“Halo semua!” sapaku sambil melambaikan tangan ke seluruh penghuni kelas itu. Mereka mengerubungi aku dengan tatapan penuh tanya dan sedikit curiga.
Bruk!
“Kalo jalan liat-liat dong!”
“Punya mata nggak sih?!”
“Sorry…” Aku mengulurkan tangan ke arah seorang gadis yang baru saja kutabrak. Gadis itu menepisnya. Berusaha bangkit. Aku hanya meringis.
Seperti tak puas dengan permintaan maafku, kedua temannya terus saja memaki-maki aku. Aku hanya membalas makian itu dengan senyum, sebelum ketiganya berlalu meninggalkan aku. “Hm, cantik juga…”
“Mas Denny?” tegur seorang cewek seusia kakak perempuanku.
Aku merengut. “Nama depan saya bukan Tomas, Mbak.”
Cewek yang tubuh suburnya berbalut sweater itu tersenyum nyaris tertawa. “Iya deh. Hmm… Denny.”
“Nah, begitu kan lebih asyik. Masa anak seimut saya disamain sama Mas-mas tukang becak?”
Kembali cewek bertubuh subur itu memamerkan deretan giginya yang cukup pantas dijadiin model pasta gigi atau sikat gigi. “Mbak Dian sudah menunggu di bangku VIP.”
“Wah, Mbak curang nih!”
“Curang?” cewek itu mengerutkan keningnya, “curang kenapa?”
“Mbak tau nama saya, tapi saya nggak dikasih tau nama Mbak.”
“Panggil saja Mbak Ratna. Saya asisten pribadinya Mbak Dian.” Katanya sambil memamerkan gigi-giginya yang putih itu.
“Nah, gitu dong. Jadi kalo polisi nanya, saya bisa jawab siapa orang yang membawa saya.”
“Polisi?” kembali Mbak Ratna menampakkan raut bingung.
“Siapa tau aja Mbak Ratna mau nyulik saya.”
“Ha ha ha…” kali ini dia nggak mampu menahan tawanya, “Udah, ah, becandanya!”
“Filmnya udah mulai ya?”
“Belom. Sebentar lagi.”
“Papa sama Mama datang juga.”
“Iya. Mereka semua ada bersama kakakmu di bangku VIP.”
Mbak Ratna segera menggiringku ke teater satu tempat film yang diproduksi Mbak Dian diputar.
Buru-buru aku meninggalkan kasur busa yang aku gelar di lantai kamar kosku. Melesat cepat dengan satu tujuan: kamar mandi! Sepuluh menit kemudian aku sudah keluar dari ruangan berukuran 2 X 2 meter itu.
“Uh… di mana sih seragam sekolahku?”
Aku memang belum sempat merapikan barang-barangku, sejak menempati kamar kos ini. Mungkin masih di dalam kéril? Yup! Ketemu juga. Aku sama sekali gak membutuhkan waktu lama untuk mengenakan seragam itu, sebelum berdiri di muka cermin, merapikan rambutku yang mulai menyentuh pundak. Beres! Aku tersenyum memandangi penampilanku.
Hari pertama masuk ke sekolah, harus memberikan kesan yang luar biasa.
Aku menyambar jaket jeans yang tergantung di kapstok belakang pintu. Memeriksa katung depannya, apakah kunci Vespaku masih ada di sana. Ternyata memang masih di sana. Aku membuka pintu kamar.
“Wah, rajin sekali Mas… pagi-pagi buta begini sudah mau berangkat ke sekolah?” tegur Pak Sastro, pemilik kamar kos yang kutempati itu sedang menikmati sarapan pagi di beranda depan rumahnya.
“Di depok jam tujuh masih gelap ya, Pak?” aku mendongak menatap langit.
“Hua ha ha…” pria paro baya itu terbahak sampai makanan yang sedang dikunyahnya berhamburan keluar dari mulutnya. “Wah… kamu suka bercanda, rupanya…”
“Lho, jam dinding di kamar saya…”
“Baterainya belum sempat diganti sejak penghuni yang lama keluar tiga bulan yang lalu,” terangnya, “Sekarang baru setengah enam.”
Aku hanya bisa garuk-garuk kepala. Sebelum melangkahkan kaki kembali ke kamar.
“Mau ke mana toh? ndak mau ngeteh-ngeteh dulu?”
“Mau Subuhan dulu, Pak!” kataku sambil tersenyum.
“Kalau sudah selesai jangan langsung berangkat ya, temani bapak ngeteh dulu.”
Aku tersenyum mengangguk. Keramahan Pak Sastro membuat aku serasa di rumah Abah di Lembang. Sedang apa ya beliau? Biasanya jam segini Abah udah berangkat ngontrol kebun tehnya.
Papa yang memaksa aku pindah sekolah. “Kamu harus bantu-bantu Papa. Kamu kan anak lelaki Papa satu-satunya.”
“Kan ada Mbak Dian, Pa,” ujarku, “Denny kan masih sekolah. Tar malah nggak fokus lagi…”
“Justru karena kamu masih sekolah,” kata Papa, “Tahun depan Mbakmu itu mau melanjutkan kuliah ke luar negeri. Dapat beasiswa dari salah satu Universitas ternama di London.”
“Wah, hebat banget!”
“Kalau kamu mau hebat, harus banyak belajar dari dia.”
“Oke deh, Pa!” kataku menyetujui, “Tapi ada syaratnya.”
“Sama orangtua sendiri pakai syarat-syaratan segala.”
“Denny nggak minta mecem-macem, Pa. Denny cuma mau pindah kalo dibolehin kos.”
“Tinggal di rumah sendiri kenapa sih?”
“Nggak seru, Pa. Denny kan mau belajar mandiri.”
“Iya deh, iya…”
“Satu lagi.”
“Apa?”
“Tabungan Denny nggak cukup nih buat beli Vespa tua.”
“Ya, udah. Uang tabungan kamu jangan diotak-atik. Nanti Papa belikan motor Vespa. Papa kira kamu mau beli mobil…”
Begitulah. Akhirnya aku terdampar di kota Depok ini.
Selepas menikmati teh hangat dan pisang goreng buatan Bu Sastro, aku meluncur tenang di aspal jalanan kota Depok. Kota ini lumayan semerawut. Yah, hampir nggak ada bedanya sama Bandung, kota tempat tinggalku terdahulu, kecuali cuacanya yang nggak bisa dibandingin sama Bandung yang suejuk abis!
Eh, alamat sekolah aku di mana ya?
“Wah, aku lupa tanya!”
Aku menepikan Vespaku. Aku merasakan getaran di saku jaketku. Ada SMS masuk. Dari Mama!
Aku menekan tombol call. Sesaat kemudian terdengar nada sambung.
“Assalamu alaikum, Ma!”
“Waalaikum salam,” jawab Mama, “Kamu udah sarapan?”
“Teh hangat plus pisang goreng buatan ibu kos, Ma! Mereka baik sekali.”
“Wah, syukurlah. Mama jadi tenang.”
“Denny lagi jalan ke sekolah. Tapi Denny lagi bingung, Ma…”
“Bingung kenapa?”
“Alamat sekolah baru Denny di mana ya?”
“Ya, ampun!”
“He he he…” Aku meringis.
“Sebentar Mama tanya sama Papa, ya.”
“Lho, emang Mama gak tau?”
“Mama juga lupa…” terdengar suara tawa Mama di seberang sana.
Dasar, Mama sama anak sama saja. Sama-sama pikunnya!
Vespaku berhenti di depan sebuah gerbang sekolah. Di atasnya ada plang besar bertuliskan SMU Favorit. Jadi ini sekolah baruku. Hm… lumayan besar juga. Lebih besar dari sekolah lamaku di Bandung.
Tin… tin… tin…
Suara klakson mobil seperti anjing penjaga yang menyalak galak meminta aku untuk segera enyah. Aku menoleh. Bumper sedan mewah itu hanya bebarapa centi saja dari Vespaku. Kulihat pengendaranya melambai-lambai tangan meminta aku segera enyah dari hadapan mereka.
“Huh, sombongnya!”
Traaannnnkkk… Traaaannnkkk… kumainkan gas motorku, membiarkan buangan asap kenalpotnya menyembur, menciptakan kabut tebal. Orang-orang membekap telinganya. Knalpot Vespa tahun tua memang lebih rombeng dari kaleng rombeng sekali pun. Seorang satpam memperingatkanku. Aku hanya tersenyum. Mengangguk.
Setelah puas membuat pengendara sedan mewah berteriak-teriak dongkol, aku baru angkat roda vespa dari gerbang sekolah itu. Satpam yang tadi menegurku menunjukkan tempat motor-motor diparkirkan. Hampir kebanyakan motor-motor mewah keluaran tahun muda. Vespaku jadi kelihatan seperti seorang kekek tua yang centil, karen warna merahnya cukup membuatnya jadi pusat perhatian.
“Hai!” tegur seorang cowok berperawakan kucel, memarkir motor Vespanya yang penuh airbrush, di sebelah Vespaku. “Tahun berapa?”
“Gue?”
“Motor vespa lo!”
“Oh… tahun 65,” jawabku, “Punya lo?”
“Lima tahun lebih muda dari motor lo.” Matanya seperti meneliti aku, “Anak baru ya?”
“Lho, kok tau?”
“Ya tau lah!” katanya lagi, “Cuma anak baru yang pake seragam abu-abu pas hari senin.”
Aku melihat celana panjang kotak-kotak yang dikenakannya. “Tapi bisa aja kan celana gue lagi dicuci?” elakku.
“Persoalannya, gak ada anak sekolah sini yang bawa Vespa tua selain gue.”
Aku tersenyum, “Nama gue Denny!” kataku menyodorkan telapak tangan.
“Gue Rivo.” Cowok itu menyambutnya. “Di kelas berapa?”
“Belom tau.”
“Udah di kelas gue aja!” tawarnya, “ceweknya cakep-cakep!”
Seorang cewek berambut ikal turun dari sedan mewah yang tadi kukerjai. Lho… itu kan… wah, ternyata dia sekolah di sini!
“Kalo cewek itu di kelas berapa?” tunjukku ke arah cewek cantik yang kini tampak asyik berbincang dengan kedua temannya, sebelum mereka melangkahkan kaki dan menghilang di tikungan. Kulihat sedan yang dikendarai oleh sopirnya meninggalkan pekarangan sekolah.
“Dia anak kelas I A.”
“Sekelas sama elo?”
“Nggak. Kelas gue di sebelahnya.”
“Di kelas lo ada yang lebih cantik dari dia?”
“Wah, dia mah cewek tercantik di sekolah ini!”
“Namanya?”
“Ela Aurora Alexandra.”
“Oke, sampe ketemu ya!” kataku menepuk pundak Rivo, sebelum melangkahkan kaki menjauhi cowok kucel itu.
“Mau ke mana?” panggil Rivo.
“Ke kelas 1 A!”
Masih sempat kulihat Rivo tersenyum menggeleng-gelengkan kepala.
Hmm… ini dia kelasnya. Sebuah papan kecil bertuliskan Kelas I A melekat di bagian atas pintu kelas itu. Aku melangkahkan kaki masuk ke dalamnya. Rupanya penghuni kelas ini cukup rajin juga. Sudah banyak siswa yang hadir di sana.
“Halo semua!” sapaku sambil melambaikan tangan ke seluruh penghuni kelas itu. Mereka mengerubungi aku dengan tatapan penuh tanya dan sedikit curiga. Aku celingukan mencari-cari cewek bernama Ela Aurora Alexandra. Di mana mejanya?
Mataku berkeliling mencari bangku yang masih tersisa.
“Di pojok dekat jendela gak ada yang dudukin,” kata seorang gadis berwajah agak manis berambut agak kecoklatan sambil agak tersenyum ke arahku, menunjuk bangku di belakang tempat duduknya.
Aku tersenyum sebelum melemparkan tas di atas meja.
“Anak baru ya?”
“Kok nuduh?” Aku mengempaskan tubuh di bangku sebelah gadis yang kupikir agak tomboy itu. “Nama gue Denny!”
“Siapa?” Tanya gadis itu.
“D-e-n-n-y,” ejaku, “Denny!” ulangku menegaskan.
“Yang nanya?”
Aku tersenyum kecut. Kena deh gue… cewek yang kupikir agak tomboy itu tertawa terbahak.
“Nama lo siapa sih?” tanyaku kemudian.
“Mau ngebales nih?” masih menyisakan tawa.
Aku menggeleng. “Gue nggak pendendam kok. Apalagi sama cewek manis kayak elo!”
“Gula kaleee manis!” katanya berseloroh, “Gue Anggun!”
“Hah?” mataku membulat.
“Elo mo bilang anggota ragunan kan?!” cewek itu mengepalkan tinjunya.
“Orang Depok demen nuduh, ya?” kataku, “Gue cuma heran aja, masa cewek tomboy namanya Anggun. Gak cocok ah.”
“Cocoknya apa?”
“Kipli!” ujarku, disusul tawa. Sebuah tinju ringan mendarat telak di lengan atasku.
“Tadi lo bilang anak Depok demen nuduh,” kata Anggun setelah tawaku mereda, “Emang elo anak mana?”
“Gue lahir di Jakarta. Tapi sejak SMP sekolah di Bandung. Abis gue hopeless sama Jakarta yang panas.”
“Terus, kenapa lo pindah ke mari?”
“Bokap gue yang maksa. Dia gak tahan jauh-jauh dari anaknya yang keren ini.”
“Huuuu! Narsis abis lo.”
Suara bel mengudara. Para siswa segera berhamburan ke kelasnya masing-masing.
“Minggir lo!” kata Anggun mengusirku dari bangku yang tengah kududuki. Seorang gadis tersenyum berdiri di belakang tubuhku. Aku segera menyingkir ke meja di belakang tempat duduk mereka.
There she is! Aku benar-benar dibuat terpana oleh gemulai langkah Ela Aurora Alexandra bersama ketiga temannya.
“Awas nanti ilernya netes!”
“Hah?” aku buru-buru memeriksa ujung mulutku. Tak ada liur yang menggantung di sana. Kulihat Anggun dan teman sebangkunya terpingkal. “Huh! Nggak lucu!”
Kulihat Ela memalingkan wajahnya ke arahku. Tatapannya menyiratkan sebuah tanya. Anak mana nih nyasar ke sini? Begitu kali kalo diterjemahin ke dalam bentuk kalimat. Salah seorang temannya seperti menyadari sesuatu. Dia mencolek lengan Ela, sebelum membisikkan sesuatu ke telinganya. Lalu ketiganya berjalan menghampiri mejaku.
“Elo kan yang waktu di bioskop…”
“Nabrak elo!” sambarku memutus kalimat Ela.
“Mau apa lo di sini?”
“Kenalin,” Aku mengulurkan tangan, “Gue anak baru di kelas ini. Nama gue Denny.”
Ela tidak segera menyambut uluran tanganku. Dia seperti berpikir sesuatu, sambil memandangi diriku dari ujung rambut sampai ujung sepatu. “Hmm… boleh juga,” katanya sambil tersenyum ke arah kedua temannya, sebelum kembali menatapku, “Oke deh Denny, elo udah tau kan nama gue?”
Aku mengangguk-angguk sebelum menarik tanganku kembali. Hmm… sombong juga neh anak… Aku membalas senyum ketiga cewek itu. Senyum yang menyimpan sejuta makna. Lihat aja nanti!
Seorang pria berkaca mata, berambut jarang masuk ke dalam kelas. Suasana menjadi hening. Kayaknya guru killer nih. Aku mencolek bahu Anggun. Cewek tomboy itu menoleh takut-takut.
“Siapa?” kataku berbisik.
“Pak Andi Suhandi.”
“Galak ya?”
“Banget!”
Baru saja Anggun selesai mengucapkan itu, sebuah spidol meluncur deras ke arahku. Untung aku pernah diajarin silat sama Abah, jadi hup! Spidol itu berhasil aku tangkap. Tapi… Pletak! Sebuah penghapus mampir di jidatku. Aduuuuhhh… Guru killer itu tersenyum penuh kemenangan.
Aku berinisiatif mengembalikan spidol dan penghapus itu ke meja Pak Andi.
“Ternyata kamu nggak sehebat yang Bapak bayang kan. Tapi lumayan…” Pak Andi menepuk bahuku, “Baru kamu seorang yang bisa menangkap lemparan Bapak.”
Aku hanya meringis saja.
“Sepertinya… bapak tidak pernah melihat kamu sebelumnya?”
“Saya anak baru, Pak,” terangku, “Pindahan dari Bandung.”
Pak Andi mempersilahkan aku duduk kembali. Bel tanda selesainya jam pelajaran Pak Andi hampir habis, saat seorang lelaki berkemeja biru motif garis-garis menapakkan kakinya di kelas, dengan sebuah map di tangannya.
“Maaf mengganggu,” dia memohon ijin pada Pak Andi.
“Oh, silahkan. Jam pelajaran saya sudah selesai.”
Lalu lelaki berkemeja itu menatap ke arah bangku murid. “Ada anak baru yang namanya Denny?”
Semua mata segera menyerbu ke arahku. Aku menoleh ke belakang seolah mencari-cari sesuatu, sebelum menyadari kalau yang mereka tatap itu adalah aku. He he he…
“Saya Pak!” Aku mengacungkan telunjuk ke udara.
“Kelas kamu bukan di sini. Tapi di kelas sebelah. Kelas I B.”
“Yah, saya udah terlanjur betah di sini.”
“Waduh… gimana ya? Habis wakasek bidang kesiswaan sudah terlanjur menempatkan kamu di kelas I B.”
Dengan enggan kulangkahkan kaki meninggalkan kelas, setelah sebelumnya mengucapkan kata-kata pada anak-anak di kelas itu, “Maaf, sepertinya kalian belum beruntung bisa jadi teman sekelas saya! Gak usah kecewa ya!”
“Huuuuuuu…!!!” seru mereka semua nyaris bersamaan, membuat kelas menjadi gaduh. Aku memutuskan untuk selekasnya angkat kaki sebelum mereka melempariku dengan apa saja!
Rivo langsung tertawa ngakak begitu melihat aku diantar oleh pria berkemeja – yang belakangan baru kutahu bernama Pak Somad, berkerja di bagian administrasi SMU Favorit itu –ke kelasnya, kelas I B. Dia melambaikan tangannya ke arahku. Aku berjalan menghampirinya.
“Nggak jadi sekelas sama Ela nih?”
Aku hanya tersenyum meringis. “Masih kosong?” Aku menunjuk bangku di sebelahnya.
“Ada yang nempatin. Tapi hari ini lagi nggak masuk. Namanya Chirex.”
“Apa?” tanyaku, “Cireng? Kayak nama makanan aja…”
“Chirex! Chirex!” ulang Rivo keki, “Nama sebenernya sih Nurhadiansyah.”
“Kalo meja belakang?” Aku menunjuk meja kosong di belakang bangku Rivo.
“Kosong. Baru kemaren penghuninya mati dibunuh.”
“Hah, yang bener lo?!”
“Tuh, mayatnya masih terkapar di situ!” telunjuknya mengarah ke kolong meja belakangnya. Ada seekor kecoa terkapar tak bernyawa.
“Ah, gue kira beneran…”
“Woi, anak baru!” teriak salah seorang penghuni kelas itu. “Kenalin dong nama lo!”
Aku langsung angkat kaki ke depan kelas. Mempersembahkan senyum termanis pada teman-teman baruku itu.
“Oke, tenang ya semuanya. Kalian siapin aja kertas sama pulpennya. Nanti gue tanda tanganin!”
Suiiing… puluhan pulpen bercampur dengan pinsil melayang ke arahku.
Oleh Donald Ducky
Bruk!
“Kalo jalan liat-liat dong!”
“Punya mata nggak sih?!”
“Sorry…” Aku mengulurkan tangan ke arah seorang gadis yang baru saja kutabrak. Gadis itu menepisnya. Berusaha bangkit. Aku hanya meringis.
Seperti tak puas dengan permintaan maafku, kedua temannya terus saja memaki-maki aku. Aku hanya membalas makian itu dengan senyum, sebelum ketiganya berlalu meninggalkan aku. “Hm, cantik juga…”
“Mas Denny?” tegur seorang cewek seusia kakak perempuanku.
Aku merengut. “Nama depan saya bukan Tomas, Mbak.”
Cewek yang tubuh suburnya berbalut sweater itu tersenyum nyaris tertawa. “Iya deh. Hmm… Denny.”
“Nah, begitu kan lebih asyik. Masa anak seimut saya disamain sama Mas-mas tukang becak?”
Kembali cewek bertubuh subur itu memamerkan deretan giginya yang cukup pantas dijadiin model pasta gigi atau sikat gigi. “Mbak Dian sudah menunggu di bangku VIP.”
“Wah, Mbak curang nih!”
“Curang?” cewek itu mengerutkan keningnya, “curang kenapa?”
“Mbak tau nama saya, tapi saya nggak dikasih tau nama Mbak.”
“Panggil saja Mbak Ratna. Saya asisten pribadinya Mbak Dian.” Katanya sambil memamerkan gigi-giginya yang putih itu.
“Nah, gitu dong. Jadi kalo polisi nanya, saya bisa jawab siapa orang yang membawa saya.”
“Polisi?” kembali Mbak Ratna menampakkan raut bingung.
“Siapa tau aja Mbak Ratna mau nyulik saya.”
“Ha ha ha…” kali ini dia nggak mampu menahan tawanya, “Udah, ah, becandanya!”
“Filmnya udah mulai ya?”
“Belom. Sebentar lagi.”
“Papa sama Mama datang juga.”
“Iya. Mereka semua ada bersama kakakmu di bangku VIP.”
Mbak Ratna segera menggiringku ke teater satu tempat film yang diproduksi Mbak Dian diputar.
***
“Huuuaaaa…” aku membuka mata. What? Udah jam 7 lewat!Buru-buru aku meninggalkan kasur busa yang aku gelar di lantai kamar kosku. Melesat cepat dengan satu tujuan: kamar mandi! Sepuluh menit kemudian aku sudah keluar dari ruangan berukuran 2 X 2 meter itu.
“Uh… di mana sih seragam sekolahku?”
Aku memang belum sempat merapikan barang-barangku, sejak menempati kamar kos ini. Mungkin masih di dalam kéril? Yup! Ketemu juga. Aku sama sekali gak membutuhkan waktu lama untuk mengenakan seragam itu, sebelum berdiri di muka cermin, merapikan rambutku yang mulai menyentuh pundak. Beres! Aku tersenyum memandangi penampilanku.
Hari pertama masuk ke sekolah, harus memberikan kesan yang luar biasa.
Aku menyambar jaket jeans yang tergantung di kapstok belakang pintu. Memeriksa katung depannya, apakah kunci Vespaku masih ada di sana. Ternyata memang masih di sana. Aku membuka pintu kamar.
“Wah, rajin sekali Mas… pagi-pagi buta begini sudah mau berangkat ke sekolah?” tegur Pak Sastro, pemilik kamar kos yang kutempati itu sedang menikmati sarapan pagi di beranda depan rumahnya.
“Di depok jam tujuh masih gelap ya, Pak?” aku mendongak menatap langit.
“Hua ha ha…” pria paro baya itu terbahak sampai makanan yang sedang dikunyahnya berhamburan keluar dari mulutnya. “Wah… kamu suka bercanda, rupanya…”
“Lho, jam dinding di kamar saya…”
“Baterainya belum sempat diganti sejak penghuni yang lama keluar tiga bulan yang lalu,” terangnya, “Sekarang baru setengah enam.”
Aku hanya bisa garuk-garuk kepala. Sebelum melangkahkan kaki kembali ke kamar.
“Mau ke mana toh? ndak mau ngeteh-ngeteh dulu?”
“Mau Subuhan dulu, Pak!” kataku sambil tersenyum.
“Kalau sudah selesai jangan langsung berangkat ya, temani bapak ngeteh dulu.”
Aku tersenyum mengangguk. Keramahan Pak Sastro membuat aku serasa di rumah Abah di Lembang. Sedang apa ya beliau? Biasanya jam segini Abah udah berangkat ngontrol kebun tehnya.
Papa yang memaksa aku pindah sekolah. “Kamu harus bantu-bantu Papa. Kamu kan anak lelaki Papa satu-satunya.”
“Kan ada Mbak Dian, Pa,” ujarku, “Denny kan masih sekolah. Tar malah nggak fokus lagi…”
“Justru karena kamu masih sekolah,” kata Papa, “Tahun depan Mbakmu itu mau melanjutkan kuliah ke luar negeri. Dapat beasiswa dari salah satu Universitas ternama di London.”
“Wah, hebat banget!”
“Kalau kamu mau hebat, harus banyak belajar dari dia.”
“Oke deh, Pa!” kataku menyetujui, “Tapi ada syaratnya.”
“Sama orangtua sendiri pakai syarat-syaratan segala.”
“Denny nggak minta mecem-macem, Pa. Denny cuma mau pindah kalo dibolehin kos.”
“Tinggal di rumah sendiri kenapa sih?”
“Nggak seru, Pa. Denny kan mau belajar mandiri.”
“Iya deh, iya…”
“Satu lagi.”
“Apa?”
“Tabungan Denny nggak cukup nih buat beli Vespa tua.”
“Ya, udah. Uang tabungan kamu jangan diotak-atik. Nanti Papa belikan motor Vespa. Papa kira kamu mau beli mobil…”
Begitulah. Akhirnya aku terdampar di kota Depok ini.
Selepas menikmati teh hangat dan pisang goreng buatan Bu Sastro, aku meluncur tenang di aspal jalanan kota Depok. Kota ini lumayan semerawut. Yah, hampir nggak ada bedanya sama Bandung, kota tempat tinggalku terdahulu, kecuali cuacanya yang nggak bisa dibandingin sama Bandung yang suejuk abis!
Eh, alamat sekolah aku di mana ya?
“Wah, aku lupa tanya!”
Aku menepikan Vespaku. Aku merasakan getaran di saku jaketku. Ada SMS masuk. Dari Mama!
Apa kabar anak ganteng?
Sender: Mama 0811900003
Sent: 10 Jan 2005 06:45:53
Aku menekan tombol call. Sesaat kemudian terdengar nada sambung.
“Assalamu alaikum, Ma!”
“Waalaikum salam,” jawab Mama, “Kamu udah sarapan?”
“Teh hangat plus pisang goreng buatan ibu kos, Ma! Mereka baik sekali.”
“Wah, syukurlah. Mama jadi tenang.”
“Denny lagi jalan ke sekolah. Tapi Denny lagi bingung, Ma…”
“Bingung kenapa?”
“Alamat sekolah baru Denny di mana ya?”
“Ya, ampun!”
“He he he…” Aku meringis.
“Sebentar Mama tanya sama Papa, ya.”
“Lho, emang Mama gak tau?”
“Mama juga lupa…” terdengar suara tawa Mama di seberang sana.
Dasar, Mama sama anak sama saja. Sama-sama pikunnya!
Tin… tin… tin…
Suara klakson mobil seperti anjing penjaga yang menyalak galak meminta aku untuk segera enyah. Aku menoleh. Bumper sedan mewah itu hanya bebarapa centi saja dari Vespaku. Kulihat pengendaranya melambai-lambai tangan meminta aku segera enyah dari hadapan mereka.
“Huh, sombongnya!”
Traaannnnkkk… Traaaannnkkk… kumainkan gas motorku, membiarkan buangan asap kenalpotnya menyembur, menciptakan kabut tebal. Orang-orang membekap telinganya. Knalpot Vespa tahun tua memang lebih rombeng dari kaleng rombeng sekali pun. Seorang satpam memperingatkanku. Aku hanya tersenyum. Mengangguk.
Setelah puas membuat pengendara sedan mewah berteriak-teriak dongkol, aku baru angkat roda vespa dari gerbang sekolah itu. Satpam yang tadi menegurku menunjukkan tempat motor-motor diparkirkan. Hampir kebanyakan motor-motor mewah keluaran tahun muda. Vespaku jadi kelihatan seperti seorang kekek tua yang centil, karen warna merahnya cukup membuatnya jadi pusat perhatian.
“Hai!” tegur seorang cowok berperawakan kucel, memarkir motor Vespanya yang penuh airbrush, di sebelah Vespaku. “Tahun berapa?”
“Gue?”
“Motor vespa lo!”
“Oh… tahun 65,” jawabku, “Punya lo?”
“Lima tahun lebih muda dari motor lo.” Matanya seperti meneliti aku, “Anak baru ya?”
“Lho, kok tau?”
“Ya tau lah!” katanya lagi, “Cuma anak baru yang pake seragam abu-abu pas hari senin.”
Aku melihat celana panjang kotak-kotak yang dikenakannya. “Tapi bisa aja kan celana gue lagi dicuci?” elakku.
“Persoalannya, gak ada anak sekolah sini yang bawa Vespa tua selain gue.”
Aku tersenyum, “Nama gue Denny!” kataku menyodorkan telapak tangan.
“Gue Rivo.” Cowok itu menyambutnya. “Di kelas berapa?”
“Belom tau.”
“Udah di kelas gue aja!” tawarnya, “ceweknya cakep-cakep!”
Seorang cewek berambut ikal turun dari sedan mewah yang tadi kukerjai. Lho… itu kan… wah, ternyata dia sekolah di sini!
“Kalo cewek itu di kelas berapa?” tunjukku ke arah cewek cantik yang kini tampak asyik berbincang dengan kedua temannya, sebelum mereka melangkahkan kaki dan menghilang di tikungan. Kulihat sedan yang dikendarai oleh sopirnya meninggalkan pekarangan sekolah.
“Dia anak kelas I A.”
“Sekelas sama elo?”
“Nggak. Kelas gue di sebelahnya.”
“Di kelas lo ada yang lebih cantik dari dia?”
“Wah, dia mah cewek tercantik di sekolah ini!”
“Namanya?”
“Ela Aurora Alexandra.”
“Oke, sampe ketemu ya!” kataku menepuk pundak Rivo, sebelum melangkahkan kaki menjauhi cowok kucel itu.
“Mau ke mana?” panggil Rivo.
“Ke kelas 1 A!”
Masih sempat kulihat Rivo tersenyum menggeleng-gelengkan kepala.
Hmm… ini dia kelasnya. Sebuah papan kecil bertuliskan Kelas I A melekat di bagian atas pintu kelas itu. Aku melangkahkan kaki masuk ke dalamnya. Rupanya penghuni kelas ini cukup rajin juga. Sudah banyak siswa yang hadir di sana.
“Halo semua!” sapaku sambil melambaikan tangan ke seluruh penghuni kelas itu. Mereka mengerubungi aku dengan tatapan penuh tanya dan sedikit curiga. Aku celingukan mencari-cari cewek bernama Ela Aurora Alexandra. Di mana mejanya?
Mataku berkeliling mencari bangku yang masih tersisa.
“Di pojok dekat jendela gak ada yang dudukin,” kata seorang gadis berwajah agak manis berambut agak kecoklatan sambil agak tersenyum ke arahku, menunjuk bangku di belakang tempat duduknya.
Aku tersenyum sebelum melemparkan tas di atas meja.
“Anak baru ya?”
“Kok nuduh?” Aku mengempaskan tubuh di bangku sebelah gadis yang kupikir agak tomboy itu. “Nama gue Denny!”
“Siapa?” Tanya gadis itu.
“D-e-n-n-y,” ejaku, “Denny!” ulangku menegaskan.
“Yang nanya?”
Aku tersenyum kecut. Kena deh gue… cewek yang kupikir agak tomboy itu tertawa terbahak.
“Nama lo siapa sih?” tanyaku kemudian.
“Mau ngebales nih?” masih menyisakan tawa.
Aku menggeleng. “Gue nggak pendendam kok. Apalagi sama cewek manis kayak elo!”
“Gula kaleee manis!” katanya berseloroh, “Gue Anggun!”
“Hah?” mataku membulat.
“Elo mo bilang anggota ragunan kan?!” cewek itu mengepalkan tinjunya.
“Orang Depok demen nuduh, ya?” kataku, “Gue cuma heran aja, masa cewek tomboy namanya Anggun. Gak cocok ah.”
“Cocoknya apa?”
“Kipli!” ujarku, disusul tawa. Sebuah tinju ringan mendarat telak di lengan atasku.
“Tadi lo bilang anak Depok demen nuduh,” kata Anggun setelah tawaku mereda, “Emang elo anak mana?”
“Gue lahir di Jakarta. Tapi sejak SMP sekolah di Bandung. Abis gue hopeless sama Jakarta yang panas.”
“Terus, kenapa lo pindah ke mari?”
“Bokap gue yang maksa. Dia gak tahan jauh-jauh dari anaknya yang keren ini.”
“Huuuu! Narsis abis lo.”
Suara bel mengudara. Para siswa segera berhamburan ke kelasnya masing-masing.
“Minggir lo!” kata Anggun mengusirku dari bangku yang tengah kududuki. Seorang gadis tersenyum berdiri di belakang tubuhku. Aku segera menyingkir ke meja di belakang tempat duduk mereka.
There she is! Aku benar-benar dibuat terpana oleh gemulai langkah Ela Aurora Alexandra bersama ketiga temannya.
“Awas nanti ilernya netes!”
“Hah?” aku buru-buru memeriksa ujung mulutku. Tak ada liur yang menggantung di sana. Kulihat Anggun dan teman sebangkunya terpingkal. “Huh! Nggak lucu!”
Kulihat Ela memalingkan wajahnya ke arahku. Tatapannya menyiratkan sebuah tanya. Anak mana nih nyasar ke sini? Begitu kali kalo diterjemahin ke dalam bentuk kalimat. Salah seorang temannya seperti menyadari sesuatu. Dia mencolek lengan Ela, sebelum membisikkan sesuatu ke telinganya. Lalu ketiganya berjalan menghampiri mejaku.
“Elo kan yang waktu di bioskop…”
“Nabrak elo!” sambarku memutus kalimat Ela.
“Mau apa lo di sini?”
“Kenalin,” Aku mengulurkan tangan, “Gue anak baru di kelas ini. Nama gue Denny.”
Ela tidak segera menyambut uluran tanganku. Dia seperti berpikir sesuatu, sambil memandangi diriku dari ujung rambut sampai ujung sepatu. “Hmm… boleh juga,” katanya sambil tersenyum ke arah kedua temannya, sebelum kembali menatapku, “Oke deh Denny, elo udah tau kan nama gue?”
Aku mengangguk-angguk sebelum menarik tanganku kembali. Hmm… sombong juga neh anak… Aku membalas senyum ketiga cewek itu. Senyum yang menyimpan sejuta makna. Lihat aja nanti!
Seorang pria berkaca mata, berambut jarang masuk ke dalam kelas. Suasana menjadi hening. Kayaknya guru killer nih. Aku mencolek bahu Anggun. Cewek tomboy itu menoleh takut-takut.
“Siapa?” kataku berbisik.
“Pak Andi Suhandi.”
“Galak ya?”
“Banget!”
Baru saja Anggun selesai mengucapkan itu, sebuah spidol meluncur deras ke arahku. Untung aku pernah diajarin silat sama Abah, jadi hup! Spidol itu berhasil aku tangkap. Tapi… Pletak! Sebuah penghapus mampir di jidatku. Aduuuuhhh… Guru killer itu tersenyum penuh kemenangan.
Aku berinisiatif mengembalikan spidol dan penghapus itu ke meja Pak Andi.
“Ternyata kamu nggak sehebat yang Bapak bayang kan. Tapi lumayan…” Pak Andi menepuk bahuku, “Baru kamu seorang yang bisa menangkap lemparan Bapak.”
Aku hanya meringis saja.
“Sepertinya… bapak tidak pernah melihat kamu sebelumnya?”
“Saya anak baru, Pak,” terangku, “Pindahan dari Bandung.”
Pak Andi mempersilahkan aku duduk kembali. Bel tanda selesainya jam pelajaran Pak Andi hampir habis, saat seorang lelaki berkemeja biru motif garis-garis menapakkan kakinya di kelas, dengan sebuah map di tangannya.
“Maaf mengganggu,” dia memohon ijin pada Pak Andi.
“Oh, silahkan. Jam pelajaran saya sudah selesai.”
Lalu lelaki berkemeja itu menatap ke arah bangku murid. “Ada anak baru yang namanya Denny?”
Semua mata segera menyerbu ke arahku. Aku menoleh ke belakang seolah mencari-cari sesuatu, sebelum menyadari kalau yang mereka tatap itu adalah aku. He he he…
“Saya Pak!” Aku mengacungkan telunjuk ke udara.
“Kelas kamu bukan di sini. Tapi di kelas sebelah. Kelas I B.”
“Yah, saya udah terlanjur betah di sini.”
“Waduh… gimana ya? Habis wakasek bidang kesiswaan sudah terlanjur menempatkan kamu di kelas I B.”
Dengan enggan kulangkahkan kaki meninggalkan kelas, setelah sebelumnya mengucapkan kata-kata pada anak-anak di kelas itu, “Maaf, sepertinya kalian belum beruntung bisa jadi teman sekelas saya! Gak usah kecewa ya!”
“Huuuuuuu…!!!” seru mereka semua nyaris bersamaan, membuat kelas menjadi gaduh. Aku memutuskan untuk selekasnya angkat kaki sebelum mereka melempariku dengan apa saja!
Rivo langsung tertawa ngakak begitu melihat aku diantar oleh pria berkemeja – yang belakangan baru kutahu bernama Pak Somad, berkerja di bagian administrasi SMU Favorit itu –ke kelasnya, kelas I B. Dia melambaikan tangannya ke arahku. Aku berjalan menghampirinya.
“Nggak jadi sekelas sama Ela nih?”
Aku hanya tersenyum meringis. “Masih kosong?” Aku menunjuk bangku di sebelahnya.
“Ada yang nempatin. Tapi hari ini lagi nggak masuk. Namanya Chirex.”
“Apa?” tanyaku, “Cireng? Kayak nama makanan aja…”
“Chirex! Chirex!” ulang Rivo keki, “Nama sebenernya sih Nurhadiansyah.”
“Kalo meja belakang?” Aku menunjuk meja kosong di belakang bangku Rivo.
“Kosong. Baru kemaren penghuninya mati dibunuh.”
“Hah, yang bener lo?!”
“Tuh, mayatnya masih terkapar di situ!” telunjuknya mengarah ke kolong meja belakangnya. Ada seekor kecoa terkapar tak bernyawa.
“Ah, gue kira beneran…”
“Woi, anak baru!” teriak salah seorang penghuni kelas itu. “Kenalin dong nama lo!”
Aku langsung angkat kaki ke depan kelas. Mempersembahkan senyum termanis pada teman-teman baruku itu.
“Oke, tenang ya semuanya. Kalian siapin aja kertas sama pulpennya. Nanti gue tanda tanganin!”
Suiiing… puluhan pulpen bercampur dengan pinsil melayang ke arahku.
Oleh Donald Ducky
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar