Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964. Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan Karesidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan.
Kendatipun Provinsi Lampung sebelum tanggal 18 maret 1964 tersebut secara administratif masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan, namun daerah ini jauh sebelum Indonesia merdeka memang telah menunjukkan potensi yang sangat besar serta corak warna kebudayaan tersendiri yang dapat menambah khasanah adat budaya di Nusantara yang tercinta ini. Oleh karena itu pada zaman VOC daerah Lampung tidak terlepas dari incaran penjajahan Belanda.
Tatkala Banten dibawah pimpinan Sultan Agung Tirtayasa (1651-1683) Banten berhasil menjadi pusat perdagangan yang dapat menyaingi VOC di perairan Jawa, Sumatra dan Maluku. Sultan Agung ini dalam upaya meluaskan wilayah kekuasaan Banten mendapat hambatan karena dihalang-halangi VOC yang bercokol di Batavia. Putra Sultan Agung Tirtayasa yang bernama Sultan Haji diserahi tugas untuk menggantikan kedudukan mahkota kesultanan Banten.
Dengan kejayaan Sultan Banten pada saat itu tentu saja tidak menyenangkan VOC, oleh karenanya VOC selalu berusaha untuk menguasai kesultanan Banten. Usaha VOC ini berhasil dengan jalan membujuk Sultan Haji sehingga berselisih paham dengan ayahnya Sultan Agung Tirtayasa. Dalam perlawanan menghadapi ayahnya sendiri, Sultan Haji meminta bantuan VOC dan sebagai imbalannya Sultan Haji akan menyerahkan penguasaan atas daerah Lampung kepada VOC. Akhirnya pada tanggal 7 April 1682 Sultan Agung Tirtayasa disingkirkan dan Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten.
Dari perundingan-perundingan antara VOC dengan Sultan Haji menghasilkan sebuah piagam dari Sultan Haji tertanggal 27 Agustus 1682 yang isinya antara lain menyebutkan bahwa sejak saat itu pengawasan perdagangan rempah-rempah atas daerah Lampung diserahkan oleh Sultan Banten kepada VOC yang sekaligus memperoleh monopoli perdagangan di daerah Lampung.
Pada tanggal 29 Agustus 1682 iring-iringan armada VOC dan Banten membuang sauh di Tanjung Tiram. Armada ini dipimpin oleh Vander Schuur dengan membawa surat mandat dari Sultan Haji dan ia mewakili Sultan Banten. Ekspedisi Vander Schuur yang pertama ini ternyata tidak berhasil dan ia tidak mendapatkan lada yag dicari-carinya. Agaknya perdagangan langsung antara VOC dengan Lampung yang dirintisnya mengalami kegagalan, karena ternyata tidak semua penguasa di Lampung langsung tunduk begitu saja kepada kekuasaan Sultan Haji yang bersekutu dengan kompeni, tetapi banyak yang masih mengakui Sultan Agung Tirtayasa sebagai Sultan Banten dan menganggap kompeni tetap sebagai musuh.
Sementara itu timbul keragu-raguan dari VOC apakah benar Lampung berada dibawah Kekuasaan Sultan Banten, kemudian baru diketahui bahwa penguasaan Banten atas Lampung tidak mutlak.
Penempatan wakil-wakil Sultan Banten di Lampung yang disebut "Jenang" atau kadangkadang disebut Gubernur hanyalah dalam mengurus kepentingan perdagangan hasil bumi (lada).
Sedangkan penguasa-penguasa Lampung asli yang terpencar-pencar pada tiap-tiap desa atau kota yang disebut "Adipati" secara hirarkis tidak berada dibawah koordinasi penguasaan Jenang/ Gubernur. Jadi penguasaan Sultan Banten atas Lampung adalah dalam hal garis pantai saja dalam rangka menguasai monopoli arus keluarnya hasil-hasil bumi terutama lada, dengan demikian jelas hubungan Banten-Lampung adalah dalam hubungan saling membutuhkan satu dengan lainnya.
Selanjutnya pada masa Raffles berkuasa pada tahun 1811 ia menduduki daerah Semangka dan tidak mau melepaskan daerah Lampung kepada Belanda karena Raffles beranggapan bahwa Lampung bukanlah jajahan Belanda. Namun setelah Raffles meninggalkan Lampung baru kemudian tahun 1829 ditunjuk Residen Belanda untuk Lampung.
Dalam pada itu sejak tahun 1817 posisi Radin Inten semakin kuat, dan oleh karena itu Belanda merasa khawatir dan mengirimkan ekspedisi kecil di pimpin oleh Assisten Residen Krusemen yang menghasilkan persetujuan bahwa :
• Radin Inten memperoleh bantuan keuangan dari Belanda sebesar f. 1.200 setahun.
• Kedua saudara Radin Inten masing-masing akan memperoleh bantuan pula sebesar f. 600 tiap tahun.
• Radin Inten tidak diperkenankan meluaskan lagi wilayah selain dari desa-desa yang sampai saat itu berada dibawah pengaruhnya.
Tetapi persetujuan itu tidak pernah dipatuhi oleh Radin Inten dan ia tetap melakukan perlawanan-perlawanan terhadap Belanda.
Oleh karena itu pada tahun 1825 Belanda memerintahkan Leliever untuk menangkap Radin Inten, namun dengan cerdik Radin Inten dapat menyerbu benteng Belanda dan membunuh Liliever dan anak buahnya. Akan tetapi karena pada saat itu Belanda sedang menghadapi perang Diponegoro (1825 - 1830), maka Belanda tidak dapat berbuat apa-apa terhadap peristiwa itu. Tahun 1825 Radin Inten meninggal dunia dan digantikan oleh Putranya Radin Imba Kusuma.
Setelah Perang Diponegoro selesai pada tahun 1830 Belanda menyerbu Radin Imba Kusuma di daerah Semangka, kemudian pada tahun 1833 Belanda menyerbu benteng Radin Imba Kusuma, tetapi tidak berhasil mendudukinya. Baru pada tahun 1834 setelah Asisten Residen diganti oleh perwira militer Belanda dan dengan kekuasaan penuh, maka Benteng Radin Imba Kusuma berhasil dikuasai.
Radin Imba Kusuma menyingkir ke daerah Lingga, namun penduduk daerah Lingga ini menangkapnya dan menyerahkan kepada Belanda. Radin Imba Kusuma kemudian di buang ke Pulau Timor.
Dalam pada itu rakyat dipedalaman tetap melakukan perlawanan, "Jalan Halus" dari Belanda dengan memberikan hadiah-hadiah kepada pemimpin-pemimpin perlawanan rakyat Lampung ternyata tidak membawa hasil. Belanda tetap merasa tidak aman, sehingga Belanda membentuk tentara sewaan yang terdiri dari orang-orang Lampung sendiri untuk melindungi kepentingan-kepentingan Belanda di daerah Telukbetung dan sekitarnya. Perlawanan rakyat yang digerakkan oleh putra Radin Imba Kusuma sendiri yang bernama Radin Inten II tetap berlangsung terus, sampai akhirnya Radin Inten II ini ditangkap dan dibunuh oleh tentara-tentara Belanda yang khusus didatangkan dari Batavia.
Sejak itu Belanda mulai leluasa menancapkan kakinya di daerah Lampung. Perkebunan mulai dikembangkan yaitu penanaman kaitsyuk, tembakau, kopi, karet dan kelapa sawit. Untuk kepentingan-kepentingan pengangkutan hasil-hasil perkebunan itu maka tahun 1913 dibangun jalan kereta api dari Telukbetung menuju Palembang.
Hingga menjelang Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 dan periode perjuangan fisik setelah itu, putra Lampung tidak ketinggalan ikut terlibat dan merasakan betapa pahitnya perjuangan melawan penindasan penjajah yang silih berganti. Sehingga pada akhirnya sebagai mana dikemukakan pada awal uraian ini pada tahun 1964 Keresidenan Lampung ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat I Provinsi Lampung.
Kejayaan Lampung sebagai sumber lada hitam pun mengilhami para senimannya sehingga tercipta lagu Tanoh Lada. Bahkan, ketika Lampung diresmikan menjadi provinsi pada 18 Maret 1964, lada hitam menjadi salah satu bagian lambang daerah itu. Namun, sayang saat ini kejayaan tersebut telah pudar.
nin, 09 Agustus 2010
Mengqodho Sholat
Assalamu’alaykum warohmatullahi wabarokaatuh
Pada masalah ini, terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama.
Sebab perbedaan pendapat :
1. Perbedaan mengenai boleh tidaknya melakukan qiyas dalam urusan ubudiyah.
2. Jika memang qiyas diperbolehkan, terdapat pula perbedaan pendapat mengenai sah tidaknya mengqiyaskan orang yang sengaja terhadap orang yang lupa.
Berikut kami uraikan penjelasan yang terkait dengan Mengqodho Sholat.
A. Mengqodho Shalat
Definisi Qodho secara bahasa adalah : membayar. Definisi secara istilah syar’i adalah : membayar atau mengganti shalat yang ditinggalkan
Shalat fardhu atau Shalat lima waktu wajib dilaksanakan tepat pada waktunya, berdasarkan firman Allah SWT, “Sesungguhnya Shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisaa’: 103).
Oleh karena itu, barangsiapa mengakhirkannya dari waktu yang telah ditentukan tanpa ada halangan (uzur), maka ia berdosa. Tetapi, jika dia mengakhirkannya karena suatu halangan, tidaklah berdosa. Halangan-halangan itu ada yang dapat menggugurkan kewajiban Shalat sama sekali dan ada pula yang tidak menggugurkannya sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut dalam pembahasan berikut.
B. Hal-Hal yang Menggugurkan Shalat
Ada sejumlah halangan atau uzur yang dapat menggugurkan Shalat dari seseorang, yaitu :
1. Haid dan Nifas
Wanita yang sedang haid atau nifas tidak diwajibkan menunaikan Shalat. Juga tidak wajib mengqadha Shalat-Shalat yang ditinggalkan di saat haid dan nifas tersebut, sekalipun dia harus mengqadha puasa. Hal ini berdasarkan sabda Rasul saw kepada Fatimah binti Abi Hubaisy, “Jika tenyata darah yang keluar itu haid, maka hentikanlah Shalat.”
2. Gila
Kewajiban Shalat itu gugur dari orang gila yang terus-menerus. Namun, orang gila yang kumat-kumatan, ketika sadar wajib mengerjakan Shalat. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Beban taklif itu diangkat (oleh Allah) dari tiga golongan: orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai dia sadar kembali.” (HR Ahmad, Ashabus Sunan, dan Hakim).
3. Pingsan.
Adapun orang yang pingsan para ulama berbeda pendapat tentang wajib tidaknya dia mengqadha’ shalat. Menurut madzhab Maliki dan Syafi’i tidak wajib mengqadha’, kecuali bila ia pingsan ketika shalat , sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan tidak wajib mengqadha, jika pingsannya lebih dari sehari semalam, sedangkan menurut madzhab Ahmad bin Hambal, ia wajib mengqadha’ nya secara mutlak karena orang pingsan biasanya tidak lama.
Secara singkat ada dua pendapat mengenai wajib tidaknya orang pingsan mengqadha’ shalat;
1. Menurut jumhur ulama:
Tidak wajib mengqadha’ berdasarkan hadits Ibnu Umar bahwa beliau pernah pingsan selama sehari semalam dan tidak mengqadha’ shalat-shalat yang ditinggalkannya. (H.R. Malik)
2. Menurut ulama mutaakhkhirin dari madzhab Hambali :
Wajib mengqadha’ berdasarkan hadits ‘Ammar bin Yasir bahwa beliau pernah pingsan selama 3 malam lalu setelah sehat beliau mengqadha’ shalat-shalat yang ditinggalkannya.
Menurut syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin rahimahullah bahwa pendapat yang benar adalah tidak perlu mengqadha’nya bagi orang yang pingsan, adapun orang yang hilang akalnya karena bius maka dia harus mengqadha’ shalat yang ditinggalkannya karena pembiusan itu atas pilihannya pribadi.
Ada pula yang mengatakan kewajiban Shalat akan gugur dari orang yang pingsan jika pingsannya berlangsung dalam dua waktu Shalat yang bisa dijamak, seperti seseorang pingsan sebelum masuk waktu Dzuhur sampai dengan matahari terbenam.
4. Murtad
Seseorang yang murtad (keluar dari Islam) kemudian masuk Islam kembali, maka hukumnya sama dengan orang kafir asli, yakni dia tidak wajib mengqadha Shalat.
Tetapi, menurut ulama Syafi’i ia wajib mengqadha semua Shalat yang ia tinggalkan ketika murtad sebagai hukuman kepadanya.
C. Mengqodho karena uzur: tidur atau lupa
Apabila seseorang mengakhirkan Sholat hingga lewat waktunya, kerana uzur seperti tidur atau lupa, maka wajiblah baginya untuk men-qadla Sholat yang ditinggalkan tesebut.
Dalam sebuah hadist riwayat Muslim, dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda :”Barang siapa tertidur dan meninggalkan Sholat, maka hendaklah ia bergegas Sholat ketika ingat”.
1. Diterima dari Abu Qatadah, para sahabat menceritakan kepada Rasulullah saw perihal tidur mereka yang menyebabkan tertunda Shalatnya, maka Rasul bersabda, “Sesungguhnya tidaklah termasuk keteledoran karena tidur, tetapi keteledoran itu di waktu terjaga. Karena itu, jika seseorang di antaramu lupa Shalat atau tertidur hingga meninggalkan Shalat, hendaklah ia melakukannya bila telah ingat atau sadar kembali.” (HR Nasa’i dan Timidzi seraya menyatakannya sebagai hadis yang sahih).
2. Dari Anas ra, Nabi saw bersabda, “Barangsiapa lupa mengerjakan Shalat, hendaklah mengerjakannya bila telah ingat, dan selain itu tidak ada kewajiban kaffarat yang lain.” (HR al-Khamsah/lima imam hadis).
3. Dalam sebuah riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, “Bila seseorang di antaramu tertidur hingga meninggalkan Shalat atau lupa mengerjakannya, hendaknya ia mengerjakannya jika telah ingat, karena Allah berfirman, ‘dan dirikanlah Shalat untuk mengingat Aku’.” (Thaha: 14).
4. Dari Abu Qatadah ra, “Pada suatu malam kami bepergian bersama Rasulullah saw, salah seorang di antara kami berkata, ‘Tidakkah lebih baik kita beristirahat ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Saya khawatir kalian akan tertidur sehingga meninggalkan Shalat’. Bilal berkata, ‘Saya akan membangunkan kalian,’ Kemudian tidurlah semuanya. Sementara itu, Bilal menyandarkan punggungnya pada kendaraannya dan nampaknya ia tidak kuat menahan kantuk hingga akhirnya ia tertidur. Kemudian Nabi saw bangun di saat matahari telah naik tinggi, maka beliau bersabda, ‘Hai Bilal mana janjimu?’ Sungguh, saya tak pernah mengalami seperti ini’, jawab Bilal. Nabi bersabda lagi, ‘Allah mencabut roh-roh kalian kapan saja Dia mau, Dia akan mengembalikannya kepadamu kapan saja Dia mau. Hai Bilal, berdirilah dan serukanlah azan Shalat untuk orang banyak’. Kemudian, beliau berwudhu. Ketika matahari telah tinggi dan bersinar terang beliau Shalat dengan berjama’ah bersama mereka.” (HR al-Khamsah, dan redaksi ini adalah redaksi Bukhari dan Nasa’i). Menurut riwayat Ahmad orang-orang berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah sebaiknya Shalat ini kita kerjakan besok pada waktunya?” Rasul menjawab, “Bukankah Allah telah melarangmu melakukan riba lalu akan menerimanya darimu?”
(Riwayat lain) Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika kembali dari peperangan Khaibar, berjalan pada malam hari bersama para sahabat, dan ketika beliau merasakan kantuk, memerintahkan para sahabat untuk berhenti dan beristirahat dan berkata pada Bilal “Berjaga-jagalah malam ini”, kemudian Bilal shalat beberapa rekaat dan berjaga-jaga. Rasulullah SAW tertidur bersama para sahabat, dan ketika mendekati waktu fajar, Bilal bersandar pada kuda tunggangannya sambil menghadap pada arah fajar, Bilal merasakan kantuk dan akhirnya tertidur, tak satupun dari para sahabat terbangun hingga panas matahari mengenai mereka, yang pertama kali bangun adalah Rasulullah SAW, terkejut dan berkata pada Bilal, “Hai Bilal”, kemudian Bilal menjawab “telah menimpa padaku seperti yang menimpa padamu ya Rasul”(kantuk). Kemudian Rasulullah SAW berkata pada para sahabat “Tambatkan tunggangan kalian”, kemudian para sahabat melakukannya. Rasulullah SAW berwudlu dan memerintahkan pada Bilal untuk beriqomat, kemudian Rasulullah bersama para sahabat shalat (qadla) berjamaah dan ketika selesai shalat Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa lupa mengerjakan shalat, maka kerjakanlah shalat ketika Ia mengingatnya, dan sesungguhnya Allah SWT telah berfirman “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”.
D. Meninggalkan Sholat bukan karena uzur
Meninggalkan Sholat bukan karena uzur, terbagi menjadi beberapa golongan yaitu;
1. Orang yang meniggalkannya karena malas atau merasa berat tanpa meremehkannya dan dengan keyakinan bahwa shalat itu wajib atas dirinya, dan dia berniat akan menjalankannya jika ia mendapat hidayah/petunjuk.
2. Orang yang meninggalkannya karena tidak tahu bahwa shalat itu wajib atasnya (karena kejahilannya).
3. Orang yang menentang wajibnya shalat atas dirinya (yaitu shalat 5 waktu dan shalat jum’at), baik dia mengerjakan atau meninggalkannya, maka orang tersebut dihukumi sebagai kafir yang keluar dari Islam karena dia menentang sesuatu yang telah disepakati oleh al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’ kaum muslimin.
E. Pendapat Yang Tidak Mewajibkan Qodho bagi Sholat yang ditinggalkan
Pandangan yang mengatakan tidak wajib qodho’ adalah pendapat Imam Ibnu Taymiyah, Ibn Hazmin, ia juga diamalkan oleh Umar bin Khattab, Ibn Umar, Umar abd Aziz, Ibn Sirin, dan lain-lain. Hujah mereka: Islam telah mewajibkan solat dan tidak boleh menangguhkannya walaupun sakit, musafir, dalam peperangan; ditegaskan oleh Imam Ibn Taymiyah tidak boleh mengqadha’ solat yang tertinggal, cukup dengan taubat dan solat sunat yang banyak untuk menggantikannya.
Golongan Zhahiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Di dalam kitab Ash-Shalat, Ibnul Qayim menyebutkan berbagai macam dalil untuk menolak alasan yang tidak sependapat dengannya. Di antaranya ialah apa yang dapat di pahami dari hadits ini, bahwa sebagaimana yang dituturkan, kewajiban qadha’ ini tertuju kepada orang yang lupa dan tertidur. Berati yang lainnya tidak wajib. Perintah-perintah syari’at itu dapat dibagi menjadi dua macam : Tidak terbatas dan temporal seperti Jum’at hari Arafah. Ibadah-ibadah semacam ini tidak diterima kecuali dilaksanakan pada waktunya. Yang lainnya ialah shalat yang ditunda hingga keluar dari waktunya tanpa alasan.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Barang siapa mendapatkan satu raka’at dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar”, sekiranya shalat Ashar itu dikerjakan setelah Maghrib, justru lebih benar dan mutlak, tentu orangnya lebih mendapatkan shalat Ashar, baik dia mendapatkan satu raka’at atau kurang dari satu raka’at atau dia sama sekali tidak mendapatkan sedikitpun darinya. Orang-orang yang berperang juga diperintahkan shalat, meski dalam situasi yang genting dan rawan. Semua itu menunjukkan tekad pelaksanannya pada waktunya. Sekiranya di sana ada rukhsah, tentunya mereka akan menundanya, agar mereka dapat mengerjakannya lengkap degan syarat dan rukun-rukunnya, yang tidak mungkin dapat dipenuhi ketika perang sedang berkecamuk. Hal ini menunjukkan pelaksanaannya pada waktunya, di samping mengerjakan semua yang diwajibkan dalam shalat dan yang disyaratkan di dalamnya.
Uraian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang masalah ini disampaikan di dalam ‘Al-Ikhiyarat’. Dia berkata, “Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, tidak disyari’atkan qadha’ bagi dirinya dan tidak sah qadha’nya. Tapi dia harus memperbanyak tathawu’. Ini juga merupakan pendapat segolongan orang-orang salaf seperti Abu Abdurrahman rekan Asy-Syafi’i, Daud dan para pengikutnya. Tidak ada satu dalil pun yang bertentangan dengan pendapat ini dan bahkan sejalan dengannya. Yang condong kepada pendapat ini ialah Syaikh Shiddiq hasan di dalam kitabnya, ‘Ar-Raudhatun Nadiyyah’.
Dan oleh Ibnu Hazmin masalah ini di kupas secara panjang dan dapat disimpulkan sebagai berikut : Adapun orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hingga luput waktunya, maka tidaklah dapat diqodho buat selama lamanya. Oleh sebab itu hendaklah ia memperbanyak berbuat kebaikan dan mengerjakan shalat-shalat sunat, agar beratlah timbangan amalnya pada hari kiamat. Hendaklah pula ia taubat dan beristighfar kepada Allah Azza Wajalla. Dan Ibnu Hazmin menyatakan pula : “Seandainya mengqodho itu wajib, hukumnya bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat, tentulah peraturan dan keterangannya tidak akan didiamkan begitu saja oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Allah telah berfirman :
“Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu itu lupa atau alpa.”
Dan setiap peraturan yang tiada bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadist tidak dapat diterima. Kemudian Ibnu Hazmin berkata pula : “Allah ta’ala tidak memberi kesempatan bagi orang-orang yang wajib sholat untuk menangguhkannya dari waktunya dalam keadaan bagaimanapun, baik ditengah pertempuran, dalam ketakutan, sakit keras, bepergian dan lain-lain.
Firmannya :
“Jika kamu dalam ketakutan maka boleh kamu shalat dengan berjalan kaki atau berkendaraan. Dan bagi orang yang sakit keras bila tak dapat shalat berdiri supaya dengan duduk bila tak dapat dengan duduk supaya dengan berbaring dan bisa pula dengan isyarat.”
Demikian ternyata bahwa mengqodho shalat itu tidak mungkin sekali. Orang-orang yang sependapat dengan hal ini adalah diantaranya ; Umar bin Khatab, Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Salman Al Farisi, Ibnu Mas’ud, Muhammad bin Abi Bakar, Budail Al ‘Uqeili, Muhammad bin Sirin, Mathrab bin Abdullah, Umar bin Abdul Aziz dan lain-lain.
F. Pendapat Yang Mewajibkan qodho shalat yang ditinggalkan.
1). HR.Bukhori, Muslim dari Anas bin Malik ra.: “Siapa yang lupa (melaksanakan) suatu sholat atau tertidur dari (melaksanakan)nya, maka kifaratnya (tebusannya) adalah melakukannya jika dia ingat”.
Ibnu Hajr Al-‘Asqalany dalam Al-Fath II:71 ketika menerangkan makna hadits ini berkata; ‘Kewajiban menggadha sholat atas orang yang sengaja meninggalkannya itu lebih utama. Karena hal itu termasuk sasaran Khitab (perintah) untuk melaksanakan sholat, dan dia harus melakukannya…’.
Orang-orang yang mewajibkan qadha’ berhujjah bahwa jika qadha’ ini diwajibkan atas orang yang lupa dan tertidur, yang keduanya di ma’afkan, maka kewajibannya atas orang yang tidak dima’afkan dan orang yang durhaka jauh lebih layak.
2). Disamping itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat pernah shalat Ashar setelah masuk waktu Maghrib pada perang Khandaq.
Jabir bin Abdullah ra.meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah datang pada hari (peperangan) Khandaq setelah matahari terbenam. Dia mencela orang kafir Quraisy, kemudian berkata; ‘Wahai Rasulallah, aku masih melakukan sholat Ashar hingga (ketika itu) matahari hampir terbenam’. Maka Rasulallah saw. menjawab : ‘Demi Allah aku tidak (belum) melakukan sholat Ashar itu’. Lalu kami berdiri (dan pergi) ke Bith-han. Beliau saw. berwudu untuk (melaksanakan) sholat dan kami pun berwudu untuk melakukannya. Beliau saw. (melakukan) sholat Ashar setelah matahari terbenam. Kemudian setelah itu beliau saw. melaksanakan sholat Maghrib. (HR.Bukhori dalam Bab ‘orang yg melakukan sholat bersama orang lain secara berjama’ah setelah waktunya lewat’, Imam Muslim I ;438 hadits nr. 631, meriwayatkannya juga, didalam Al-Fath II:68, dan pada bab ‘meng- gadha sholat yang paling utama’ dalam Al-Fath Al-Barri II:72)
Sebagaimana yang diketahui, mereka tidak tertidur dan tidak lupa, meskipun sebagian di antara mereka benar-benar lupa, tapi toh tidak mereka semua lupa. Yang ikut mendukung kewajiban qadha’ ini ialah Abu Umar bin Abdul-Barr.
3). Rasulallah saw. setelah sholat Dhuhur tidak sempat sholat sunnah dua raka’at setelah dhuhur, beliau langsung membagi-bagikan harta, kemudian sampai dengar adzan sholat Ashar. Setelah sholat Ashar Beliau sholat dua rakaat ringan, sebagai ganti/qadha sholat dua rakaat setelah dhuhur tersebut. (HR.Bukhori, Muslim dari Ummu Salamah).
4). Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa tertidur atau terlupa dari mengerjakan shalat witir maka lakukanlah jika ia ingat atau setelah ia terbangun’. (HR.Tirmidzi dan Abu Daud).(dikutip dari at-taj 1:539)
5). Rasulallah saw. bila terhalang dari shalat malam karena tidur atau sakit maka Beliau. menggantikannya dengan shalat dua belas rakaat diwaktu siang. (HR. Muslim dan Nasa’i dari Aisyah ra).(dikutip dari at-taj 1:539)
Nah kalau sholat sunnah muakkad setelah dzuhur, sholat witir dan sholat malam yang tidak dikerjakan pada waktunya itu diganti/diqadha oleh Rasulallah shallallahu ‘alaikhi wasallam pada waktu setelah sholat Ashar dan waktu-waktu lainnya, maka sholat fardhu yang sengaja ketinggalan itu lebih utama diganti dari pada sholat-sholat sunnah ini.
6). Begitu juga dalam kitab Fiqih empat madzhab atau Fiqih lima madzhab bab 25 sholat Qadha’ menulis: Para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib menggantinya/menggadhanya. Baik shalat itu ditinggal- kannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran.
Memang terdapat perselisihan antara imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan lainnya), perselisihan antara mereka ini ialah apakah ada kewajiban qadha atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.
7). Dalam kitab fiqih Sunnah Sayyid Sabiq (bahasa Indonesia) jilid 2 hal. 195 bab Menggadha Sholat diterangkan: Menurut madzhab jumhur termasuk disini Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan orang yang sengaja meninggalkan sholat itu berdosa dan ia tetap wajib meng- qadhanya. (Yang menolak pendapat qadha dan ijma’ ulama ialah Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah, mereka ini membatalkan (tidak sah) untuk menggadha sholat !! Dalam buku ini diterangkan panjang lebar alasan dua imam ini).
Mengqadha salat wajib dilakukan dengan segera baik salat itu tertinggal karena sesuatu uzur yang tidak menggugurkan kewajibannya ataupun tanpa uzur sama sekali dan qadha ini tidak boleh ditunda-tunda kecuali ada halangan mendesak seperti bekerja untuk mencari rezeki dan menuntut ilmu yg wajib ‘ain baginya, begitu juga makan dan tidur. Dengan hanya mengqadha salat bukan berarti seseorang telah bebas dari dosa tetapi ia masih harus bertaubat sebagaimana taubat tidak bisa menggugurkan kewajiban sholat, namun harus disertai mengqadha pula. Hal ini karena salah satu syarat bertaubat adalah menghilangkan perbuatan dosa sedang orang yang bertaubat tanpa mengqadha belum berarti ia telah menghilangkan perbuatan dosa tersebut.
Melaksanakan qodho disini bukan bermaksud membenarkan orang yang dengan sengaja meninggalkan sholat dan berfikir ia bisa mengqodho sholatnya dikemudian hari;
Bukan bermaksud memberi keringanan kepada seseorang untuk melalaikan kewajiban sholatnya; Dan bukan pula bermaksud bahwa orang yang telah meninggalkan sholatnya lalu bertaubat dan mengqodho sholatnya, kemudian hari ia boleh meninggalkan sholatnya lagi dan kemudian mengqodhonya lagi dan seterusnya; Bukan bermaksud menyamakan kedudukan orang yang menjalankan sholatnya dengan tepat waktu dengan orang yang melalaikan sholatnya.
Tapi mengqodho sholat disini bermaksud menggugurkan kewajiban dan memberi hukuman kepada diri yang telah melalaikan kewajiban sholat, selain juga harus bertaubat, menyesali dan berjanji untuk tidak meninggalkan sholat lagi.
Bukan berarti dengan mengqodho sholat telah dijamin terbebas dari dosa, karena sesungguhnya hanya Allah saja yang tau diterima atau tidaknya ibadah dan taubat seorang hamba. Kita hanya bisa berusaha dan bertawakkal, tapi Allah subhanahu wata’ala yang menentukan kesudahannya.
G. Cara Mengerjakan Shalat Qadha
Para ulama saling berbeda pendapat, apakah boleh menundanya ketika sudah mengingatnya ataukah harus langsung mengerjakannya .?
Jumhur ulama mewajibkan pelaksanaannya secara langsung. Mereka yang berpendapat seperti ini ialah tiga imam, Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan para pengikut mereka. Sementara Asy-Syafi'i mensunatkan pelaksanaannya secara langsung dan boleh menundanya.
Asy-Syafi'i berhujjah bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat tertidur, mereka tidak melaksanakan qadha' shalat di tempat mereka tidur. Tapi beliau memerintahkan agar mereka menghela hewan-hewan mereka ke tempat lain, lalu beliau shalat di tempat tersebut. Sekiranya qadha' ini wajib dilaksanakan secara langsung seketika itu pula, tentunya mereka juga shalat di tempat mereka tertidur.
Adapun jumhur berhujjah dengan hadits dalam bab ini, yang langsung menyebutkan shalat secara langsung. Mereka menanggapi hujjah Asy-Syafi'i, bahwa makna langsung di sini bukan berarti tidak boleh menundanya barang sejenak, dengan tujuan untuk lebih menyempurnakan shalat dan memurnikannya. Boleh menunda dengan penundaan yang tidak seberapa lama untuk menunggu jama'ah atau memperbanyak orang yang berjama'ah atau lainnya.
Termasuk salah satu hal yg tidak mengharuskan qadha dgn segera adalah sibuk melakukan sholat sunnah. Tetapi bagi orang yang berkewajiban qadha sebaiknya ia tidak mengerjakan salat sunnah dulu selain salat sunnah Subuh Maghrib dan Witir dan sebagai ganti dari salat sunnah rawatib yg lain hendaklah ia mengerjakan qadha salat. Mengqadha salat boleh dilakukan tiap saat kecuali pada tiga waktu yg dilarang salat yaitu ketika matahari terbit matahari berada tepat di tengah langit dan ketika matahari terbenam.
Juga dalam satu waktu boleh mengqadha beberapa salat yg tertinggal sebab pengertian qadha adalah melakukan salat yg telah lewat waktunya. Cara Mengerjakan Salat Qadha Barangsiapa tertinggal mengerjakan shalat maka wajib mengqadhanya sesuai dengan cara dan sifat-sifat salat yang tertinggal itu. Jika seorang musafir yg menempuh jarak qashar tertinggal salat yang empat rakaat ia mengqadhanya dua rakaat sekalipun dikerjakan di rumah.
Tetapi menurut ulama Syafi’i dan Hanbali dalam keadaan terakhir ini ia mengqadhanya empat rakaat sebab hukum asal shalat adalah itmam . Karena itu ketika di rumah shalat dengan itmamlah yg harus dikerjakan. Sebaliknya jika seorang mukmin tidak dalam perjalanan tertinggal shalat yg empat rakaat maka ia harus mengqadhanya empat rakaat pula sekalipun dikerjakan dalam perjalanan. Demikian juga jika ia tertinggal shalat sirriyyah seperti Dzuhur maka di waktu mengqadhanya harus secara sirri pula sekalipun dikerjakan di malam hari. Sebalikmya jika ia tertinggal salat Jahrriyyah seperti salat Subuh maka mengqadhanya pun harus keras pula sekalipun dikerjakan di siang hari.
Akan tetapi menurut ulama Syafi’i yg menjadi patokan adl waktu di mana qadha itu dilaksanakan. Jadi seandainya qadha itu dilaksanakan pada malam hari maka bacaannya harus dikeraskan sekalipun yg diqadha itu salat sirriyyah. Dan sebaliknya jika di siang hari maka bacaan salat harus dipelankan walaupun yg diqadhanya itu salat jahriyyah. Dalam mengqadha salat yg tertinggal hendaknya diperhatikan tertib urutannya satu dgn yg lain. Qadha salat Subuh dikerjakan sebelum qadha Dzuhur dan qadha Dzuhur sebelum salat Ashar.
Di samping itu hendaklah diperhatikan pula urutan salat faa’itah dgn salat pada waktunya Maka apabila salat faa’itah itu kurang dari lima waktu atau hanya lima waktu salat haadhirah tidak boleh dikerjakan dulu sebelum salat faa’itah dikerjakan dgn tertib selama tidak dikhawatirkan habisnya waktu salat haadhirah. Dari Ibnu Mas’ud berkata “Ketika Perang Khandaq kaum musyrikin terlalu menyibukkan Rasulullah sampai-sampai empat salat tertinggal dan waktu pun telah larut malam sejalan dgn kehendak Allah. Kemudian beliau menyuruh Bilal utk menyerukan azan. Bilal pun menyerukannya lalu membacakan iqamah maka beliau salat Dzuhur lalu berdiri lagi dan mengerjakan Ashar berdiri lagi mengerjakan salat Maghrib kemudian berdiri lagi utk mengerjakan salat Isya’.”
Ulama Hanafi berpendapat jika seseorang setelah mengerjakan salat haadhirah teringat akan salat faa’itah yg belum dikerjakannya batallah salat haadhirahnya. Orang itu harus mengerjakan salat faa’itah dulu dan setelah itu mengulangi salat haadhirah. Namun menurut ulama yg lain ia tidak harus mengulangi salat haadhirah. Sedang menurut ulama Maliki sunnah mengulangi lagi salat haadhirah setelah mengerjakan faa’itah. Jika salat faa’itah itu enam waktu atau lebih maka dalam mengerjakannya tidah harus tertib boleh dikerjakan sebelum salat haadhirah ataupun sesudahnya. Barangsiapa tertinggal sejumlah salat tetapi ia lupa atau tidak tahu persis berapa jumlahnya maka ia harus mengerjakan qadha sampai merasa yakin bahwa kewajibannya telah terpenuhi.(Sumber As-Shalaatu ‘Alal Madzahibil ‘Arba’ah Abdul Qadir ar-Rahbawi Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia)
G. Kesimpulan
1). Kewajiban qadha' shalat bagi orang yang lupa dan tertidur, yang
dilaksanakan ketika mengingatnya, dan tidak ada dosa baginya.
2). Kewajiban segera melaksanakannya, karena penundaannya setelah
mengingatkannya sama dengan meremehkannya.
3). Imam Ibnu Taymiyah dan Ibnu Hazmin tidak membenarkan adanya sholat qadha. Hujah mereka: Islam telah mewajibkan solat dan tidak boleh menangguhkannya walaupun sakit, musafir, dalam peperangan; ditegaskan oleh Imam Ibn Taymiyah tidak boleh mengqadha’ solat yang tertinggal, cukup dengan taubat dan solat sunat yang banyak untuk menggantikannya.
4). Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan wajib mengqadha/mengganti sholat yang ketinggalan baik secara disengaja maupun tidak disengaja (menurut ijma’ ulama) . Hanya perbedaan antara yang disengaja dan tidak disengaja ialah masalah dosanya jadi bukan masalah qadhanya.
Allah Maha Tahu apa yang diniatkan hamba Nya
Allah Maha Tahu apa yang diusahakan hamba Nya
Allah Maha Tahu apa yang diharapkan hamba Nya
Demikian yang dapat kami uraikan.
Semoga dengan adanya uraian ini bisa menjadikan manfaat bagi kita semua. Semoga kita semua tidak saling cela-mencela atau merasa pahamnya/anutannya yang paling benar.
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar