Ah, pesta akan berlangsung besok malam. Ike menatap langit dengan mata buram. Gerimis turun lagi. Ike pasrah
“KAMU melihat matahari, Ke?”
Ike tersentak dari lamunan panjangnya.
“Ada matahari, Ke?!” teriak Mama dari dalam kamar lebih keras lagi setelah agak lama tak mendengar sahutan dari Ike.
Ike beranjak dari duduknya, berjalan ke belakang jendela dan menyingkap gorden untuk melihat suasana di luar. Buram? Berkabut? Ike tersentak. Ia mengusap matanya. Matanya yang buram dan berkabut. Ada genangan tipis airmata yang kini mengalir keluar.
Cuaca memang kelam, langit mendung, tapi tidak berkabut. Ike membuka jendela, membiarkan aroma tanah basah akibat hujan deras semalam memasuki rumah dengan lebih leluasa. Dingin.
Sudah jam delapan pagi, tapi langit masih gelap.
“Nggak ada matahari, Ma. Mendung seperti kemarin dan kemarinnya lagi.” Ucapan Ike tak terlalu keras, tapi ia yakin mamanya bisa mendengar ucapannya.
Terdengar gerutuan yang tidak terlalu jelas dari dalam kamar. Suara ribut sebentar, kemudian Mama keluar dari dalam kamar sudah berdandan rapi.
“Rapi benar? Mama mau ke pasar atau...?” Ike menatap keheranan ke arah mamanya setelah yakin tak ada lagi sisa air di matanya.
“Seminar jam sembilan. Tapi kok mendung begini? Jangan-jangan hujan lagi.”
“Seminar?” Ike tak bisa menyembunyikan keheranannya.
“Peluang bisnis baru. Semacam multilevel marketing, tapi yang ini lebih menjanjikan. Mama lagi ingin menjajagi kemungkinan terjun di bisnis itu.”
“Oooh ...” Ike menghela nafas lega. Kemudian merasa iba. Iba sekaligus bangga.
Mama memang wanita yang pantang menyerah. Ia telah mencoba banyak hal untuk mengatasi kesulitan ini, dan sering gagal, tapi mama tak jera untuk mencoba lagi.
“Sarapan untuk Oka ada di kulkas, sisa semalam, tinggal ngangetin.”
“Mama nggak ngebangunin Oka dulu? Anak itu kelewatan bener. Mentang-mentang libur sekolah, lalu bebas nonton siaran langsung sepakbola sampai pagi.”
“Biar aja. Paling sebentar lagi juga bangun.”
“Ma...?”
Mama merandek di dekat pintu dan menoleh. “Ya?”
Ike terlihat gugup dan ragu-ragu.
“Ada apa?”
“Ah, nggak apa-apa.”
“Kamu menyimpan sesuatu?” Mama menatap Ike tanpa berkedip, kemudian berpaling. “Sudahlah, nanti aja kita bicarakan persoalanmu. Sekarang mama harus berangkat. Kalau jalanan macet, mama bisa terlambat tiba disana.”
Mama bergegas, bertongkat payung. Ia harus segera menuju ke halte bis kota.
Sepeninggal mama, Ike kembali duduk terpekur di belakang jendela yang telah dibuka gordennya. Menatap langit muram dari balik kaca. Dan kini Ike tak perlu ragu-ragu lagi untuk menangis. Airmatanya tumpah, mengalir di pipi, dan kemudian jatuh ke lantai di dekat kakinya.
Kenapa keadaan semakin sulit begini?
Kenapa hanya uang seratus ribu rupiah saja bisa membuat situasi begini rumit? Ike yakin Mama masih memiliki seratus ribu. Mungkin masih ada uang sekitar sekitar dua juta rupiah, sisa pesangon dari perusahaan yang mama terima.
Tapi itulah uang mama seluruhnya, yang untuk sementara ini dan entah sampai kapan, mungkin tidak akan bertambah melainkan akan berkurang dengan cepat. Semua harga melonjak mengikuti kenaikan harga BBM yang melangit. Semua serba mahal di jaman yang apa-apa serba pakai uang ini.
Jika mama harus berhemat menggunakan minyak tanah, apakah pantas meminta seratus ribu untuk pesta tahun baru itu?
Kesepakatan telah dicapai bersama. Menyambut malam tahun baru nanti, teman-teman sekelas Ike sudah setuju untuk mengumpulkan uang masing-masing seratus ribu rupiah untuk sebuah pesta yang asyik. Seratus ribu itu sebuah keharusan. Jika tidak, silahkan membuat acara sendiri!
Pantaskah di masa sulit seperti ini meminta seratus ribu rupiah hanya untuk berpesta, sementara mama setiap hari selalu memberi contoh untuk berhemat? Bagi orang lain seratus ribu mungkin bukanlah jumlah yang cukup berarti. Tapi bagi mama, dalam kondisi seperti sekarang ini, seratus ribu rupiah amatlah berat.
Keadaan memang teramat sulit. Kenaikan harga BBM itu membuat perusahaan tempat Mama Ike bekerja melakukan efisiensi habis-habisan yang berbuntut PHK, dan Mama Ike terpaksa harus puas dengan menerima pesangon yang jumlahnya tak seberapa.
Mama memang tak banyak mengeluh, tapi Ike tahu mama amat tertekan. Dan sebagai seorang janda yang juga kepala keluarga, mama tak punya pilihan lain kecuali segera bekerja untuk memperoleh penghasilan. Padahal di masa sulit begini sungguh tak gampang memperoleh pekerjaan baru.
Mama belum mengatakan, tapi Ike sudah bisa membuat perhitungan sendiri. Jika mama tak segera mendapat pekerjaan atau kesibukan yang menghasilkan uang, tidak tertutup kemungkinan Ike akan berhenti sekolah dengan alasan tak ada beaya. Ironis. Seorang gadis dengan otak cemerlang dan segudang prestasi harus putus sekolah lantaran tak bisa membayar sekolah karena kebutuhan sehari-hari harus menjadi prioritas pertama.
Ah, pesta akan berlangsung besok malam. Ike menatap langit dengan mata buram. Gerimis turun lagi. Ike pasrah. Ia akan melewatkan malam pergantian tahun di rumah dalam kesedihan dan kesendirian, sementara teman-temannya akan melewatkannya dalam kebersamaan penuh canda, kenikmatan dan kemewahan.
Sebuah mobil berhenti di tepi jalan, persis di depan rumah.
Andai punya mobil sebagus itu dan dijual, mungkin bisa untuk hidup dua tahun hingga selesai SMA, lamun Ike.
Seorang laki-laki turun dari mobil itu. Tangannya memegang payung yang terbuka. Pergelangan tangannya dihiasi rantai emas yang besar dan mencolok. Pria bergelang emas.
Mama telah menjual seluruh perhiasannya, batin Ike nelangsa.
Ike tersentak dari lamunannya. Pria itu berlari sambil berpayung memasuki halaman rumah.
Bel berbunyi, Ike buru-buru menguakkan pintu.
“Mencari siapa?”
“Ibu Santika ada? Benar disini rumah ibu Santika?” Pria perlente berusia empat puluh tahunan itu tersenyum ramah. Senyum itu seketika menghilangkan bayangan Ike tentang orang kaya yang sombong.
“Mama pergi setengah jam yang lalu.”
“Lama?”
Ike menggeleng. “Saya kurang tahu. Mungkin lama juga.”
“Nomor telepon genggamnya?”
Ike menggeleng lagi. “Mama nggak punya handphone.”
Terlihat ekspresi kekecewaan di wajah pria itu, cuma sebentar. “Kalau begitu sampaikan ke mamamu bahwa Om Barada datang kemari, dan nanti siang akan datang lagi.”
Ike mengangguk.
“Kamu mirip sekali dengan mamamu. Cantik sekali ...”
Ike tersentak. Siapa pria yang seringan ini mengeluarkan pujian? Jangan-jangan... Ah! Ike buru-buru menepis pikiran buruk itu dan mengantar pria itu berlalu dengan senyuman.
Tapi ketika pria itu telah pergi dengan mobil bagusnya, pikiran itu tak kunjung benar-benar sirna. Siapa pria perlente itu? Cuma kenalan mama atau...? Jangan-jangan mama sudah punya pacar!
Ike tersentak dari lamunannya karena bunyi televisi dari dalam kamar. Itu tandanya Oka sudah bangun tidur. Ike berjalan menuju kamarnya dan menghempaskan tubuh mungilnya di atas kasur. Matanya menatap langit-langit kamar yang tak putih lagi. Berbagai bayangan bergantian terpampang di depan matanya. Pesta tahun baru yang meriah tanpa kehadirannya. Hari-hari di tahun baru yang semakin sulit, menunggak uang SPP, keluar dari sekolah!
Siapa pria itu? Pacar Mama? Mama mau menikah lagi dengan orang kaya demi ...
***
Ike terbangun oleh suara-suara itu. Matanya masih berat dan belum mampu terbuka.
Tapi suara-suara itu telah memasuki telinganya lebih jelas.
“Kamu memang gila, Bar.” Suara Mama Ike terdengar nyaring, dan... genit? “Apakah kamu memang orang yang gila kerja atau ...?”
“Terpaksa, Tika. Maunya sih di rumah dan menikmati malam pergantian tahun. Tapi kami benar-benar dikejar waktu. Semua harus segera selesai, diproses akhir di Australia dan beredar bulan Februari. Kamu masih merayakan Vallentine’s Day? Kiranya itu waktu yang tepat untuk sesuatu yang romantis.”
Sesuatu yang romantis?! Ike tersentak. Ia duduk di kasur dan makin menegaskan pendengarannya. Ia yakin bahwa suara itu adalah suara milik pria perlente bergelang emas yang datang tadi pagi.
“Nggak apa-apa. Aku nggak sendiri, puluhan kru mengalami hal yang sama. Senasib.”
Percakapan terus berlanjut. Rupanya ada begitu banyak kenangan yang berusaha mereka satukan. Seringkali Ike mendengar tawa gembira mamanya. Tawa yang sudah lama tak terdengar. Berbunga-bungakah hati mama? Tidak adil! mama bisa segembira itu, sementara hatinya tetap mendung.
Ike kesal. Diambilnya bantal dan ia kembali merebahkan tubuhnya di kasur sambil menutupi telinganya dengan bantal. Ia tak ingin mendengar lagi percakapan di luar itu.
Ike baru menyingkirkan bantal dari telinganya ketika ia menyadari pintu kamarnya dibuka dan mama berdiri dengan senyum terkembang. Pertama kali yang Ike lihat adalah senyum itu. Senyum yang teramat cerah.
“Kamu jadi ikut pesta tahun baru bareng teman-temanmu?”
Ike menggeleng dengan malas.
“Ikutlah,” mama masih tersenyum. “Kamu tinggal menelpon panitia, kan?”
“Tapi seratus ribu?”
“Mama bayar dengan sisa tabungan Mama.”
“Nggak usah, Ma. Ike udah rela nggak ikut pesta itu.”
“Ikutlah. Nanti kamu menyesal. Kesempatan sekali dalam setahun.”
“Tapi ...” Ike tetap ragu.
“Bulan depan Mama sudah terima gaji. Sehari setelah libur tahun baru, Mama bukan pengangguran lagi.”
Ike menatap mamanya tanpa berkedip kemudian menubruk dan memeluknya penuh sukacita. “Syukurlah, Ma. Terimakasih, Tuhan ...”
“Berkat doa kamu,” bisik Mama.
“Pasti berkat kegigihan Mama yang nggak kenal lelah.”
“Andai kamu juga mau bekerja ...” Mama tak segera meneruskan ucapannya. Agak lama sebelum akhirnya: “Maksud Mama, kalau kamu bersedia, kamu juga punya kesempatan untuk mencoba pengalaman baru, memperoleh penghasilan dan punya tabungan sendiri. Memang berat. Tapi di masa serba sulit seperti sekarang ini apa salahnya sekolah sambil bekerja.”
“Multilevel marketing?” Ike melepaskan pelukannya.
“Bukan. Main film.”
“Mimpi kali, ye ...” Ike mencibir.
“Kata Om Barada, kamu cantik sekali.”
“Tadi pagi dia juga memuji begitu.”
“Mama bilang kamu nggak Cuma cantik, tapi juga pandai berakting dan ikut kelompok drama di sekolah.”
“Lalu apa hubungannya?”
“Om Barada itu produser sekaligus sutradara film dan kebetulan sekarang tengah menggarap film remaja yang sebagian mengambil lokasi syuting di kota ini. Om Barada sempat bertanya ke Mama, kamu mau dan boleh main film atau enggak.”
“Mama jangan bercanda!”
“Sungguh! Beliau menawarkan itu. Sekarang memang cuma figuran dengan peran yang amat kecil. Tapi jika kamu memang mampu dan mendapat nilai bagus di mata beliau, siapa tahu Om Barada akan memberikan porsi yang lebih berarti di film dan sinetronnya yang akan datang. Terserah kamu.”
Ike terdiam. Bayangan yang tidak mengenakkan itu kembali memenuhi kepalanya.
“Mama pacaran sama Om Barada?”
“Jangan ngawur!” Mama membentak sangat keras. “Barada itu teman lama Mama. Teman SMA. Dulu kami memang pernah dekat, pacaran atau apalah, tapi kemudian ia lebih memilih Chintya si Kembang Sekolah. Mana mungkin Mama merebut suami teman sendiri!”
Ike menghembuskan nafas keras-keras. Entah kenapa ia kini merasa amat lega.
“Gimana, Ke? Kamu mau enggak?”
Ike masih diam. Ia berjalan keluar, menyongsong cahaya yang masuk ke rumah melewati kaca jendela. Ike membuka pintu dan berdiri di halaman rumah. Ia mendongak ke langit. Hari sudah sore, dan ada matahari yang terang-benderang di atas sana.
***
Oleh Donatus A. Nugroho
“KAMU melihat matahari, Ke?”
Ike tersentak dari lamunan panjangnya.
“Ada matahari, Ke?!” teriak Mama dari dalam kamar lebih keras lagi setelah agak lama tak mendengar sahutan dari Ike.
Ike beranjak dari duduknya, berjalan ke belakang jendela dan menyingkap gorden untuk melihat suasana di luar. Buram? Berkabut? Ike tersentak. Ia mengusap matanya. Matanya yang buram dan berkabut. Ada genangan tipis airmata yang kini mengalir keluar.
Cuaca memang kelam, langit mendung, tapi tidak berkabut. Ike membuka jendela, membiarkan aroma tanah basah akibat hujan deras semalam memasuki rumah dengan lebih leluasa. Dingin.
Sudah jam delapan pagi, tapi langit masih gelap.
“Nggak ada matahari, Ma. Mendung seperti kemarin dan kemarinnya lagi.” Ucapan Ike tak terlalu keras, tapi ia yakin mamanya bisa mendengar ucapannya.
Terdengar gerutuan yang tidak terlalu jelas dari dalam kamar. Suara ribut sebentar, kemudian Mama keluar dari dalam kamar sudah berdandan rapi.
“Rapi benar? Mama mau ke pasar atau...?” Ike menatap keheranan ke arah mamanya setelah yakin tak ada lagi sisa air di matanya.
“Seminar jam sembilan. Tapi kok mendung begini? Jangan-jangan hujan lagi.”
“Seminar?” Ike tak bisa menyembunyikan keheranannya.
“Peluang bisnis baru. Semacam multilevel marketing, tapi yang ini lebih menjanjikan. Mama lagi ingin menjajagi kemungkinan terjun di bisnis itu.”
“Oooh ...” Ike menghela nafas lega. Kemudian merasa iba. Iba sekaligus bangga.
Mama memang wanita yang pantang menyerah. Ia telah mencoba banyak hal untuk mengatasi kesulitan ini, dan sering gagal, tapi mama tak jera untuk mencoba lagi.
“Sarapan untuk Oka ada di kulkas, sisa semalam, tinggal ngangetin.”
“Mama nggak ngebangunin Oka dulu? Anak itu kelewatan bener. Mentang-mentang libur sekolah, lalu bebas nonton siaran langsung sepakbola sampai pagi.”
“Biar aja. Paling sebentar lagi juga bangun.”
“Ma...?”
Mama merandek di dekat pintu dan menoleh. “Ya?”
Ike terlihat gugup dan ragu-ragu.
“Ada apa?”
“Ah, nggak apa-apa.”
“Kamu menyimpan sesuatu?” Mama menatap Ike tanpa berkedip, kemudian berpaling. “Sudahlah, nanti aja kita bicarakan persoalanmu. Sekarang mama harus berangkat. Kalau jalanan macet, mama bisa terlambat tiba disana.”
Mama bergegas, bertongkat payung. Ia harus segera menuju ke halte bis kota.
Sepeninggal mama, Ike kembali duduk terpekur di belakang jendela yang telah dibuka gordennya. Menatap langit muram dari balik kaca. Dan kini Ike tak perlu ragu-ragu lagi untuk menangis. Airmatanya tumpah, mengalir di pipi, dan kemudian jatuh ke lantai di dekat kakinya.
Kenapa keadaan semakin sulit begini?
Kenapa hanya uang seratus ribu rupiah saja bisa membuat situasi begini rumit? Ike yakin Mama masih memiliki seratus ribu. Mungkin masih ada uang sekitar sekitar dua juta rupiah, sisa pesangon dari perusahaan yang mama terima.
Tapi itulah uang mama seluruhnya, yang untuk sementara ini dan entah sampai kapan, mungkin tidak akan bertambah melainkan akan berkurang dengan cepat. Semua harga melonjak mengikuti kenaikan harga BBM yang melangit. Semua serba mahal di jaman yang apa-apa serba pakai uang ini.
Jika mama harus berhemat menggunakan minyak tanah, apakah pantas meminta seratus ribu untuk pesta tahun baru itu?
Kesepakatan telah dicapai bersama. Menyambut malam tahun baru nanti, teman-teman sekelas Ike sudah setuju untuk mengumpulkan uang masing-masing seratus ribu rupiah untuk sebuah pesta yang asyik. Seratus ribu itu sebuah keharusan. Jika tidak, silahkan membuat acara sendiri!
Pantaskah di masa sulit seperti ini meminta seratus ribu rupiah hanya untuk berpesta, sementara mama setiap hari selalu memberi contoh untuk berhemat? Bagi orang lain seratus ribu mungkin bukanlah jumlah yang cukup berarti. Tapi bagi mama, dalam kondisi seperti sekarang ini, seratus ribu rupiah amatlah berat.
Keadaan memang teramat sulit. Kenaikan harga BBM itu membuat perusahaan tempat Mama Ike bekerja melakukan efisiensi habis-habisan yang berbuntut PHK, dan Mama Ike terpaksa harus puas dengan menerima pesangon yang jumlahnya tak seberapa.
Mama memang tak banyak mengeluh, tapi Ike tahu mama amat tertekan. Dan sebagai seorang janda yang juga kepala keluarga, mama tak punya pilihan lain kecuali segera bekerja untuk memperoleh penghasilan. Padahal di masa sulit begini sungguh tak gampang memperoleh pekerjaan baru.
Mama belum mengatakan, tapi Ike sudah bisa membuat perhitungan sendiri. Jika mama tak segera mendapat pekerjaan atau kesibukan yang menghasilkan uang, tidak tertutup kemungkinan Ike akan berhenti sekolah dengan alasan tak ada beaya. Ironis. Seorang gadis dengan otak cemerlang dan segudang prestasi harus putus sekolah lantaran tak bisa membayar sekolah karena kebutuhan sehari-hari harus menjadi prioritas pertama.
Ah, pesta akan berlangsung besok malam. Ike menatap langit dengan mata buram. Gerimis turun lagi. Ike pasrah. Ia akan melewatkan malam pergantian tahun di rumah dalam kesedihan dan kesendirian, sementara teman-temannya akan melewatkannya dalam kebersamaan penuh canda, kenikmatan dan kemewahan.
Sebuah mobil berhenti di tepi jalan, persis di depan rumah.
Andai punya mobil sebagus itu dan dijual, mungkin bisa untuk hidup dua tahun hingga selesai SMA, lamun Ike.
Seorang laki-laki turun dari mobil itu. Tangannya memegang payung yang terbuka. Pergelangan tangannya dihiasi rantai emas yang besar dan mencolok. Pria bergelang emas.
Mama telah menjual seluruh perhiasannya, batin Ike nelangsa.
Ike tersentak dari lamunannya. Pria itu berlari sambil berpayung memasuki halaman rumah.
Bel berbunyi, Ike buru-buru menguakkan pintu.
“Mencari siapa?”
“Ibu Santika ada? Benar disini rumah ibu Santika?” Pria perlente berusia empat puluh tahunan itu tersenyum ramah. Senyum itu seketika menghilangkan bayangan Ike tentang orang kaya yang sombong.
“Mama pergi setengah jam yang lalu.”
“Lama?”
Ike menggeleng. “Saya kurang tahu. Mungkin lama juga.”
“Nomor telepon genggamnya?”
Ike menggeleng lagi. “Mama nggak punya handphone.”
Terlihat ekspresi kekecewaan di wajah pria itu, cuma sebentar. “Kalau begitu sampaikan ke mamamu bahwa Om Barada datang kemari, dan nanti siang akan datang lagi.”
Ike mengangguk.
“Kamu mirip sekali dengan mamamu. Cantik sekali ...”
Ike tersentak. Siapa pria yang seringan ini mengeluarkan pujian? Jangan-jangan... Ah! Ike buru-buru menepis pikiran buruk itu dan mengantar pria itu berlalu dengan senyuman.
Tapi ketika pria itu telah pergi dengan mobil bagusnya, pikiran itu tak kunjung benar-benar sirna. Siapa pria perlente itu? Cuma kenalan mama atau...? Jangan-jangan mama sudah punya pacar!
Ike tersentak dari lamunannya karena bunyi televisi dari dalam kamar. Itu tandanya Oka sudah bangun tidur. Ike berjalan menuju kamarnya dan menghempaskan tubuh mungilnya di atas kasur. Matanya menatap langit-langit kamar yang tak putih lagi. Berbagai bayangan bergantian terpampang di depan matanya. Pesta tahun baru yang meriah tanpa kehadirannya. Hari-hari di tahun baru yang semakin sulit, menunggak uang SPP, keluar dari sekolah!
Siapa pria itu? Pacar Mama? Mama mau menikah lagi dengan orang kaya demi ...
***
Ike terbangun oleh suara-suara itu. Matanya masih berat dan belum mampu terbuka.
Tapi suara-suara itu telah memasuki telinganya lebih jelas.
“Kamu memang gila, Bar.” Suara Mama Ike terdengar nyaring, dan... genit? “Apakah kamu memang orang yang gila kerja atau ...?”
“Terpaksa, Tika. Maunya sih di rumah dan menikmati malam pergantian tahun. Tapi kami benar-benar dikejar waktu. Semua harus segera selesai, diproses akhir di Australia dan beredar bulan Februari. Kamu masih merayakan Vallentine’s Day? Kiranya itu waktu yang tepat untuk sesuatu yang romantis.”
Sesuatu yang romantis?! Ike tersentak. Ia duduk di kasur dan makin menegaskan pendengarannya. Ia yakin bahwa suara itu adalah suara milik pria perlente bergelang emas yang datang tadi pagi.
“Nggak apa-apa. Aku nggak sendiri, puluhan kru mengalami hal yang sama. Senasib.”
Percakapan terus berlanjut. Rupanya ada begitu banyak kenangan yang berusaha mereka satukan. Seringkali Ike mendengar tawa gembira mamanya. Tawa yang sudah lama tak terdengar. Berbunga-bungakah hati mama? Tidak adil! mama bisa segembira itu, sementara hatinya tetap mendung.
Ike kesal. Diambilnya bantal dan ia kembali merebahkan tubuhnya di kasur sambil menutupi telinganya dengan bantal. Ia tak ingin mendengar lagi percakapan di luar itu.
Ike baru menyingkirkan bantal dari telinganya ketika ia menyadari pintu kamarnya dibuka dan mama berdiri dengan senyum terkembang. Pertama kali yang Ike lihat adalah senyum itu. Senyum yang teramat cerah.
“Kamu jadi ikut pesta tahun baru bareng teman-temanmu?”
Ike menggeleng dengan malas.
“Ikutlah,” mama masih tersenyum. “Kamu tinggal menelpon panitia, kan?”
“Tapi seratus ribu?”
“Mama bayar dengan sisa tabungan Mama.”
“Nggak usah, Ma. Ike udah rela nggak ikut pesta itu.”
“Ikutlah. Nanti kamu menyesal. Kesempatan sekali dalam setahun.”
“Tapi ...” Ike tetap ragu.
“Bulan depan Mama sudah terima gaji. Sehari setelah libur tahun baru, Mama bukan pengangguran lagi.”
Ike menatap mamanya tanpa berkedip kemudian menubruk dan memeluknya penuh sukacita. “Syukurlah, Ma. Terimakasih, Tuhan ...”
“Berkat doa kamu,” bisik Mama.
“Pasti berkat kegigihan Mama yang nggak kenal lelah.”
“Andai kamu juga mau bekerja ...” Mama tak segera meneruskan ucapannya. Agak lama sebelum akhirnya: “Maksud Mama, kalau kamu bersedia, kamu juga punya kesempatan untuk mencoba pengalaman baru, memperoleh penghasilan dan punya tabungan sendiri. Memang berat. Tapi di masa serba sulit seperti sekarang ini apa salahnya sekolah sambil bekerja.”
“Multilevel marketing?” Ike melepaskan pelukannya.
“Bukan. Main film.”
“Mimpi kali, ye ...” Ike mencibir.
“Kata Om Barada, kamu cantik sekali.”
“Tadi pagi dia juga memuji begitu.”
“Mama bilang kamu nggak Cuma cantik, tapi juga pandai berakting dan ikut kelompok drama di sekolah.”
“Lalu apa hubungannya?”
“Om Barada itu produser sekaligus sutradara film dan kebetulan sekarang tengah menggarap film remaja yang sebagian mengambil lokasi syuting di kota ini. Om Barada sempat bertanya ke Mama, kamu mau dan boleh main film atau enggak.”
“Mama jangan bercanda!”
“Sungguh! Beliau menawarkan itu. Sekarang memang cuma figuran dengan peran yang amat kecil. Tapi jika kamu memang mampu dan mendapat nilai bagus di mata beliau, siapa tahu Om Barada akan memberikan porsi yang lebih berarti di film dan sinetronnya yang akan datang. Terserah kamu.”
Ike terdiam. Bayangan yang tidak mengenakkan itu kembali memenuhi kepalanya.
“Mama pacaran sama Om Barada?”
“Jangan ngawur!” Mama membentak sangat keras. “Barada itu teman lama Mama. Teman SMA. Dulu kami memang pernah dekat, pacaran atau apalah, tapi kemudian ia lebih memilih Chintya si Kembang Sekolah. Mana mungkin Mama merebut suami teman sendiri!”
Ike menghembuskan nafas keras-keras. Entah kenapa ia kini merasa amat lega.
“Gimana, Ke? Kamu mau enggak?”
Ike masih diam. Ia berjalan keluar, menyongsong cahaya yang masuk ke rumah melewati kaca jendela. Ike membuka pintu dan berdiri di halaman rumah. Ia mendongak ke langit. Hari sudah sore, dan ada matahari yang terang-benderang di atas sana.
***
Oleh Donatus A. Nugroho
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar