ngeyel juga!”
“Setumpuk buku bekas ditaruhnya di atas tumpukan koran.”
Ugh! Lies merasakan sebuah sodokan di dadanya. “Ah, anak itu memang pantang menyerah.”
Lies hampir saja menyerah seandainya gengsinya tidak lebih dulu menyeruak. Andai Bunda tidak sedang menyidangnya, ingin rasanya Lies berlari keluar, meneliti buku-buku yang itu. Siapa tahu ada satu atau dua buah yang selama ini diburunya. Ada sedikit kegembiraan di dada Lies kini. Rasanya obsesi itu kian mendekati kenyataan. Lies ingin bukunya segera bertambah makin banyak, agar segera pula pantas dipajang di bekas garasi itu. Impian untuk membuka perpustakaan gratis yang pasti bermanfaat buat anak-anak di lingkungannya itu akan segera terwujud. Lies selalu berpikir bahwa kecintaannya pada buku dan hobinya mengoleksi buku bisa lebih berfaedah bagi orang lain, terutama anak-anak.
“Masih sempat mengerjakan PR ...” Lies meraih sebuah bukunya yang semula tergolek di atas meja. Dipandangnya Bunda dengan tatapan “mengusir”.
Bunda keluar dari kamar dan menutup kembali pintu kamar Lies tanpa bersuara. Di ruang tengah, Bunda berdiri terpaku di bawah sebingkai foto yang tergantung di dinding. Lama tertegun hingga kemudian air mata yang sejak tadi ditahannya tak mampu lagi bertahan di sudut matanya.
Andai suami tercinta itu masih setia mendampinginya, tentulah Bunda tak akan pernah merasa lelah dan sendirian seperti ini. Juga Lies. Semua pasti akan berjalan lain jika Lies bukan anak semata wayang yang telah kehilangan ayah. Tapi takdir telah memisahkan mereka. Usia memang sepenuhnya ada pada kekuasaan Allah.
“Tentu aja dengan Gerry!” kata Lies cukup ketus.
“Ke kafe lagi?”
“Bunda! Seperti apa sih gambaran Bunda tentang kafe? Sebuah tempat yang dipenuhi orang mabuk dan para pengguna narkoba? Cobalah sekali-kali Bunda datang ke kafe.”
“Tapi masa lalu Gerry?” Bunda melotot. “Oke, kali ini Bunda mau! Bunda ikut ke kafe!”
Lies tersentak. Sama sekali tak diduganya ia akan mendengar kalimat seperti itu.
“Oh, no! Jangan malam ini. Malam ini cuma milik kami. Gerry udah bikin planning kencan khusus untuk ulang tahunku yang keenam belas ini.”
Ya, hari ini Lies genap berusia tujuh belas. Bunda sengaja tak menyiapkan sesuatu yang istimewa untuk merayakan ultah Lies, karena Lies sendiri jelas tak menginginkannya. Hanya sebuah doa dan kecupan di kening ketika Lies baru bangun tidur.
Lies mengagendakan sendiri perayaan ulang tahunnya bersama, siapa lagi kalau bukan, Gerry.
Kini Lies sudah tampil beda. Dengan gaun andalan yang tidak baru namun jarang dikenakannya. Lies tampil penuh keyakinan akan beroleh sederet pujian dari kekasihnya.
Seharian Lies sudah berhasil membujuk Bunda. Tak ada backstreet di hari ulang tahun. Restu penuh dari Bunda, meski katanya hanya untuk sekali ini.
“Jam sebelas kamu sudah harus tiba di rumah,” kata Bunda.
“Kencan ultah yang dibatasi waktu ...” desis Lies mewakili kekesalan hatinya.
“Komitmen kita, Lies ...”
Lies menengok ke jalan, berharap Gerry datang lebih awal. Sejak siang ia sudah berkali-kali menelepon Gerry dengan riang. Mengatakan bahwa kali ini mereka tidak bertemu di tempat rahasia seperti biasanya. Bunda mengijinkan Gerry menjemputnya di rumah.
Lies hanmpir melonjak girang ketika mobil itu menepi dan berhenti, tapi berikutnya ia merasa kecele.
“Anak itu!” jerit Lies kesal luar biasa.
Handri yang datang. Dengan senyum terkembang dan sebuah kotak yang dibawanya dengan amat hati-hati.
“Hai, Cantik!” sapa cowok itu riang.
Dan tanpa memedulikan raut wajah tak sedap itu, Handri meletakkan kotak berpita itu dan membukanya. Lies melirik dan mendapati sebuah kue tart berdiameter sekitar 18 cm telah tertata di atas meja.
Lilin berbentuk angka satu dan enam itu segera dinyalakan pula.
“Masih punya waktu beberapa detik untuk meniup lilin ulang tahunmu?”
Lies merasa kaku sekujur tubuhnya. Tapi ia tak punya pilihan lain. Sebuah senyum yang amat dipaksakan tergambar di wajahnya ketika ia melangkah menghampiri kue itu.
“Tart tanpa cokelat, meski aku tahu kamu paling suka sama cokelat. Bikinan mamaku sendiri. Resep rahasia Mama, mixed fruit tart, rasa buah-buahan yang amat segar dan menggugah selera,” kata Handri.
Lies meniup lilin seperti sebuah robot.
Handri dan Bunda mengiringi dengan lagu Selamat Ulang Tahun dan tepukan tangan.
Masih seperti robot pula Lies membuat potongan kecil kue tart itu dan mengulumnya. Sebuah keterkejutan hampir saja bisa terbaca oleh semua.
“Bikinan mamamu sendiri?”
“Dengan resep rahasia beliau.” Handri tersenyum bangga. “Ketika kuusulkan cokelat kesukaanmu, Mama ternyata mencibir. Katanya, kenapa hanya suka pada cokelat? Dunia ini toh bukan berisi cokelat melulu. Ada keju, ada buah, ada banyak pilihan lain yang boleh jadi jauh lebih lezat dan bermanfaat.”
“Bunda mengerti maksud mamamu,” Bunda memotong. “Kita nggak akan bisa tau enaknya buah-buahan kalo kita cuma makan cokelat dan cokelat terus.”
Lies mengerutkan keningnya. “Apakah ini sebuah skenario kecil yang sengaja telah dipersiapkan oleh mereka? Ada apa ini?”
Belum sempat batinnya menjawab, bunyi klakson yang cukup keras terdengar dari tepi jalan.
“Kue cokelatmu sudah nggak sabar, Lies. Begitu nggak sabarnya sampai-sampai untuk turun dan menyapa kita pun nggak sempat. Atau kamu bujuk dulu ia untuk ikut mencicipi tart kita?” tanya Bunda nyaris tanpa ekspresi.
“Berangkat sekarang,” kata Lies sambil menyambar tas kecilnya yang amat pas melengkapi gaun yang dikenakannya. “Tapi ...?”
Lies terlihat bimbang untuk sesaat. Tiba-tiba ia sudah bergerak cepat, mendaratkan sebuah kecupan kecil di pipi Handri.
“Makasih untuk semuanya, Han. Makasih juga untuk Mama yang udah bersusah payah menciptakan tart unik dan istimewa buatku. Sisakan sebagian untukku di kulkas, ya!”
Bibir Handri mengembangkan senyum kaku.
“Take care, Lies ...”
“Thanks, Han! Bye, Mom!”
Lies berlari kecil menuju sebuah sedan yang menunggunya.
***
Sudah hampir pukul 00.00.
“Lies nggak memenuhi janjinya lagi ...” gumam Bunda.
Handri menguap.
“Pulanglah kalo kamu mengantuk. Bunda sudah terbiasa menunggu sendirian.”
“Sepuluh menit lagi, Bunda. Menunggu tepat jam dua belas. Kalo Lies belum juga datang, saya pulang.”
“Semoga kamu nggak putus asa, Han. Bunda amat menghargai semua pengorbananmu. Tapi... semua memang butuh pengorbanan.”
Handri mengangguk santun.
“Bunda percaya, Bunda punya keyakinan, suatu hari nanti Lies akan luluh. Suatu hari ia akan berpaling pada cintamu.”
Handri tertunduk.
“Kalahkan cintanya, Han! Rebut cintanya ...”
Handri tetap tertunduk.
Oleh Donatus A. Nugroho
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar