Cerpen remaja"The last surprise"

Bookmark and Share


 “Kenapa harus malu, sayang? Mama dulu juga pernah muda dan pernah merasakan apa yang sekarang putri cantik mama rasakan.”
 
Akhir-akhir ini Adit terlalu sibuk dengan urusannya sendiri seolah-olah sudah tak peduli lagi dengan keberadaanku di sisinya sebagai kekasih. Sedih. Tak ada lagi ucapan-ucapan sayang yang selalu dikirimkannnya padaku. Baik melalui telpon ataupun sms. Tak ada lagi ucapan selamat makan untukku. Tak ada lagi ucapan hangat menjelang aku terlelap dalam mimpi. Semua kini telah tiada. Aku merasakan ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Kehilangan sosok Adit yang selama ini selalu peduli padaku. Tapi itu dulu. Semuanya telah berbeda kini. Waktu dapat mengubah segalanya dalam waktu sekejap.
                Aku pernah bertanya, ke mana dia selama ini setelah sekian kali meng-cancel acara yang telah kita sepakati sebelumnya. Apa yang aku dapat? Hanya sebuah jawaban klise seorang cowok; pergi ke bengkel, nonton bola dan hang-out bareng teman-temannya yang lain. Hanya untuk hal-hal yang sepele seperti itu, Adit melupakanku. Ditambah ada Reno yang dengan setia mendampinginya ke mana pun. Seolah keberadaan Reno mampu menggantikan keberadaanku yang selalu menolak ajakan-ajakan dia untuk melakukan suatu hal yang di mataku tak pantas aku harus tahu. Gak penting!
                Tapi bagaimana pun Adit adalah manusia terbaik yang diberikan Tuhan dalam hidupku. Walau terkadang aku kesal dan marah padanya, aku tetap mencintainya, bahkan rasa cintaku kepadanya semakin hari semakin bertambah besar. Apalagi saat dia mampu membuatku selalu terkesima dengan kejutan-kejutannya yang sama sekali tak pernah aku bayangkan. Aku kembali bertekuk lutut di hadapannya. Aku pikir, semua cewek di dunia akan sangat bahagia mendapat surprise itu dari someone special-nya. Terbukti malam ini Adit mengajakku ke suatu tempat yang masih dirahasiakannya padaku. Adit bilang, “Adit bakal ajak Rara ke suatu tempat yang sangat-sangat romantis.” Tanpa mau menyebutkan di mana tempat yang sangat-sangat romantis itu. Dan Adit memintaku untuk mengenakan gaun yang diberikannnya padaku saat ultahku kemarin.
                “Rara... “ panggil mama yang tanpa sepengetahuanku telah hadir di kamarku. Memperhatikan putri kesayangannya sedang sibuk memperbaiki penampilan di depan cermin.
                “Ma... ma..., rengekku manja. “Kok masuk nggak bilang-bilang, sih?”
                Mama tersenyum geli. “Mama tadi udah ketuk pintu kamar kamu, tapi nggak ada jawaban. Kamu aja yang keasyikan dandan,” sindir  Mama yang langsung membuat wajahku merona merah.
                “Ma... ma...”
                “Kenapa harus malu, sayang? Mama dulu juga pernah muda dan pernah merasakan apa yang sekarang putri cantik mama rasakan.”
                “Udah deh, Ma. Nggak usah godain Rara terus,” ujarku kesal. “Buruan ada apa?”
                “Pangerannya sudah menunggu di bawah, tuan puteri, “ ujar mama bak seorang pemain opera Cinderela.
                Ups. Adit sudah datang. Tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat. Aku nervous, juga bahagia. Aku gugup  dan juga gemetar. Semuanya aku rasakan secara bersamaan. Entah perasaan apa itu namanya. Sudah seminggu aku tidak berjumpa dengannya, mungkin kerinduan yang membuncah selama ini menimbulkan perasaan itu. Aku kangeeen.
                “Adit?!” ucapku tercengang. Entah percaya atau tidak. Adit malam ini sungguh berbeda dengan hari-hari biasanya. Adit terlihat sangat tampan. “Ka-kamu tampan sekali, Dit!”
                “Rara juga cantik sekali malam ini,” ujarnya lembut sembari memberikan senyun terindah yang dimilikinya. Senyum yang membuatku jatuh hatinya padanya dulu.
                Aku terpaku menatap wajah tampannnya. Aku sangat bahagia memiliki seorang Adit. Tidak hanya kesempurnaan fisik yang dimiliki tapi juga ketulusan hatinya untuk selalu mencintaiku.
                “Ini untuk Rara,” ujarnya sembari memberikan satu buket mawar merah untukku yang disembunyikan dibalik badannya.
Kejutan untuk kedua kalinya malam ini, pekikku dalam hati. Aku tadi terlalu asyik menatap wajahnya tanpa mengetahui ada seseuatu yang dia sembunyikan dariku.
“Adit...,” pekikku lagi. Aku tidak bisa lagi berkata-kata dan hanya bisa memanggil namanya. Langsung aku berikan sebuah kecupan sayang di pipinya. Malam ini aku benar-benar menjelma sebagai puteri yang paling bahagia di dunia.
Setelah mendapat izindari kedua orangtuaku, Adit menuntunku masuk ke dalam mobilnya.
“Dit, makasih buat semuanya,” ujarku terharu sembari memandang wajahnya di sampingku.
“Itu semua Adit lakukan karena Adit bener-bener sayang sama Rara. Adit nggak mau menyakiti Rara lagi. Maafin Adit kalo selama ini pernah  membuat Rara sakit hati dan kecewa,” kata-kata itu meluncur dari bibirnya. Membuat aku semakin yakin kalo Adit benar-benar tulus mencintaiku.
“Adit sayang kamu, Ra...” ujarnya lagi lalu memberikan sebuah kecupan di keningku. Lagi dan lagi aku hanya bisa tercekat. Aku speechless.
Mobil pun meluncur membelah kepadatan kota Jakarta yang malam ini terasa begitu dingin setelah seharian diguyur hujan. Entah di mana posisiku saat itu. Aku tidak tahu dan merasa asing dengan daerah sekitar sini, tanyaku dalam hati.
“Dit, kita mau kemana?” tanyaku penasaran.
Matanya menatapku sekejap lalu kembali mata itu konsentrasi kedepan, menatap jalan yang ada di hadapnnya. “Tenang sayang, sebentar lagi kita sampai kok. Kenapa, Rara penasaran?”
‘Iya sih... habis, Adit pakai rahasia-rahasia segala, sih!”
“Namanya juga surprise!””
Tak lama kemudian, mobil itu berhenti di tengah jalan. Tepatnya di tengah persawahan. Tak ada satu pun rumah yang berada di sekitar kami. Aku cemas dan ketakutan. “Kok berhenti, Dit? Ada apa?”
“Rara, sebentar lagi kita akan sampai di tempatnya. Jadi...,” sembari memberikan sebuah sapu tangan padaku.
Aku bingung, “Untuk apa?”
“Adit pingin mata Rara tertutup.”
“Tapi untuk apa?” tanyaku lagi.
“Adit ingin Rara lebih penasaran lagi dengan kejutan Adit malam ini. Mungkin hanya sekitar sepuluh menit mata Rara tertutup, setelah itu Rara akan tahu segala kejutan yang telah Adit persiapkan.”
Aku menuruti kata-kata itu. Dengan sigap Adit mengikatkan sapu tangan itu untuk menutup mataku. Terdengar desah nafasnya di telingaku. Membuatku bergidik geli.
Kurasakan mobil itu kembali meluncur, melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan. Aku hanya bisa diam dan menerka-nerka, kejutan apa lagi yang akan Adit berikan untukku? Dalam kegelapan, aku membayangkan kenangan-kenangan terindah yang pernah aku alami bersamanya.
Aku mengenalnya dua tahun lalu di sebuah pesta ultah sahabatku, Dinda. Awalnya kami hanya berkenalan biasa. Nothing special. Entah kenapa, beberapa hari kemudian kita ketemu lagi di sebuah mal. Saat itu aku lagi ingin jalan sendiri makanya aku tolak tawaran Dinda untuk menemaniku. Dia pun demikian, dia ingin menikmati kesendiriannya setelah baru saja ditinggal pergi kekasih hatinya. Lalu kita ngobrol bareng. Sejak itu kami mulai saling telpon dan sms satu sama lain. Yang membuat aku jatuh cinta padanya, karena dia selalu peduli padaku.
Setelah kami pacaran kepeduliannya padaku tak pernah berkurang sama sekali. Hanya sesekali dia tak mau lagi peduli padaku yaitu saat dia sedang asyik dengan hoby dan teman-temannya cowoknya. Tapi begitu dia minta maaf padaku, dia akan meberikan kejutan yang tak pernah aku bayangkan. Mungkin karena hal itu, aku selalu bisa memaafkan segala kesalahannya. Aku selalu berdoa kepada Tuhan, semoga Adit ditakdirkan menjadi belahan jiwaku, kini dan selamanya.

Aku tiba-tiba merasa terlalu lama dalam kegelapan. Waktu sepuluh menit ternyata begitu lama. Apalagi daalm keadaan penasaran dan rasa ketidakpastian.
“Dit... Adit...” aku memanggil nama itu pelan. Tapi tak ada jawaban. Sekali lagi aku mencoba memanggil nama itu dengan volume suara yang lebih tinggi. Namun aku tak berdaya melakukannya. Aku merasa lemah. Sangat lemah.
Kuberanikan diri membuka mata. Aku tak peduli lagi Adit marah karena merusak rencananya. Akan aku jelaskan, aku sudah tak tahan dengan kegelapan yang aku alami. Aku tidak kuat lagi.
Aku kembali merasakan sebuah keanehan. Butuh usaha dan tenaga yang cukup kuat hanya untuk membuak kedua kelopak mataku. Hanya untuk memandang indahnya dunia. Hanya untuk menatap sang belahan jiwa.
Bukan suasana malam pedesaan yang aku temui. Bukan tempat indah yang aku lihat. Bukan juga wajah Adit di hadapanku. Tapi... sebuah ruang. Ruangan serba putih. Tempat yang sangat asing bagiku.
Dengan susah payah aku mengamati sekeliling ruangan itu. Kudapati seorang wanita menangis sedih duduk disampingku. Kudapati benda-benda asing berada di dalam ruangan itu. Aku masih bertanya-tanya, di mana aku sekarang?
Tangisan wanita itu begitu pilu terdengar. Kembali kuamati wajah wanita itu. Wajah yang sepertinya sangat aku kenal. Wajah seseorang yang selalu bisa membuatku tersenyum di kala aku harus menangis. Wajah seseorang yang sangat mencintai aku. Itu mama, jeritku dalam hati.
“Ma...,” panggilku pelan. Wanita itu tetap menangis. Sepertinya suaraku kalah dibanding dengan tangisannya.
“Ma-ma...,” kembali kupanggil wanita itu dan tangisan itu berhenti sejenak. Wanita itu menatapku. Kulihat pancaran kesedihan di wajah tuanya. “Mama....”
Mendengar namanya disebut, langsung wanita itu menghambur ke arahku. Memelukku. Tangisnya kembali pecah. Aku juga tak kuasa menahan desakan airmataku yang ingin keluar. Aku pun menangis. Menangis bersama orang yang sangat kucintai. Berbagi kepedihan, kesedihan, dan penderitaaan bersama.
“Ma... Rara kenapa?” tanyaku setelah aku menyadari aku berada dalam sebuah kamar di rumah sakit.
Dengan berat hati mama menceritakan apa yang aku alami.
Ingatanku kembali ke malam itu. Tak lama setelah Adit melajukan kembali mobilnya, aku hanya mendengar sebuah dentuman keras. Layaknya dua benda keras bertabrakan. Aku hanya bisa mendengar suara itu. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.
Aku hanya bisa kembali menangis mengingat malam itu. Rasa nyeri begitu hebat menyesak dalam dadaku. Aku tak tahu harus berbuat apa untuk mengembalikan semua. Andai waktu bisa terulang kembali, aku akan menolak ajakan Adit., agar semuanya tak akan pernah terjadi. Tapi kini semuanya telah terjadi, sesalku.
Aku hanya bisa merenung, merenung, dan merenung. Tatapanku kososng entah kemana.
Terdengar pintu kamarku terbuka. Terdengar derap langkah memasuki kamar. Aku berharap sosok  manusia yang datang saat itu adalah Adit. Sejak kejadian itu, aku tak tahu sama sekali keadaan Adit. Mama pun tak tahu, padahal aku yakin mama tahu semuanya.
Seketika itu gairah hidupku tumbuh. Aku langsung bersemangat. Kutatap wajah itu. Bukan sosok Adit yang kudapati di sana, tapi Reno. Nyaliku kembali ciut. Gairah hidupku sedikit demi sedikit kembali menyurut. Aku memalingkan muka dari mereka.
“Rara...” panggil Reno. “Hanya ini yang tersisa dan didapatkan di tempat kejadian. Dan benda ini sebenarnya ingin diberikan untukmu malam itu.”
Kurasakan sebuah cincin disematkan di jari manisku.
Oleh Agus Muhajir

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar