Aku menarik tubuh ke belakang. Membiarkan tumpukan kartu ramalanku membatu di samping tiga kartu yang tersusun berderet. Ketakutan merejang dari semua sisi. Mempercepat detak jantung dan memompa keringat menembus pori-pori.
Ini ketiga kali secara beruntut aku mendapatkan kartu berwarna dasar hitam dengan gambar bayangan putih menyerupai dua paruh badan manusia yang bertaut. Salah satu kepalanya berlingkar cincin, sedang kepala lainnya bercula. Aku menatapnya ketakutan. Gila!
Dua kartu referent di samping kartu main yang kupegang ini masih tergeletak di hadapanku dalam posisi telungkup. Aku tak mau membukanya. Aku takut menemukan gambar yang sama lagi. Gambar bumi dan langit. Karena sudah dua kali aku mendapatkannya, dan ini yang ketiga. Apakah itu berarti aku benar-benar akan mati?!
Aku menarik tubuh ke belakang. Membiarkan tumpukan kartu ramalanku membatu di samping tiga kartu yang tersusun berderet. Napasku terhembus dan terhisap dengan cepat. Ketakutan merejang dari semua sisi. Mempercepat detak jantung dan memompa keringat menembus pori-pori.
“It’s not only a game, Vie. Ini ramalan kuno, yang diajarkan secara turum-temurun pada orang-orang tertentu. Orang-orang yang memiliki kepekaan dan konsentrasi tinggi seperti kamu.”
Otakku mencelat pada pertemuanku dengan Rinjani Dermeyde dua bulan lalu di koridor Kedutaan Besar Indonesia di Belanda. Rinjani kelahiran Suriname.
“Aku masih merasa sebagai orang Indonesia meski lahir di Suriname. Dan aku juga mengikuti mata kuliah Bahasa dan Budaya Indonesia,” ceritanya. “Meski belum pernah ke Indonesia, aku ingin suatu saat bisa ke sana. Tapi Papa bilang, orang-orang Indonesia tak seramah yang aku pelajari di sekolah.”
Gadis hitam manis dengan rambut keriting kecil itu lalu mengajakku ke perpustakaan. Dan di sanalah Rinjani mendemonstrasikan permainan ramalan kartunya.
“Pejamkan matamu,” kata Rinjani setelah memberikan setumpuk kartu kepadaku. “Dan kocoklah perlahan.”
Aku menuruti. Ruangan perpustakaan yang besar ini terasa sunyi. Setumpuk kartu, kutaksir berisi sekitar lima belas kartu, aku kocok perlahan.
“Bayangkan seseorang yang ingin kau ketahui, dan ucapkan berulang-ulang di hatimu. Berulang-ulang sembari terus kau kocok. Berulang-ulang sampai kau sendiri ingin menghentikannya,” kudengar suaranya dalam kegelapan. Aku menuruti. Kubayangkan sosok Papa, dan memanggilnya berulang-ulang dalam hati. Lalu berhenti.
“Buka matamu,” ujar Rinjani sembari mengambil kembali tumpukan kartu dari tanganku. Lalu ia mengambil tiga buah kartu secara acak dan menatanya berurutan dengan telungkup.
Kartu pertama yang ia buka adalah kartu tengah yang disebutnya kartu main. Di situ tergambar langit biru. Rinjani tersenyum. Dua kartu referent di sampingnya ia buka kemudian. Dan senyum gadis itu kian merekah.
“Siapa pun yang kau bayangkan, dia akan mendapat suatu kebahagiaan, atau kegembiraan, atau apa pun semacam itu, dalam karir atau pekerjaan, atau… semacam tambahan finansial.”
Papa. Aku memikirkan Papa saat itu. Dan aku cuma tersenyum. Ketika seminggu kemudian Papa mengabarkan kenaikan pangkatnya, aku tertegun, teringat pada Rinjani dan ramalannya. Pada kartu-kartu yang ia berikan kepadaku setelah mengajariku bagaimana menerjemahkan makna kartu-kartu itu.
***
Iseng saja ketika sekembalinya dari Belanda aku memainkan permainan itu. Pertama, dengan Lina. Gadis mungil berkulit gelap yang mendamba punya pacar keren, tajir, dan pintar. Dan terutama, bertubuh tinggi tegap dan berkulit putih.
“Untuk perbaikan keturunanlah,” begitu katanya. “Coba, bagaimana ramalanmu bicara tentang Roni.”
Sudah kuduga, cowok kakak kelas kami itu yang dipikirkan Lina saat mengocok kartu. Aku berkonsentrasi penuh, membuka kartu-kartu itu dan mencoba menerjemahkannya.
“Ia sedang berduka, atau sedih, atau kecewa. Semacam itulah,” ujarku membaca kartu ramalanku.
Dan seminggu kemudian Lina menemuiku dengan berita mengerikan. Roni dan temannya kecelakaan. Roni sendiri tidak terlalu parah lukanya. Tapi temannya meninggal seketika karena terlempar dari boncengan dengan keras dan terjatuh tepat di depan roda bus.
Aku ternganga. Antara percaya dan tidak. Bibirku beku tanpa tawa seperti ketika setelah meramal itu. Ketika aku mencandainya, jangan-jangan Roni akan patah hati, dan itu berarti peluang emas untuknya!
Setelah itu ada Ninuk, Alin, Fita, Deno…. Benarkah semua ini benar-benar nyata? Dan kini….
“Tuhan…,” aku mendesah dalam keputusasaan. Mengiba pada Sang Pencipta. Segala kehidupan yang aku jalani terpampang bagai fragmen dalam layar perak. Betapa terlalu sedikit kebaikan yang kuperbuat selama ini. Betapa masih banyak dosa melumuri. Betapa…. Masih berapa lamakah waktuku?
***
“Kau tampak beda belakangan ini, Vie.”
Aku mendongak, memindahkan perhatian dari buku yang baru saja kuambil dari rak perpustakaan. Alin menarik kursi di depanku dan mendudukinya. Aku tersenyum, berusaha bersikap wajar.
Sejak meramal itu, beberapa hari kengerian akan kematian memburu. Sepertinya ada ketidakrelaan jika belum tuntas semua kesenangan kureguk. Segala hal yang kusuka, kulakukan tanpa perduli. Tapi adakah kesenangan yang abadi?
Tanya itu melemparkanku. Membenturkanku kemudian pada pikiran lain. Apa yang akan kubawa dalam kematianku? Semua kesenangan itukah?
Lalu aku teringat Mama, Papa, orang-orang tercinta. Selama ini aku telah melalaikan mereka dan memburu kesenangan pribadi. Padahal waktuku tak lama lagi!
Sudah dua kali aku tidak ikut pesta bersama teman-teman. Rasanya, keinginan untuk berhura-hura itu telah lenyap seiring kesadaran akan kematian yang menelusup kemudian. Aku ingin, di sisa hidupku, tak ada waktu yang kubuang percuma.
“Semalam teman-teman membicarakanmu,” kata Alin.
“Aku hanya tidak mood, Lin. Pingin di rumah saja. Lama banget aku seperti asing dengan keluargaku,” kataku.
“It’s not only about the party, Vie. Tapi kamu memang seperti lain. Maksudku… sikapmu, tingkahmu, semuanya. Sepertinya kamu bukan Luvie yang kami kenal.”
Aku tertawa. “People change kan, Lin?”
Alin mengangguk.
“Jadi kalau Luvie berubah, suatu hal yang wajar, kan?”
“Tapi tanpa sebab?”
“Ada.”
“Apa?”
“Karena setiap hari usiaku berkurang, dan aku ingin menutup hidup dengan hal-hal yang berarti. Hal-hal yang selama ini terabaikan.”
“Omongmu kayak orang mau mati saja,” Alin bersungut.
Aku meringis. “Kita memang sering lalai bahwa kematian bisa datang kapan saja. Merasa masih muda dan jalan masih panjang. Padahal siapa yang tahu kapan Malaikat Maut menjemput?”
“Hebat. Ngutip khotbah siapa?” kata Alin.
Tak beda dengan teman lain. Betapa tak mudahnya memberi peringatan. Mereka tak akan tahu betapa berharganya waktu kecuali jika mereka mendengar vonis bahwa sebentar lagi maut akan menjemput!
***
Ini sudah dua bulan sejak aku meramal diri sendiri. Sejak berturut-turut kudapati kartu mati. Padahal beberapa kali ramalanku terjadi hanya berselang waktu sebulan.
“Ramalan itu omong kosong. Hanya orang bodohlah yang percaya akan ramalan. Kalaupun ramalan itu benar, hanyalah kebetulan semata yang dipadupadankan.” Aku ingat pada Izzah, anak rohis yang mulai dekat denganku.
Mungkin memang hanya omong kosong. Kebetulan semata jika terjadi. Bukankah sebetulnya, jika mau jujur, ramalanku juga lebih sering tak terjadi? Ketika aku mengatakan pada Dino bahwa pacarnya akan mendapat musibah, justru Dino yang mendapat musibah, karena kemudian pacarnya berpaling dan mengkhianati cinta cowok itu?
Meski kemudian aku berdalih bahwa terungkapnya pengkhianatan sang pacar itulah yang disebut musibah bagi ceweknya? Atau Fita, yang kuramal akan mendapat yang diinginkannya, kemudian ia membeli HP kamera terbaru, bukankah karena ia telah lama menabung untuk itu? Dan bukan sekedar kebetulan atau ketepatan ramalanku!
Dan kematianku? Kapan akan terjadi?
Sekarang aku memang tak lagi takut maut menjemput. Setidaknya, kalaupun aku mati sekarang, aku tak akan menyesalinya. Aku telah mendapatkan semua kebahagiaan. Mama yang mencintaiku, meski selalu sibuk dengan kegiatannya, Papa yang memanjakanku, kakak-kakak yang menyayangiku, teman-teman….
Kartu ramalan itu tak lagi kugunakan.
Kalaupun memang itu bisa menyibak rahasia Tuhan, biarlah tak kutahu semua rahasia-Nya. Kalaupun memang kartu itu bisa menyingkap rahasia, cukuplah sudah pelajaran kudapat bahwa waktu hidup kita begitu terbatas. Terbatas!
Ini ketiga kali secara beruntut aku mendapatkan kartu berwarna dasar hitam dengan gambar bayangan putih menyerupai dua paruh badan manusia yang bertaut. Salah satu kepalanya berlingkar cincin, sedang kepala lainnya bercula. Aku menatapnya ketakutan. Gila!
Dua kartu referent di samping kartu main yang kupegang ini masih tergeletak di hadapanku dalam posisi telungkup. Aku tak mau membukanya. Aku takut menemukan gambar yang sama lagi. Gambar bumi dan langit. Karena sudah dua kali aku mendapatkannya, dan ini yang ketiga. Apakah itu berarti aku benar-benar akan mati?!
Aku menarik tubuh ke belakang. Membiarkan tumpukan kartu ramalanku membatu di samping tiga kartu yang tersusun berderet. Napasku terhembus dan terhisap dengan cepat. Ketakutan merejang dari semua sisi. Mempercepat detak jantung dan memompa keringat menembus pori-pori.
“It’s not only a game, Vie. Ini ramalan kuno, yang diajarkan secara turum-temurun pada orang-orang tertentu. Orang-orang yang memiliki kepekaan dan konsentrasi tinggi seperti kamu.”
Otakku mencelat pada pertemuanku dengan Rinjani Dermeyde dua bulan lalu di koridor Kedutaan Besar Indonesia di Belanda. Rinjani kelahiran Suriname.
“Aku masih merasa sebagai orang Indonesia meski lahir di Suriname. Dan aku juga mengikuti mata kuliah Bahasa dan Budaya Indonesia,” ceritanya. “Meski belum pernah ke Indonesia, aku ingin suatu saat bisa ke sana. Tapi Papa bilang, orang-orang Indonesia tak seramah yang aku pelajari di sekolah.”
Gadis hitam manis dengan rambut keriting kecil itu lalu mengajakku ke perpustakaan. Dan di sanalah Rinjani mendemonstrasikan permainan ramalan kartunya.
“Pejamkan matamu,” kata Rinjani setelah memberikan setumpuk kartu kepadaku. “Dan kocoklah perlahan.”
Aku menuruti. Ruangan perpustakaan yang besar ini terasa sunyi. Setumpuk kartu, kutaksir berisi sekitar lima belas kartu, aku kocok perlahan.
“Bayangkan seseorang yang ingin kau ketahui, dan ucapkan berulang-ulang di hatimu. Berulang-ulang sembari terus kau kocok. Berulang-ulang sampai kau sendiri ingin menghentikannya,” kudengar suaranya dalam kegelapan. Aku menuruti. Kubayangkan sosok Papa, dan memanggilnya berulang-ulang dalam hati. Lalu berhenti.
“Buka matamu,” ujar Rinjani sembari mengambil kembali tumpukan kartu dari tanganku. Lalu ia mengambil tiga buah kartu secara acak dan menatanya berurutan dengan telungkup.
Kartu pertama yang ia buka adalah kartu tengah yang disebutnya kartu main. Di situ tergambar langit biru. Rinjani tersenyum. Dua kartu referent di sampingnya ia buka kemudian. Dan senyum gadis itu kian merekah.
“Siapa pun yang kau bayangkan, dia akan mendapat suatu kebahagiaan, atau kegembiraan, atau apa pun semacam itu, dalam karir atau pekerjaan, atau… semacam tambahan finansial.”
Papa. Aku memikirkan Papa saat itu. Dan aku cuma tersenyum. Ketika seminggu kemudian Papa mengabarkan kenaikan pangkatnya, aku tertegun, teringat pada Rinjani dan ramalannya. Pada kartu-kartu yang ia berikan kepadaku setelah mengajariku bagaimana menerjemahkan makna kartu-kartu itu.
***
Iseng saja ketika sekembalinya dari Belanda aku memainkan permainan itu. Pertama, dengan Lina. Gadis mungil berkulit gelap yang mendamba punya pacar keren, tajir, dan pintar. Dan terutama, bertubuh tinggi tegap dan berkulit putih.
“Untuk perbaikan keturunanlah,” begitu katanya. “Coba, bagaimana ramalanmu bicara tentang Roni.”
Sudah kuduga, cowok kakak kelas kami itu yang dipikirkan Lina saat mengocok kartu. Aku berkonsentrasi penuh, membuka kartu-kartu itu dan mencoba menerjemahkannya.
“Ia sedang berduka, atau sedih, atau kecewa. Semacam itulah,” ujarku membaca kartu ramalanku.
Dan seminggu kemudian Lina menemuiku dengan berita mengerikan. Roni dan temannya kecelakaan. Roni sendiri tidak terlalu parah lukanya. Tapi temannya meninggal seketika karena terlempar dari boncengan dengan keras dan terjatuh tepat di depan roda bus.
Aku ternganga. Antara percaya dan tidak. Bibirku beku tanpa tawa seperti ketika setelah meramal itu. Ketika aku mencandainya, jangan-jangan Roni akan patah hati, dan itu berarti peluang emas untuknya!
Setelah itu ada Ninuk, Alin, Fita, Deno…. Benarkah semua ini benar-benar nyata? Dan kini….
“Tuhan…,” aku mendesah dalam keputusasaan. Mengiba pada Sang Pencipta. Segala kehidupan yang aku jalani terpampang bagai fragmen dalam layar perak. Betapa terlalu sedikit kebaikan yang kuperbuat selama ini. Betapa masih banyak dosa melumuri. Betapa…. Masih berapa lamakah waktuku?
***
“Kau tampak beda belakangan ini, Vie.”
Aku mendongak, memindahkan perhatian dari buku yang baru saja kuambil dari rak perpustakaan. Alin menarik kursi di depanku dan mendudukinya. Aku tersenyum, berusaha bersikap wajar.
Sejak meramal itu, beberapa hari kengerian akan kematian memburu. Sepertinya ada ketidakrelaan jika belum tuntas semua kesenangan kureguk. Segala hal yang kusuka, kulakukan tanpa perduli. Tapi adakah kesenangan yang abadi?
Tanya itu melemparkanku. Membenturkanku kemudian pada pikiran lain. Apa yang akan kubawa dalam kematianku? Semua kesenangan itukah?
Lalu aku teringat Mama, Papa, orang-orang tercinta. Selama ini aku telah melalaikan mereka dan memburu kesenangan pribadi. Padahal waktuku tak lama lagi!
Sudah dua kali aku tidak ikut pesta bersama teman-teman. Rasanya, keinginan untuk berhura-hura itu telah lenyap seiring kesadaran akan kematian yang menelusup kemudian. Aku ingin, di sisa hidupku, tak ada waktu yang kubuang percuma.
“Semalam teman-teman membicarakanmu,” kata Alin.
“Aku hanya tidak mood, Lin. Pingin di rumah saja. Lama banget aku seperti asing dengan keluargaku,” kataku.
“It’s not only about the party, Vie. Tapi kamu memang seperti lain. Maksudku… sikapmu, tingkahmu, semuanya. Sepertinya kamu bukan Luvie yang kami kenal.”
Aku tertawa. “People change kan, Lin?”
Alin mengangguk.
“Jadi kalau Luvie berubah, suatu hal yang wajar, kan?”
“Tapi tanpa sebab?”
“Ada.”
“Apa?”
“Karena setiap hari usiaku berkurang, dan aku ingin menutup hidup dengan hal-hal yang berarti. Hal-hal yang selama ini terabaikan.”
“Omongmu kayak orang mau mati saja,” Alin bersungut.
Aku meringis. “Kita memang sering lalai bahwa kematian bisa datang kapan saja. Merasa masih muda dan jalan masih panjang. Padahal siapa yang tahu kapan Malaikat Maut menjemput?”
“Hebat. Ngutip khotbah siapa?” kata Alin.
Tak beda dengan teman lain. Betapa tak mudahnya memberi peringatan. Mereka tak akan tahu betapa berharganya waktu kecuali jika mereka mendengar vonis bahwa sebentar lagi maut akan menjemput!
***
Ini sudah dua bulan sejak aku meramal diri sendiri. Sejak berturut-turut kudapati kartu mati. Padahal beberapa kali ramalanku terjadi hanya berselang waktu sebulan.
“Ramalan itu omong kosong. Hanya orang bodohlah yang percaya akan ramalan. Kalaupun ramalan itu benar, hanyalah kebetulan semata yang dipadupadankan.” Aku ingat pada Izzah, anak rohis yang mulai dekat denganku.
Mungkin memang hanya omong kosong. Kebetulan semata jika terjadi. Bukankah sebetulnya, jika mau jujur, ramalanku juga lebih sering tak terjadi? Ketika aku mengatakan pada Dino bahwa pacarnya akan mendapat musibah, justru Dino yang mendapat musibah, karena kemudian pacarnya berpaling dan mengkhianati cinta cowok itu?
Meski kemudian aku berdalih bahwa terungkapnya pengkhianatan sang pacar itulah yang disebut musibah bagi ceweknya? Atau Fita, yang kuramal akan mendapat yang diinginkannya, kemudian ia membeli HP kamera terbaru, bukankah karena ia telah lama menabung untuk itu? Dan bukan sekedar kebetulan atau ketepatan ramalanku!
Dan kematianku? Kapan akan terjadi?
Sekarang aku memang tak lagi takut maut menjemput. Setidaknya, kalaupun aku mati sekarang, aku tak akan menyesalinya. Aku telah mendapatkan semua kebahagiaan. Mama yang mencintaiku, meski selalu sibuk dengan kegiatannya, Papa yang memanjakanku, kakak-kakak yang menyayangiku, teman-teman….
Kartu ramalan itu tak lagi kugunakan.
Kalaupun memang itu bisa menyibak rahasia Tuhan, biarlah tak kutahu semua rahasia-Nya. Kalaupun memang kartu itu bisa menyingkap rahasia, cukuplah sudah pelajaran kudapat bahwa waktu hidup kita begitu terbatas. Terbatas!
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar