Ia menarik bahuku hingga aku menghadap ke arahnya, tepat sebelum aku sempat menghapus air mata yang tak bisa lagi aku bendung di pelupuk mataku.
Huh! Laki-laki memang tak pernah bisa mengerti apa maunya perempuan! Tak terkecuali Abang, lelaki yang hampir empat tahun ini menjalin kasih denganku. Bayangkan saja, sudah hampir empat tahun lamanya kami bersama, dia tetap tidak mengerti isyarat-isyarat yang sengaja aku berikan padanya. Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar. Itu kan berarti hampir 48 bulan alias 1.460 hari! Berarti, kalau dikalkulasikan, setidaknya kami sudah menghabiskan masa waktu 35.040 jam dikurangi waktu tidur kami yang delapan jam dan waktu-waktu di mana kami sedang repot dengan urusan masing-masing, berarti setidaknya sudah 20.000-an jam kami habiskan bersama-sama. Tapi, dari sederet angka tadi rasanya masih kurang cukup untuk membuat Abang memahamiku. Yang ada, malah Abang seringkali bilang, “Kamu kok susah banget dimengerti, sih, Dek?!” Huh! Basi!
Contohnya saja sore ini, di mana sudah seharian aku cemas menunggu kabar darinya. Sudah berpuluh kali aku meneleponnya tapi ponselnya tak kunjung aktif. Beberapa SMS juga sudah kulayangkan, dari mulai yang romantis sampai yang isinya hampir sadis, tapi tak satupun dibalas. Terang saja aku panik dan cemas, pasalnya Abang sudah berjanji padaku kalau hari ini ia akan menemaniku nonton, tapi sampai sekarang kok tidak ada kabar sama sekali?
Pikiranku sudah dipenuhi berbagai macam kemungkinan. Apa Abang masih tidur karena pusing akibat kehujanan waktu pulang dari rumahku kemarin? Atau, apa ponsel Abang kecopetan? Atau, jangan-jangan Abang lagi selingkuh sampai-sampai ponselnya sengaja dimatikan? Atau... ada yang tidak beres? Hii, ngeri sendiri rasanya aku membayangkan yang tidak-tidak. Makanya seharian aku hanya bisa duduk di sofa sambil menonton HBO seharian dan menelepon terus-terusan mencoba men-dial nomer ponsel Abang yang sudah kuhapal.
Tiba-tiba saja, sekitar pukul 17.20, teleponku tersambung. Aku yang duduk malas dengan mata mengantuk, langsung bangkit terjaga dan menanti dengan deg-degan. Begitu suara Abang yang berat terdengar di ujung sana, aku langsung membombardirnya dengan sejuta pertanyaan.
“Bang, kamu di mana, sih? Adek tuh udah neleponin kamu seharian tapi enggak nyambung-nyambung. Adek kirim SMS kok enggak dibales-bales? Abang tau enggak, Adek cemas banget?! Adek sampe enggak bisa ngapa-ngapain seharian gara-gara nungguin Abang. Kan katanya Abang mau nemenin Adek nonton, gimana sih?!”
Aku terdiam, mengambil napas. Sesaat, tak terdengar respon dari ujung sana. Malahan, tiba-tiba saja aku mendengar suara Abang yang sedang asyik ngobrol dengan seorang laki-laki.
“...Itu velg-nya udah rapi, kan?”
“Oh, tenang aja, Mas.”
Aku bengong.
“Bang? Abang???”
“Iya, Dek?” suara Abang kembali terdengar.
“Abang lagi ngapain, sih?”
“Bentar, bentar, Dek, Abang lagi di bengkel, nih, ganti velg. Bentar ya....”
Dan Abang pun kembali ngobrol dengan tukang velg itu. Dan aku, pacarnya selama hampir empat tahun ini, dicuekin begitu aja!
“Glek! Berarti dari tadi aku ngomong panjang lebar sama sekali enggak didengerin sama Abang? Arrrgggghhhh!,” makiku dalam hati.
Setelah beberapa lama, suara Abang kembali terdengar. “Kenapa, Dek?”
Aku sungguh heran dengan sikap santai yang jelas-jelas tercermin di dalam suara Abang.
“Bang, dari tadi Adek telepon kok enggak nyambung-nyambung?,” serangku.
“Duh, maaf, Dek, tadi HP Abang ketinggalan. Ini juga baru aja disusulin sama Raffi,” katanya, masih dengan ketenangan tingkat tinggi yang membuatku semakin kesal.
“Jadi Abang di bengkel sama Raffi?,” tanyaku menyelidik sambil menyebutkan nama adik kandung Abang yang masih duduk di bangku SMA itu. “Terus, kenapa SMS Adek enggak dibalas?”
“Maaf, Dek, Abang lupa isi pulsa,” katanya.
“Apa????? Lupa isi pulsa? Enggak tau apa orang cemas setengah mati dari tadi?,” batinku.
“Kenapa enggak minjem HP Raffi untuk SMS? Atau, Abang kan bisa cari wartel atau telepon umum untuk ngabarin Adek?,” tanyaku
Abang tergelak, “Sorry, Dek, enggak kepikiran!”
Aku melengos kesal. “Abang lupa ya kalo hari ini Abang janji mau nemenin Adek nonton?,” rajukku.
“Maaf, Dek, Abang bukannya lupa. Tapi tiba-tiba mobil Abang ngadat, makanya Abang ke bengkel.”
“Lho, tadi katanya ganti velg, sekarang bilangnya mobilnya ngadat. Yang mana yang bener, sih?,” suaraku semakin meninggi.
“Ya tadi mesinnya ngadat. Terus, karena udah di bengkel, ya Abang sekalian ganti velg aja.”
Aku langsung cemberut.
“Nontonnya besok aja, ya, Dek, kan bisa sekalian nomat!,” bujuk Abang.
“Tapi besok kan Adek ada UTS, Bang. Mana bisa enak-enakan nomat.”
“Ya udah, begitu kamu pulang UTS, Abang jemput deh ke kampus. Terus, dari sana kita nonton, oke?”
Dan begitulah, acara kencan kami pun gagal cuma gara-gara Abang ke bengkel demi memperbaiki mobilnya yang ngadat dan sekalian mengganti velg-nya.
Kadang-kadang aku merasa aneh juga. Masa sih aku harus cemburu dengan kecintaan Abang pada mobilnya atau pada kesenangannya naik gunung, misalnya? Tapi, wajar kan kalau aku cemburu, aku ini kan pacarnya? Pacar yang hampir empat tahun ini menemani Abang, berbagi suka dan duka bersama. Pacar yang punya perasaan dan seharusnya lebih membutuhkan perhatian Abang ketimbang mobil dan hobi naik gunungnya.
Ya, laki-laki memang sulit mengerti apa maunya perempuan!
Keesokan harinya, aku berangkat ke kampus dengan ceria. Malahan aku sengaja berdandan karena aku tahu, sepulang UTS aku akan nonton bersama Abang. Tapi ternyata, lagi-lagi aku kecewa. Mobil Abang tak terlihat di lapangan parkir kampusku! Aku pun segera menelepon Abang.
“Bang, di mana?”
“Di rumah,” jawabnya cuek.
Jleb!! Rasanya ada sebilah pisau yang menusuk dadaku saat itu juga. Sementara aku sudah berdandan habis dan menanti-nanti acara kencan dengannya, Abang malah kelupaan dengan janjinya menjemputku di kampus!
“Abang tuh udah mulai pikun atau udah enggak sayang lagi, sih, sama Adek?,” semprotku langsung begitu aku duduk di jok depan mobil Abang, satu jam kemudian. Terik siang dan rasa kesal telah membuat dandananku berantakan. Tapi aku sudah tak peduli. Niat untuk kencan dengan Abang sudah meluap pergi entah ke mana.
“Maaf, Dek. Abang tadi ketiduran. Kamu sih enggak bangunin Abang,” katanya ngeles.
“Bangunin gimana? Aku kan lagi UTS, Bang!! Mana bisa seenaknya nelepon Abang?”
Abang tertawa kecil, “Oh iya, ya? Maaf, deh. Kampus kita kan beda, makanya Abang enggak tau jadwal UTS kamu. Makanya, lain kali kamu SMS Abang, dong, untuk konfirmasi!”
Aku semakin sebal. “Jadi sekarang Adek yang salah?!”
Abang memandangku sambil menahan tawa. “Kamu kalau marah semakin cantik, deh!,” godanya.
“Iiih, udah tau orang ngambek, masih aja dibecandain!,” pikirku kesal. Aku hanya cemberut, tidak merespon.
“Ya udah, kita nonton di mana sekarang?,” tanya Abang.
“Enggak usah!,” bentakku, “Adek udah enggak mood nonton sama Abang!”
“Mana bisa?,” kata Abang, “Bisa-bisa Abang diputusin sama kamu karena enggak nepatin janji ngajakin kamu nomat hari ini.”
Aku tak menjawab. Malas. Aku hanya bisa memperhatikan jalanan sementara mobil Abang terus melaju menuju kawasan Pondok Indah.
***
“Udah nyampe, Dek,” kata Abang sambil mematikan mesin. Ia menarik bahuku hingga aku menghadap ke arahnya tepat sebelum aku sempat menghapus air mata yang tak bisa lagi aku bendung di pelupuk mataku. Sempat kulihat ekspresi kagetnya melihat air mataku. Namun aku tak peduli. Aku segera memalingkan wajah, berpura-pura tegar.
“Kamu nangis, Dek?” Abang kembali memutar tubuhku.
“Enggak!,” aku kembali berbalik.
Abang memutar tubuhku dengan lembut dan mematri bahuku dengan kedua lengan kekarnya, agar aku tak dapat menghindar lagi. “Coba Abang liat. Kok Adek Abang yang cantik nangis, sih? Dandanannya luntur, tuh!,” candanya.
Bukannya tertawa, aku malah menangis semakin menjadi. “Abang tuh beneran udah enggak sayang, ya, sama Adek?”
Abang nampak kaget, namun terus berusaha tenang, “Kok Adek ngomongnya gitu sih?”
“Abis Abang tuh enggak pernah ngertiin Adek. Adek tuh rasanya udah enggak pernah diperhatiin lagi sama Abang. Abang udah enggak nganggap Adek istimewa lagi. Enggak kayak dulu pas awal kita pacaran, Abang sekarang suka lupa sama janji Abang ke Adek. Abang lebih milih ke bengkel atau naik gunung daripada berduaan dengan Adek! Abang tuh lupa, ya, minggu lalu tuh kita enggak ketemuan karena Abang naik gunung sama temen-temen Abang?! Makanya kemarin Adek ngajakin Abang nonton, biar kita bisa ketemuan. Eh, Abang malah lebih milih ke bengkel daripada ketemu sama Adek! Adek sebel! Abang udah enggak sayang lagi sama Adek!,” cerocosku panjang lebar.
Abang memperhatikanku dengan ekspresi shock. Mungkin ia tak menyangka kalau masalahnya ternyata serumit itu. Tapi, biarlah, daripada aku memendam sendiri semua kekesalanku, lebih baik aku tumpahkan saja semuanya.
Beberapa saat lamanya, Abang tidak merespon. Ia mengusap air mata di pipiku dengan lembut dan tersenyum.
“Adek enggak boleh bilang kayak gitu. Abang tuh sayang banget sama Adek! Abang mau ikut temen-temen Abang naik gunung minggu lalu karena Abang mau ngasihin ini sama kamu,” katanya sambil mengambil sebuket bunga edelweiss di jok belakang mobil. Aku tersentak kaget.
“Adek lupa, ya, kalau Adek pernah nitip bunga edelweiss sama Abang kalau Abang naik gunung? Kan Adek sendiri yang bilang sama Abang, kalau bunga edelweiss ini melambangkan cinta yang abadi. Soal kemarin, Abang juga sebenernya sengaja menunda waktu ketemuan kita sampai hari ini biar Abang bisa ngasihin bunga edelweiss ini ke Adek tepat di hari jadi kita yang keempat tahun. Abang juga sengaja ngebetulin mobil karena Abang enggak mau waktu Abang jalan sama Adek, mobil ini ngadat di tengah jalan. Abang mau hari ini jadi hari yang istimewa, karena hari ini genap empat tahun sudah Adek jadi pacar Abang, jadi sahabat Abang yang paling baik, yang paling mengerti Abang.”
Aku tercenung. Jadi, hari ini...? Ya Tuhan, saking kesalnya akan tingkah laku Abang akhir-akhir ini, aku sampai lupa kalau hari ini adalah hari jadi kami yang keempat tahun! Hari ke-1.460 dalam hubungan kami yang begitu berharga ini. Perasaanku campur aduk, rasanya. Aku tak bisa berkata-kata. Yang bisa kulakukan hanyalah menangis.
“Yah, Dek, kok malah nangis lagi?,” tanya Abang panik. “Adek enggak suka, ya, sama bunga edelweiss-nya?”
Aku tertawa geli. Ternyata, setelah empat tahun kebersamaan kami, Abang masih belum bisa mengerti apa mauku. Ia masih kurang memahami isyarat-isyarat yang sengaja kuberikan padanya. Tapi, tak apalah. Selama Abang menyayangiku, aku toh akan tetap mencoba memahaminya dan membuat ia memahami diriku.
Oleh Melody Muchransyah
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar