Dari data yang telah diperoleh maka keanekaragaman jenis pada kedua ekosistem dapat dilihat perbedaannya dari jumlah spesies masing-masing, ekosistem hutan adalah yang paling beranekaragam jenisnya hutan, dimana pada ekosistem hutan jenis spesiesnya ada 20 jenis sedangkan pada padang rumput jenis spesiesnya ada 16 jenis. Hal ini berlawanan dengan pendapat Reso (1989) yang mengatakan bahwa meskipun padang rumput ini hanya ada satu stratum, tetapi keanekaragaman jenis mungkin tinggi jika dibandingkan dengan kebanyakan hutan. Perbedaan pendapat ini mungkin terjadi karena praktikum yang dilakukan itu menggunakan lahan yang kurang representatif atau kurang mewakili. Jika lahan yang diamati tersebut representatif maka benarlah apa yang dikatakan oleh Reso (1992) tersebut.
Keragaman jenis ini sangat mempengaruhi pertumbuhan dari komunitas atau individu yang ada di dalamnya serta dapat menjadi pembeda antara ekosistem yang satu dengan yang lainnya. Menurut Michael (1995) bahwa keragaman spesies dapat diambil untuk menandai jumlah spesies dalam suatu daerah tertentu atau sebagai jumlah spesies diantara jumlah total individu dari seluruh spesies yang ada. Hubugan ini dapat dinyatakan secara numerik sebagai indeks keragaman. Jumlah spesies di dalam suatu komunitas adalah penting dari segi ekologi karena keragaman spesies tampaknya bertambah bila komunitas menjadi makin stabil.
Jika dilihat dari jenis maka banyak terdapat perbedaan antara jenis spesies yang ada pada padang rumput dengan hutan, diantaranya pada pengamatan di hutan tidak terdapat satupun rumput teki sedangkan pada padang rumput spesies ini adalah salah satu jenis yang paling dominan ditemui, hal ini disebabkan karena karakteristik dari rumput teki itu sendiri adalah tidak tahan akan naungan atau termasuk jenis tanaman yang intoleran. Sehingga rumput ini tidak dapat hidup di hutan karena pada hutan penutupan kanopinya sangat rapat sehingga cahaya matahari tidak dapat langsung mengenai lapisan bawah. Sedangkan pada padang rumput matahari dapat secara langsung sampai pada lapisan yang paling bawah sehingga rumput teki dapat hidup dan berkembangbiak dengan cepat serta hal lain yang mendukung perkembang biakannya ini menurut Maradjo (1987) adalah karena sifatnya yang liar itu, tumbuhan teki dapat tumbuh serta teki dapat tumbuh baik disegala macam tanah, ia tidak memilih tanah baik di daerah dataran rendah maupun di daerah dataran tinggi atau pegunungan sampai ketinggian 1000 mdpl.
Pada hutan jenis spesies yang paling banyak tumbuh adalah tanaman suplir hal ini disebabkan karena menurut Maradjo (1987) bahwa daerah penyebaran meliputi daerah yang beriklim tropis dan mempunyai curah hujan yang cukup pada ketinggian 30 – 2800 mdpl. Merupakan jenis tanaman liar yang hidup menahun. Tempat tumbuhnya meliputi daerah-daerah di dalam hutan, di dalam jurang atau di tepi tebing, di pinggir-pinggir kali atau sungai, seringkali membentuk suatu hutan yang rapat, terutama pada daerah-daerah yang mempunyai curah hujan yang banyak. Dengan melihat ciri-ciri dari suplir ini dapat dikatakan bahwa suplir hidup pada daerah yang kelembabannya tinggi atau membutuhkan naungan seperti didalam hutan, sehingga hal ini menyebabkan tanaman ini tidak dapat hidup pada daerah padang rumput yang penuh dengan cahaya matahari.
Untuk hewan pada masing-masing tempat itu tidak jauh berbeda seperti semut adalah jenis spesies yang paling banyak ditemui pada kedua ekosistem hal ini disebabkan karena ciri-ciri dari hewan itu sendiri menurut Borror, et.al (1992) bahwa semut ini adalah suatu kelompok yang sangat umum dan menyebar luas, terkenal bagi semua orang. Semut-semut itu barang kali yang paling sukses dari semua kelompok-kelompok serangga. Mereka praktis terdapat dimana-mana di habitat darat dan juga jumlah individunya melebihi kebanyakan hewan darat lainnya.
Perbedaan diantara ekosistem ini juga dapat diakibatkan oleh pengaruh faktor abiotik dari daerah tersebut, dimana menurut Guslim (1996) bahwa perbedaan antara ekosistem itu terjadi karena adanya :
1. perbedaan kondisi iklim (hutan hujan tropis, hutan musim, hutan savana)
2. letak di atas permukaan laut, topografi dan formasi geologi (zonasi pada pegunungan, lereng pegunungan yang curam, lembah sungai, formasi lava dan sebagainya)
3. kondisi tanah dan air tanah (misalnya pasir, lempung, basah, kering)
2. letak di atas permukaan laut, topografi dan formasi geologi (zonasi pada pegunungan, lereng pegunungan yang curam, lembah sungai, formasi lava dan sebagainya)
3. kondisi tanah dan air tanah (misalnya pasir, lempung, basah, kering)
Suhu juga merupakan faktor penyebab terjadinya perbedaan dari ekositem yang satu dengan yang lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Ismail (2001) bahwa suhu merupakan ekologi yang sangat menetukan dam mempengaruhi kehidupan organisme, termasuk tumbuhan. Pertumbuhan dan penyebaran tumbuhan sering dibatasi oleh suhu. Umumnya tumbuhan akan dapat mempertahankan kehidupan dengan aktifitas pertumbuhan yang normal pada kisaran suhu antara 10 o C sampai 40 o C.
Dalam piramida jumlah dari kedua ekosistem ditemukan kerancuan dimana jumlah komponen konsumen I lebih sedikit daripada konsumen II, padahal kenyataan yang sering dijumpai dan yang telah dipelajari bahwa jumlah dari masing-masing komponen itu harus seimbang antara yang satu dengan yang lainnya agar kehidupan dari tiap organisme itu dapat stabil.
Menurut Reso (1989) bahwa piramida ekologi memberikan gambaran kasar tentang efek hubungan rantai pangan untuk kelompok ekologi secara menyeluruh. Populasi dan bobot organisme yang dapat ditunjang pada setiap tinggkat tropik dan setiap situasi tergantung pada banyaknya energi yang ditambah pada setiap waktu dalam tingkat trofik yang lebih banyak dan kecepatan produksi makanan.
Dalam setiap ekosistem pasti terdapat rantai makanan antara organisme yang satu dengan yang lainnya dalam perpindahan energi. Menurut Reso (1989) bahwa rantai pangan adalah pengalihan energi dari sumbernya dalam tumbuhan melalui sederetan organisme yang memakan dan yang dimakan. Semakin pendek rantai pangan ini semakin dekat jarak antara organisme pada permulaan dan organisme pada ujung rantai dan semakin besar pula energi yang disimpan. Rantai ini tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi saling berkaitan yang satu dengan yang lainnya sehingga membentuk jaring-jaring pangan/makanan.
Dari jaring makanan yang telah di dapat bahwa pada padang rumput itu perpindahan energi yang terjadi yaitu dari produsen -> konsumen I -> konsumen II -> konsumen III -> pengurai, pada hutan jaringan makanan yang terjadi adalah dari produsen -> konsumen I -> konsumen II -> pengurai. Menurut Guslim (1996) sebagian besar pengurai adalah mewakili bakeri dan jamur yang menguraikan ikatan kompleks protoplasma yang mati sambil menyerap beberapa pengurai dan melepaskan zat sederhana yang kembali ke ekosistem untuk selanjutnya dapat dipakai oleh produsen.
*Disarikan dari Laporan Praktikum Ekologi Hutan
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar